Maulid dan
Perlawanan Kultural
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2013
Yogyakarta SEBAGAI sebuah tradisi dan budaya, maulid Nabi
Muhammad SAW ialah inovasi kreatif yang baik (bid’ah hasanah). Maulid Nabi bukanlah improvisasi ritual yang
tercela (bid’ah sayyi’ah). Hal itu bisa dirunut dari dua perspektif, yaitu
basis teologis dan historisnya.
Dari sisi basis teologis, berkebalikan dengan klaim
sebagian kalangan yang menganggapnya sebagai tradisi heretik, peringatan
kelahiran Nabi berlandaskan pada penafsiran dengan logika silogis dari
Alquran. Pertama, Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS
21:107). Kedua, seorang muslim dianjurkan untuk menyambut gembira datangnya
rahmat Tuhan (QS 10:58). Konklusinya menyambut gembira datangnya rahmat
Tuhan, yakni Nabi Muhammad, ialah baik dan ia bisa diejawantahkan, antara
lain, dengan tradisi maulid itu.
Dari sisi historisnya, Muhammad Zaki Ibrahim dalam Fiqh as-Shalawat wa al-Mada’ih
an-Nabawiyyah (2011: 103-105) menceritakan tradisi maulid dimulai
kalangan Syiah dari Dinasti Fathimiyah di Mesir. Tradisi maulid waktu itu
digalakkan untuk membangkitkan semangat cinta Nabi dan ahlul bait, serta
memperkukuh persatuan dan konsolidasi negara sebagai oposisi pemerintahan
Sunni di Baghdad.
Setelah melihat efek tradisi maulid itu, Sultan Muzhaffar
ad-Din di Irbil (masih bawahan Abbasiyah Baghdad yang Sunni) ikut
membudayakannya. Ia bahkan menggelontorkan lebih dari 1.000 dinar sebagai
hadiah bagi siapa saja yang mampu menyusun syair-syair pujian kepada Nabi (madah nabawiy). Sejak saat itu,
tradisi maulid menjadi budaya populer dan semarak dilakukan di negara-negara
kekhilafahan lainnya.
Tradisi maulid semakin berkembang ketika Shalahuddin
al-Ayyubi (penakluk Jerusalem dan pahlawan Perang Salib) memanfaatkan efek
tradisi maulid itu. Shalahuddin berpandangan bahwa maulid bisa menjadi
manifesto persatuan dan persaudaraan (ukhuwwah)
umat Islam. Untuk membangkitkan semangat juang prajuritnya, Shalahuddin
mengadakan sayembara menggubah syair-syair madah. Salah satu karya besar yang
lahir waktu itu ialah kitab Maulid al-Barzanji, karya Syaikh Ja'far al-Barzanji,
yang masih banyak dibaca hingga kini dan sering didendangkan rutin mingguan
rutin mingguan di masyarakat santri.
Intinya maulid menjadi tradisi dan budaya populer pada
mulanya untuk membangkitkan rasa cinta kepada Nabi dan semangat persaudaraan:
bahwa umat Islam punya nabi yang sama, jadi mengapa harus berpecah belah?
Hingga kini, tradisi itu masih diperingati dengan semarak.
Di Turki, sepekan sebelum puncak maulid, masjid-masjid dihiasi dengan
lampion-lampion warna-warni. Di Mesir dulu, ketika masa Mamluk, sebagaimana
diceritakan Annemarie Schimmel dalam bukunya, Muhammad Utusan Allah, perayaan
besar-besaran diselenggara kan di pelataran benteng Kairo hingga ruas-ruas
jalan penuh sesak dengan manusia. Di sebagian negara berpenduduk mayoritas
muslim, peringatan kelahiran Nabi dirayakan dengan semarak pula.
Kekuatan Budaya
Bila melihat sisi historisnya, salah satu aspek penting
yang bisa kita gali dari tradisi maulid ialah soal kekuatan budaya. Budaya
itu menggerakkan semangat rakyat populer. Suatu ideologi, propaganda, dakwah,
ajaran agama, atau hal-hal lain semacamnya akan efektif jika disebarkan
secara bersenyawa dengan budaya populer. Ia bisa menyebar luas dan publik
menyambutnya tanpa terpaksa.
Beda halnya jika ia disampai kan secara elitis, mi salnya,
dengan kajian atau ceramah sebagaima na umumnya. Itu cenderung membuat orang
awam bosan dan sering hanya dinikmati mereka yang benar-benar punya kesadaran
religius. Tradisi maulid yang dibalut dengan kreativitas musikal akan menarik
perhatian masyarakat hingga ke akar rumput.
Kekuatan budaya yang termanifestasikan dalam tradisi
maulid itu patut dilestarikan. Pada hemat saya, ia punya setidaknya tiga
signifikansi dalam kehidupan sosial.
Pertama, nilai edukatif. Kitab Maulid al-Barzanji berisi
pemaparan etika-etika luhur yang diteladankan Nabi. Di bagian akhir kitab
itu, misalnya, disebutkan beberapa perangai mulia Nabi: lebih suka bersama
para fakir miskin, hidup dengan amat sederhana, menjahit sandal dan bajunya
sendiri, sangat pemalu, bila berjalan tidak membusungkan dada, selalu
berjalan di belakang para sahabatnya, sangat penyayang dengan keluarganya,
dan seterusnya.
Kedua, sebagai `oposisi kultural'. Di tengah dominasi
budaya populer yang cenderung memanjakan konsumen dalam gemerlap materi,
tradisi maulid punya eksistensi penting sebagai budaya tandingan. Ia berperan
minimal sebagai penyeimbang dari hegemoni lagu-lagu populer yang akhirakhir
ini cenderung tidak punya nilai edukatif sama sekali, bahkan cenderung
memopulerkan hal-hal yang kurang baik dan tabu.
Ketiga, untuk menginternalisasikan kembali idealisme etika
Nabi. Salah satunya yang penting ialah sikap asketis (zuhud). Sikap itu menjadi benteng dari gempuran budaya materialisme.
Sikap zuhud berdasar pada paradigma bahwa kehidupan dunia ini fana dan
sementara, sebagaimana sabda Nabi: “Di
dunia ini, jadilah kamu seolah-olah orang yang mengembara atau orang yang
melewati jalan. Persiapkan bahwa dirimu akan termasuk (kelompok) orang-orang
yang mati.“
Itu sekaligus menjadi nasihat untuk para pemimpin kita. Masih
ingatkah Anda dengan membengkaknya dana Banggar DPR tahun lalu untuk halhal
remeh semacam renovasi ruang, bikin kalender, pengharum ruangan, pembenahan
toilet, dan jasa internet? Para pemimpin kita hari ini pun gemar memamerkan
kekayaan, mobil mereka, jam tangan Rolex mereka.
Kepemimpinan ala Nabi adalah kepemimpinan yang sarat
dengan askestisme. Sementara para raja di Persia dan Romawi bergelimang
materi, Nabi Muhammad kerap tidak menemukan sarapan di meja makannya dan
karena itu, ia memilih untuk berpuasa. “Jika
seorang anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia masih menginginkan
lembah yang ketiga,“ demikian sabdanya, “dan tidak ada yang mampu
memenuhi perut anak Adam kecuali tanah.“
Peringatan maulid Nabi merupakan momentum
untuk mengingat kembali dan menginternalisasikan sikap-sikap kesederhanaan
Nabi itu. Teladan Nabi adalah teladan tentang perlawanan terhadap
konsumerisme. “Zuhudlah dari apa-apa
yang ada di tangan manusia,“ kata Nabi, “niscaya engkau akan dicintai manusia.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar