Selasa, 22 Januari 2013

Pecah Kongsi Nasdem


Pecah Kongsi Nasdem
Gun Gun Heryanto ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta 
SINDO, 22 Januari 2013



Tak salah jika tahun 2013 menjadi tahun politik penuh kejutan. Setelah rangkaian drama dan kegaduhan dalam pengumuman 10 partai yang lolos verifikasi faktual, kini publik dibuat tercengang dengan mundurnya salah satu elite utama Partai Nasional Demokrat (NasDem), Hary Tanoesoedibjo (HT), dari jabatannya sebagai ketua Dewan Pakar. 
Meski isu pecah kongsi HT dengan Surya Paloh (SP) sudah bergulir cukup lama, tetapi siapa menyangka HT akan benar-benar mundur di tengah popularitas NasDem yang sedang menanjak dan menjadi satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi. Itulah jalan politik yang tak selalu linear, selalu muncul sejumlah paradoks yang membuat satu keputusan politik mengundang sejuta makna dan seribu kemungkinan dampak lanjutan. Dalam konteks sirkulasi elite itulah posisi mundurnya HT menarik untuk dianalisis, terutama menyangkut keberadaan NasDem saat ini dan ke depan. 

Posisi Strategis 

Sejak HT masuk ke NasDem pelan tapi pasti pergerakannya makin nyata dan makin memosisikan HT lekat dengan political branding partai berslogan restorasi Indonesia ini. Hal ini bisa dimaklumi karena beberapa faktor. Pertama, proses political news framing di sejumlah media, terutama di grup media yang dimiliki HT. Sumbangsih HT dalam membangun brand NasDem melalui serangkaian publisitas politik yang intensif tak bisa kita nafikan.

Dalam pandangan Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987), upaya memperkuat brand ini sama pentingnya dengan pengembangan strategi kampanye lain seperti positioning dan segmenting. Branding dilakukan untuk memalingkan perhatian khalayak. Secara umum brand sama dengan trademark atau merek dagang. Oleh karena sebuah merek itu harus eksis, bukan semata-mata soal atribut seperti keunggulan, keistimewaan, kualitas, atau kekuatan, tetapi juga mesti menunjukkan keuntungan (benefits), nilai (values), budaya, personalitas serta sasaran kampanyenya. 

Sejak HT masuk ke NasDem 9 Oktober 2011, hal itu menjadi keuntungan tersendiri bagi brand NasDem dalam konteks persepsi publik tentang partai baru yang mapan dan siap berkompetisi di Pemilu 2014. Dalam kerja pengelolaan dan penguasaan opini publik inilah formula agenda setting media berlaku. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan mereka yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” menyebutkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. 

Saat NasDem diperingkatkan sebagai partai potensial di 2014, pelan tapi pasti HT juga kian populer bahkan menjadi lebih lekat dibandingkan SP yang di saat bersamaan terkesan masih menjaga jarak dari NasDem yang beridentitas partai, bukan ormas. Kedua, faktor finansial. HT bermetamorfosis menjadi sosok penting di NasDem karena memiliki kekuatan finansial. Konteksnya mendukung, saat NasDem harus membangun infrastruktur partai di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan seluruh Indonesia, NasDem butuh suntikan dana yang luar biasa besar.

Terlebih, NasDem harus lolos verifikasi administratif dan faktual. HT yang masuk ke NasDem belakangan tentu menjadi sosok yang menjanjikan dalam konteks kepentingan penetrasi partai. Wajar jika HT segera berubah menjadi ikon penting NasDem. Posisi ini tentu tak membuat nyaman SP yang sedari awal juga punya kepentingan untuk berada di puncak otoritas partai yang secara historis memang diinisiasi olehnya. Soal apa yang menjadi pemantik sesungguhnya dari pecah kongsi SP dan HT, tentu hanya mereka dan orang terdekat mereka sendiri yang tahu. 

Dampak Lanjutan 

Pengunduran diri HT secara langsung maupun tak langsung tentu merugikan NasDem. Pertama, terkait dengan image partai. Perpecahan ini akan menyebabkan buruknya citra kekinian (current image) NasDem sebagai partai baru. Selayaknya partai baru dalam pemilu, harusnya NasDem membangun impresi sebagai partai solid dan mengembangkan kebersamaan untuk bertarung melawan kompetitor lain. 

Bukan sebaliknya, mengembangkan relasi antagonistik sesama warga NasDem sendiri. Pecah kongsi sebelum kompetisi akan menyumbang persepsi negatif sekaligus keraguan publik akan kemampuan partai NasDem membawa harapan. Kedua, mundurnya HT akan merugikan momentum political publicity yang sekarang sedang gencar dilakukan NasDem. Kita ingat, posisi NasDem yang sudah masuk di top of mind khalayak tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengemasan opini publik di berbagai media milik HT. Keuntungan ini tentu tak akan lagi didapat NasDem.
Ketiga, kerugiannya adalah dapat memicu konflik lanjutan di lingkup internal NasDem. Sebagaimana kita ketahui, dalam perspektif sirkulasi elite, perubahan elite itu selalu menyebabkan perubahan-perubahan lain pada subsistem lainnya. Sangat mungkin, akan banyak orang HT yang kecewa. Sangat mungkin pula NasDem akan mengalami friksi tidak hanya di level pengurus pusat, tetapi juga di daerah. Hal ini tentu akan sangat berbahaya bagi eksistensi NasDem karena bisa menjadi katalisator keguncangan di antara orangnya HT dan orangnya SP. 

Misalnya, indikator itu terlihat dari komentar HT saat mengundurkan diri.Salah satu visinya adalah mendukung orang-orang muda untuk menjadi pengurus partai dan dengan “pengambilalihan” eksekutif partai oleh SP, hal itu akan berpotensi memicu ketidaksolidan pengurus yang merembet hingga ke daerah. Tentu, mundurnya HT merugikan persiapan NasDem sebagai partai potensial di Pemilu 2014. Elektabilitasnya sangat mungkin turun drastis dan berpotensi terjadinya zero sum game dalam relasi antagonistik antarelite di dalamnya. 

Ada istilah no free lunch dalam politik! Sedari awal, tentu HT juga menyadari, masuknya dia ke NasDem karena dianggap punya modal finansial dan modal politik, yakni kekuatan media. Wajar jika SP melihat posisi strategis ini dan berkolaborasi dengannya. Bagaimanapun, konflik internal partai, terlebih partai baru, akan sangat berbahaya karena berpotensi merontokkan mesin pemenangan di lapangan. Lebih berbahaya lagi bagi satu partai jika ambisi seorang elite lebih dominan daripada kekuatan sistem! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar