Peningkatan
Peran Pusat di Era Otonomi Daerah
Erik Hidayat ; Wakil
Ketua Umum Bidang Perindustrian DPP HIPPI
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2013
KITA sebagai bangsa Indonesia yang sangat menjunjung
tinggi nilai etika dan moral serta sangat mendukung semangat berlakunya
otonomi daerah sebagai konsep peningkatan harkat dan martabat masyarakat
sekaligus nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki.
Harusnya tak dapat disangkal lagi bahwa otonomi daerah
dapat membawa perubahan yang positif bagi suatu wilayah, khususnya kewenangan
daerah dalam mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Menjadi sebuah impian
bagi setiap daerah bila dapat membangun dan sekaligus mengubah keadaan
daerahnya menjadi lebih baik.
Sadar atau tidak, kecenderungan sebuah proses globalisasi
dan regionalisasi merupakan tantangan sekaligus peluang bagi suatu proses
pembangunan daerah di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa hal itu dapat
memunculkan persaingan yang sangat tajam di antara para pelaku ekonominya.
Diperlukan dukungan pemerintah dalam meningkatkan perkembangan investasi dan
industri untuk menjadikan setiap di daerah di Indonesia dapat tumbuh
berkembang dan memakmurkan masyarakatnya.
Melalui sistem otonomi, setiap daerah dituntut untuk bisa
mendapatkan sumber pembiayaan pembangunan daerah. Tanpa mengurangi harapan
masih adanya dukungan dari pemerintah pusat, dalam wujud bantuan pengawasan
dalam menggunakan dana publik sesuai dengan skala prioritas dan aspirasi masyarakat.
Sebelum UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
dipraktikkan, proyek-proyek pembangunan di daerah memang dipegang penuh
pemerintah pusat. Orang-orang di daerah cuma bisa menjadi penonton. Dengan
dilatarbelakangi kenyataan kenyataan itulah, desentralisasi diambil sebagai
sebuah solusi sehingga pemerintah daerah bisa langsung ikut ambil bagian.
Melalui desentralisasi, diharapkan muncul kompetisi
sehingga orang di daerah berlomba-lomba untuk berani mengatakan daerah mereka
lebih bagus daripada daerah lain, misalnya. Persoalannya, apakah faktanya
memang demikian?
Desentralisasi selama ini ternyata masih sangat
menggantungkan diri kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Ekonominya masih ekonomi APBD, pengusahanya (di daerah) juga pengusaha APBD.
Kelak jika suatu saat APBD-nya diambil atau ditiadakan, yang tertinggal di
daerah hanya mayat-mayat.
Kalau kita amati angka-angka yang ada di APBD, komposisi
anggaran untuk menggerakkan ekonomi daerah dan belanja pegawai sangat jomplang. Di banyak daerah, 65%
anggaran dalam APBD hanya untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS). Anggaran
belanja untuk PNS itu setiap tahun rata-rata naik 9%, sedangkan tingkat
kenaikan anggaran untuk belanja modal yang diharapkan bisa menggerakkan
perekonomian di daerah, kalaupun naik, hanya 9%.
Sejak desentralisasi diberlakukan di 33 provinsi, tercatat
hanya sembilan provinsi yang terbukti bisa mengurangi angka kemiskinan.
Sisanya justru mengalami peningkatan jumlah orang miskin.
Dengan didasarkan atas kenyataan itu, tidak berlebihan
jika kita menyimpulkan desentralisasi belum membawa dampak bagi kesejahteraan
masyarakat di daerah. Ibarat lalu lintas, otonomi daerah benar-benar macet
total, tidak ada implikasi positif buat rakyat.
Daerah hanya mengandalkan sumber daya alam (SDA). Karena
itu, menjualbelikan SDA di daerah itulah cara yang paling mudah melalui
pemberian konsesi-konsesi, seperti hutan dan pertambangan. Hal demikian tentu
tidak bisa dibiarkan. Karena itu, konsesi-konsesi SDA tersebut harus
dikembalikan ke pemerintah pusat untuk disentralisasikan.
Kongkalikong Pejabat
Tidak semua pelaksanaan otonomi daerah
sepenuhnya mengalami hasil yang positif. Keberadaan oknum pejabat pemerintah
daerah yang memiliki semangat berbeda justru merusak citra pelaksanaan
program otonomi daerah tersebut. Semangat untuk mendorong perekonomian di
daerahnya justru dijadikan upaya untuk kekuasaan, memperkaya diri, dan telah
membuat rasa tidak aman untuk berinvestasi. Kasus pemerasan dam pungutan liar
(pungli) dijadikan bagian dari perusakan citra sebuah daerah yang
sesungguhnya berpotensi.
Kewenangan sebagai penguasa daerah tidak
disertai mentalitas sebagai putra daerah yang profesional dalam mengelola,
tapi sebaliknya, justru mematikan potensi ekonomi daerahnya secara perlahan
dan pasti.
Siapa yang mau berinvestasi bila pengusaha
sudah merasa tidak nyaman dan prosedurnya rumit, bila harus menolak pungutan
yang tidak jelas dasarnya?
Sungguh
pencitraan buruk bagi gagasan sistem otonomi daerah dalam arti sebenarnya.
Pada beberapa daerah terbukti mulai ada proyek pembangunan daerah yang tidak
menghiraukan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat daerah. Karena beberapa
proyek tersebut merupakan proyek yang sarat dengan kongkalikong dan
kepentingan pribadi.
Seharusnya era reformasi seperti saat ini harus diyakini
sebagai peluang untuk mengubah paradigma pembangunan nasional. Perubahan dari
paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih
adil dan imbang. Di era saat ini hampir setiap negara tengah bersiapsiap
untuk menyambut dan menghadapi era perdagangan bebas, baik dalam kerangka
AFTA, APEC, dan WTO.
Berbagai negara berupaya secara maksimal
menciptakan kerangka kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang
kondusif. Hal ini harus dilihat sebagai upaya peningkatan investasi dalam
negeri serta mendorong masyarakat, baik daerah maupun pusat, untuk bermain di
pasar global. Sejak desentralisasi diber lakukan di 33 provinsi, tercatat
hanya sembilan provinsi yang terbukti bisa mengurangi angka kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar