Selasa, 22 Januari 2013

Men-Sukamiskin-kan Napi Korupsi


Men-Sukamiskin-kan Napi Korupsi
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 22 Januari 2013



Memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi bukanlah pekerjaan hukum yang mudah, perlu upaya lebih. Namun, mengirimkan para napi korupsi ke Lapas Sukamiskin pun tidak kalah sulitnya. 

Memiskinkan koruptor merupakan aspirasi yang terus menguat. Diyakini dengan begitu koruptor lebih jera, dan kapok korupsi. Saya sangat setuju. Namun, pemiskinan adalah wilayah kerja penegak hukum, bukan Kemenkumham. Maka, yang kami bisa lakukan adalah melakukan pembinaan dan penjeraan sesuai kewenangan Kemenkumham, di antaranya dengan pengetatan hak-hak napi seperti remisi dan pembebasan bersyarat.

Kebijakan pengetatan itu pun sudah kami perkuat dengan PP Nomor 99 Tahun 2012. Tidak berhenti hanya dengan pengetatan remisi dan PP, Kemenkumham melanjutkan dengan memutuskan pemusatan napi korupsi di Lapas Sukamiskin. Mengapa di Sukamiskin, kenapa tidak di Nusa Kambangan? Sebenarnya, usulan untuk menjadikan Lapas Sukamiskin di Bandung sebagai lapas korupsi bukanlah ide baru. Namun, baru setengah tahun ke belakang ide itu diputuskan menjadi kebijakan. 

Tentu saja kajian telah dilakukan secara matang. Secara peraturan, melakukan klasifikasi pembinaan berdasarkan jenis kejahatan jelas sejalan dengan UU Pemasyarakatan. Lebih jauh, dengan dipusatkan pada satu lapas, pengawasan akan lebih mudah. Sukamiskin terpilih karena disiplin pengawasannya termasuk yang terbaik. Saya sudah berulang kali ke Sukamiskin dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana tertibnya pembinaan dilakukan.

Tentu saja disiplin pembinaan yang sudah bagus demikian sangat penting sebagai prasyarat utama untuk menghadapi tugas berat pembinaan pada napi tindak pidana korupsi (tipikor) yang membutuhkan tingkat kedisiplinan di atas rata-rata. Tidak kami nafikan, di masa sebelumnya, Sukamiskin pernah tidak tertib. Penyimpangan terjadi. Fasilitas mewah di luar ketentuan dimiliki beberapa napi spesial. Bahkan ruang pegawai dan rumah petugas digunakan sebagai tempat tinggal napi. Namun, masa itu sudah lewat, penertiban berhasil dilakukan. Fasilitas mewah berhasil dihilangkan. 

Dalam kondisi demikian, Sukamiskin siap menerima tugas lanjutan, menjadi lapas napi tipikor. Pengawasan yang dipusatkan di Sukamiskin adalah konsep dasar manajemen pengawasan. Selama ini napi tipikor yang tersebar kerap menjadi pemicu terjadinya penyimpangan. Sering kali berita fasilitas mewah dan pelayanan khusus yang diterima terkait dengan napi tipikor. Maka, dengan memusatkannya di Sukamiskin, kontrol akan lebih mudah dilakukan. 

Ambil contoh sederhana, ketika pengadilan tipikor masih terpusat di Jakarta, pengawasan lebih efektif, penyimpangan tidak pernah terdengar. Namun, begitu pengadilan tipikor menyebar ke daerah, pengawasan lebih sulit, muncullah kasus-kasus hakim tipikor tertangkap tangan karena menerima suap dan lain-lain. Lalu, kenapa yang dipilih Sukamiskin, bukan Nusa Kambangan? Jawabannya masih terkait dengan pengawasan yang efektif. Sukamiskin masih dekat dengan Jakarta, sehingga setiap saat kami bisa langsung terjun ke lapangan memantau situasi sesungguhnya. 

Hal yang tidak mungkin kami lakukan jika mesti memeriksa ke Nusa Kambangan yang memakan waktu lebih lama serta membutuhkan transportasi darat atau udara, bahkan laut. Membayangkan di Nusa Kambangan pasti tidak ada penyimpangan juga tidak terbukti. Faktanya, dalam kasus narkoba saja pernah ada kalapas yang terlibat dalam jaringan pengedar. Tidak pula kami tutupi, bahwa beberapa bandar tertangkap masih bisa beroperasi dari dalam Lapas Nusa Kambangan. 

Kalaupun diperlukan inspeksi mendadak (sidak), Kota Bandung adalah yang paling ideal bagi kami yang di Jakarta. Sudah jamak kita ketahui, sidak tidak jarang bocor sehingga kondisi yang sebenarnya tidak terlihat. Tujuan sidak tidak tercapai. Itu terjadi jika kami mesti sidak ke kota di luar Jakarta dengan menggunakan pesawat. Sejak di bandara, ke mana tujuan kami tidak jarang sudah diketahui. Namun hal demikian tidak terjadi jika kami ke Bandung. Kerahasiaan lebih bisa dijamin. Karena kami bisa menjangkaunya dengan mobil dalam rentang waktu 2 sampai 3 jam saja. 

Kalau alasannya agar mudah dijangkau, kenapa napi tipikor tidak dipusatkan di Jakarta? Di samping karena tingkat disiplin Sukamiskin lebih baik dibandingkan dengan lapas yang ada di Jakarta, saat ini Lapas Sukamiskin tidak mempunyai masalah kapasitas berlebih sebagaimana dialami semua lapas di Jakarta. Dengan kapasitas 547 orang, sampai hari Senin kemarin tingkat hunian adalah 451 orang. Karena itu, Sukamiskin masih siap menerima pengiriman napi korupsi dari luar Bandung. 

Namun, kapasitas hunian 547 itu masih tidak sebanding dengan jumlah total napi dan tahanan korupsi yang se-Indonesia per hari Senin kemarin berjumlah 2.396 orang. Oleh karena itu, dalam menentukan prioritas pemindahan ada enam kriteria yang harus diperhatikan. Pertama, napi yang bersangkutan adalah high profile person, yaitu orang-orang yang selaku pemimpin seharusnya memberi contoh teladan untuk tidak korupsi. Jadi, kalau napi korupsi yang levelnya staf, tidak diprioritaskan untuk di- Sukamiskin-kan. Kedua, ancaman—bukan vonis—hukumannya minimal 5 tahun. 

Kriteria ini berarti meskipun vonisnya kurang dari 5 tahun, maka sepanjang pasal yang didakwakan ancamannya lebih dari 5 tahun, yang bersangkutan masuk kriteria untuk dipindahkan ke Sukamiskin. Ketiga, jika ada kerugian negara, maka nilainya di atas Rp100 juta. Sehingga jika kerugian negaranya di bawah Rp100 juta, yang bersangkutan tidak prioritas untuk digeser ke Sukamiskin.

Keempat, ekspirasi atau sisa menjalani masa hukumannya minimal 1 tahun. Artinya, yang di bawah itu sisa hukumannya tidak perlu diberangkatkan ke Sukamiskin. Kelima, tidak MAP (masih ada perkara), misalnya masih menjadi saksi dalam kasus lain di tempatnya menjalani hukuman. Yang terakhir, keenam, berjenis kelamin pria. Kami ingin fokus kepada pria terlebih dahulu, di samping napi korupsi wanita memang lebih sedikit. Dengan enam kriteria itulah dalam beberapa hari ke belakang napi korupsi bergeser dari seluruh provinsi di Jawa khususnya ke Sukamiskin. 

Dari Jatim dan Yogya menggunakan kereta nonekonomi, sedangkan dari Semarang menggunakan bus nonekonomi. Semuanya dengan alasan keamanan, berdasarkan jarak dan waktu tempuh. Dengan kereta eksekutif yang jadwalnya siang hari, kemungkinan kabur lebih kecil. Juga menghindari waktu tempuh yang lebih lama karena kereta ekonomi harus berhenti di setiap stasiun dan persimpangan sehingga lebih rawan. Demikian pula pilihan menggunakan bus nonekonomi agar rombongan lebih cepat sampai. 

Tidak direpotkan dengan keperluan berhenti untuk “ke belakang” karena di dalam bus sudah tersedia kamar kecil.Kendaraan tahanan tidak digunakan karena usianya yang relatif lebih tua serta napi tipikor yang dipindahkan banyak dan akan memerlukan beberapa kendaraan tahanan sehingga lebih rawan dari segi keamanan. Adapun untuk Jakarta dan Banten, pemindahan tetap dilakukan dengan menggunakan mobil tahanan karena waktu tempuh dan jaraknya yang lebih pendek sehingga faktor keamanan tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Kebijakan ini tidak boleh gagal. 

Kepada petugas di Sukamiskin kami perintahkan untuk menyukseskan dengan zero penyimpangan. Mereka tentu akan mendapatkan penghargaan yang sepadan jika sukses melaksanakan tugas, sebaliknya akan mendapatkan hukuman yang setimpal jika gagal menjalankan tugas mulia ini. Kami paham, tekanan dan godaan tidaklah ringan. Bapak Amir Syamsudin, Menkumham, dalam beberapa kesempatan menceritakan ada pihak-pihak yang menghubungi beliau untuk menawar pemindahan. 

Dengan tegas Pak Amir menolaknya. Bagi kami, tidak ada pilihan gagal dalam kebijakan men-Sukamiskin-kan napi korupsi, bagi Indonesia yang lebih baik, untuk Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar