Selasa, 01 Januari 2013

Paradigma GDP Oriented


Paradigma GDP Oriented
Didin S Damanhuri ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB 
REPUBLIKA, 31 Desember 2012



Sepanjang 2012 kita mencatat "prestasi pembangunan" yang ukuran pertumbuhannya gross domestic product (GDP). Tulisan ini ingin menyampaikan kritik terhadap ukuran GDP yang sering dianggap sebagai cermin kemakmuran sebuah negara.
Sejak 1970 World Bank rutin menerbitkan laporan "Development Report"
yang berisi capaian kemakmuran negara di dunia. Memang, kritik terhadap GDP sudah lama, terutama mengenai kenyataan bahwa GDP tidak otomatis mencerminkan tingkat kesejahteraan sebuah bangsa, apalagi kesejahteraan penduduk orang per orang. Indonesia, misalnya, GDP per kapita 3.600 dolas AS. Faktanya, penduduk Indonesia yang pendapatannya dua dolar AS per hari (miskin) masih sekitar 50 persen. 

Di dunia ini ada tiga model dalam memperlakukan GDP. Pertama, negara GDP-oriented, yakni negara yang secara overall mengukur kemajuannya melalui struktur GDP, contohnya Amerika Serikat (AS). Lewat ukuran GDP, Amerika merupakan negara terkaya di dunia. Ironis nya, kemiskinan masyarakat AS juga ter masuk tinggi, yakni 18 persen, menurut catatan statistik mereka, dengan homelesssekitar 12 persen, serta gelandangan kira-kira dua juta.

Kedua, model negara yang GDP-nya hanya sebagai indikator, dengan peranan negara, koperasi, serikat buruh, civil society yang sama besarnya, dan juga sistem jaminan social, serta pajak progresif. Semuanya itu pada gilirannya menciptakan peran yang balance.

Model ketiga, yang saya sebut sebagai Heterodox Model, yakni keluar dari perspektif sosial demokrasi ala Eropa dan perspektif neoliberalisme ala Amerika. GDP itu tetap menjadi indikatornya, serikat buruhnya lemah, namun gerakan koperasinya relatif kuat. Jaminan sosial juga tidak sistemik, seperti di Eropa, tetapi tingkat kese- jahteraan masyarakat bawahnya sama tingginya dengan negara-negara Skandinavia (Swedia dan sebagainya).

Mengapa heterodox? Karena, dia secara demokrasi politik pun bukan mengelola konflik, tapi lebih consensus scenario of democracy. Jadi, secara politik masih feodalistik, peran konglomerasi sangat besar, tetapi industrinya hanya membuat coreteknologi. Sementara, 90 persennya dibuat UKM. Jadi, ada sistem subkontrak yang industri kecilnya luar biasa perannya. Kemudian, landreform juga dilaksanakan.

Pada era 1970-1985, GDP hanya sebagai indikator. Kalau sekarang ada jargon pro-poor, pro-job, pro-growth, pro-environtment tapi tidak dibuktikan korelasinya secara signifikan dalam APBN. Dan, tidak dibuktikan dalam kebijakan daerah dan sebagainya. Kemudian, bagaimana dampak ekonomi dari orientasi GDP tersebut? Menurut saya, luar biasa di Indonesia ini.

Sejak 1985 Indonesia semakin menjadi bagian dari kebijakan global. Setelah krisis moneter 1998, Indonesia kemudian mengadopsi sistem demokrasi politik sangat bebas. Memang, pemilu sepertinya kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi sesungguhnya, demokrasi menempatkan stakeholderglobal dalam proses pengambilan keputusan. Dan, itu terbukti ketika diminta satu studi tentang "ekonomi konstitusi" oleh Sugeng Suryadi Sindicated dan INDEF, saya menemukan 112 undang-undang yang bias terhadap kepentingan asing.

Sewaktu ke Kendari, penulis terhentak ketika di sana ada proyek properti dengan harga rumah Rp 800 juta hingga Rp 5 miliar yang laku semua. Properti itu milik Grup Ciputra. Mereka juga memiliki hotel termewah, Swiss-belhotel. Mengapa properti digenjot? Karena, properti sangat sensitif mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah (GDRP). Sebaliknya, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), apalagi sektor pertanian dan perikanan, tak diperhatikan karena tidak mendorong GDP.

Sesungguhnya, tak ada yang salah kalau kita bicara pertumbuhan yang berarti bicara kemakmuran. Tetapi, problemnya kalau sudah GDP oriented, sensitivitas terhadap pertumbuhan itu bukan lagi sektor riil, tapi semakin sensitif pada sektor finansial. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa GDP itu ditopang oleh pilar-pilar. Pilar itu umumnya ada sembilan sektor, di antaranya pertanian, industri, dan seterusnya. Tetapi, yang dianggap penggerak dari semua itu adalah bank. Bank bersifat sentralistik.

Sistem perbankan itu berlaku branch banking system. Maksudnya, bank umumnya berkantor pusat di ibu kota. Nah, bank-bank ini akan menyedot dana dari pedesaan dan daerah untuk kemudian masuk di kantor pusat. Apa yang terjadi? Pengeringan secara sistematik likuiditas di daerah. 

Terkait ekonomi syariah, menurut saya, kalau perbankan syariah hanya menjadi bagian dari pilar dari GDP Oriented maka dia juga telah menjadi bagian yang menciptakan ketidakadilan. GDP Oriented ini telah menjadikan negara kita sangat liberal. Seharusnya, GDP Oriented ini kita bongkar.

1 komentar: