Peluang di
Tengah Ketakutan Berlanjut
Pasar Modal
Indonesia
Leo Herlambang ; Pengamat Pasar Modal,
Ketua
Pusat Studi Keuangan Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair
|
JAWA
POS, 03 Januari 2013
REFLEKSI pasar modal Indonesia 2012 yang berjudul Cermati
Pertengahan Tahun (Jawa Pos, 5 Januari
2012) menganjurkan investor saham sejak awal 2012 menempatkan investasinya
dalam bentuk kas/deposito sampai pertengahan 2012, menunggu ''time to buy'' ketika
pasar dalam kondisi ''takut''. Itu juga sekaligus tersirat ''time to sell'' bagi
investor yang sudah posisi hold sejak awal tahun bila harga sudah naik. IHSG
2012 berada di 3.800-an, naik hingga awal Mei 2012 di 4.225-an, sekitar 10,9
persen. Setelah itu, IHSG meluncur tajam pada awal Juni 2012 hingga ke
3.650-an, turun 13,6 persen sebulan.
Pada pertengahan tahun, pasar dilanda ketakutan. Mayoritas saham blue chip turun 15-38 persen hanya dalam jangka sekitar dua bulan. Rupiah melemah dari Rp 9.000 menjadi Rp 9.500 per USD dalam dua minggu. Devisa yang ditarik ke luar di atas USD 8 miliar dalam sebulan. Banyak perusahaan yang mendadak mengurungkan go public. Misalnya, Pegadaian. Di Hongkong, menurut BBC-Reuters, pembatalan mendadak dilakukan Graff Diamonds senilai 646 juta poundsterling, China Nonferrous Mining senilai USD 313 juta, dan raksasa otomotif Tiongkok Yongda Automobiles Services USD 433 juta. Sebagai catatan, IPO Graff Diamonds digadang-gadang menjadi IPO terbesar di Asia 2012. Setelah itu, IHSG kembali menguat sekitar 17 persen, dari 3650-an menjadi 4.300-an akhir 2012. Namun, perlu dicatat, ketakutan itu masih berlanjut dengan menurunnya nilai transaksi di BEI. Dapat dilihat dari perbandingan 2011 dan 2012. Pada 2011, nilai transaksi rata-rata harian mencapai Rp 4,95 triliun dan pada 2012 hanya Rp 4,53 triliun per hari atau turun 8,48 persen. Performa rupiah terhadap USD hingga akhir Desember 2012 melemah sekitar 7 persen di kisaran Rp 9.700, saat mata uang Asia secara umum menguat. Jika dihubungkan dengan pasar modal, selama lima bulan pertama 2012, IHSG digerakkan oleh saham-saham yang berbasis komoditas seperti coal (batu bara) dan CPO alias minyak sawit (2C). 2C itulah penghasil devisa yang relatif besar untuk menguatkan rupiah. Ketika harga 2C jatuh, nilai devisa turun. Jatuhnya harga 2C mengakibatkan harga-harga saham sektor tersebut rontok, bahkan ada yang jatuh lebih dari 50 persen. Ada beberapa kemungkinan penyebab memburuknya nilai transaksi 2012. Pertama, komposisi market capitalization saham komoditas dan perbankan di BEI terlalu besar. Karena itu, ketika harga komoditas turun tajam, emosi investor untuk trading sangat terpengaruh. Kedua, para investor atau fund manager besar juga terjebak inves terlalu besar di saham komoditas dan tidak berani switch. Ketiga, investor yang sudah memegang saham 2C tidak berani cut loss karena harga sudah terdiskon sangat rendah. Keempat, investor yang ingin beli saham-saham yang telah turun tajam, khususnya 2C, masih khawatir harga bisa turun lagi. Kelima, lanjutan fenomena kesatu sampai keempat, volume bid offer saham-saham blue chip, khususnya 2C, menurun, sehingga value transaksi menurun dan mendorong trader bertransaksi di luar sektor 2C, beralih di sektor properti, industri dasar, infrastruktur, dan perdagangan yang secara umum market capitalization-nya tidak begitu tinggi tapi outstanding share-nya besar. Fakta selama 2012, saham sektor pertanian turun sekitar 10 persen dan pertambangan turun sekitar 25 persen. Faktor penyumbang IHSG bertahan adalah sektor keuangan, yang market capitalization-nya sangat besar dan hanya naik sekitar 10 persen. Investor dan trader yang masih memiliki peluang transaksi secara umum akhirnya beralih ke sektor keuangan dan berlanjut ke sektor properti (naik sekitar 40 persen), industri (naik sekitar 30 persen) , infrastruktur (naik sekitar 25 persen), perdagangan (naik sekitar 25 persen), dan konsumsi (naik sekitar 20 persen). Bila dikaitkan dalam sudut pandang ekonomi, turunnya nilai transaksi berarti terjadi pertumbuhan negatif alias resesi bagi pasar modal. Dalam siklus bisnis lima tahunan, 2013 termasuk siklus yang cukup rentan karena juga akan memasuki sesi Pemilu 2014. Namun, menurut berbagai pendapat, Indonesia secara umum masih menjadi negara yang menarik. Persepsi Indonesia juga menguat karena rating Indonesia sudah masuk investment grade, kenaikan middle class, konsumsi yang tinggi, dan hal positif lainnya. Namun, kekhawatiran naiknya tarif dasar listrik dan BBM tentu akan menjadi pencegah kenaikan angka-angka ekonomi. Untuk 2013, mencerna kejadian 2011 dan 2012, dengan ilmu 2TA yang pernah disampaikan, yakni TA-kut dan TA-mak, dengan indikasi turunnya nilai transaksi, saat ini sebenarnya masuk era ketakutan beli dan jual, khususnya di saham-saham blue chip yang umumnya disenangi smart money. Terdapat ketakutan yang mendalam untuk investasi di saham-saham komoditas, yakni pertanian dan pertambangan. Ketamakan di sektor properti, industri dasar, infrastruktur, dan perdagangan masih ada. Ketamakan di sektor keuangan dan aneka industri sudah sangat berkurang. Maka, untuk investasi saham, akan lebih baik memegang sektor komoditas seperti sektor pertambangan dan pertanian yang risikonya mulai terbatas sekaligus mengurangi sektor properti. Sektor konsumsi masih menjanjikan karena kelas menengah meningkat dan jumlah penduduk muda yang besar. Sektor keuangan, khususnya perbankan, masih stabil. Meski demikian, proses screening investment tetap harus dilakukan, khususnya terhadap rasio utang perusahaan, apalagi berbasis mata uang asing. Untuk prosesscreening saham yang paling aman, gunakan Islamic investment screening, sebagaimana mulai banyak dilakukan di luar negeri. Misalnya, Bloomberg, kerja sama Thomson Reuters & Crescent Wealth, Dow Jones, FTSE, MSCI, Standard & Poor, dan Russell. Di BEI, sudah ada JII dan ISSI. Selain ilmu 2TA dan prosesinvestment screening, gunakan pula jurus ''follow the smart money'' agar tetap aman saat kondisi masih tidak menentu. Tetap semangat karena tidak ada kiamat di 2012. Selamat berinvestasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar