Paradigma GDP
Oriented
Didin S Damanhuri ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB
|
REPUBLIKA,
31 Desember 2012
Sepanjang 2012 kita mencatat
"prestasi pembangunan" yang ukuran pertumbuhannya gross domestic product (GDP). Tulisan
ini ingin menyampaikan kritik terhadap ukuran GDP yang sering dianggap
sebagai cermin kemakmuran sebuah negara.
Sejak 1970 World Bank
rutin menerbitkan laporan "Development
Report"
yang berisi capaian kemakmuran negara di dunia. Memang, kritik terhadap GDP sudah lama, terutama mengenai kenyataan bahwa GDP tidak otomatis mencerminkan tingkat kesejahteraan sebuah bangsa, apalagi kesejahteraan penduduk orang per orang. Indonesia, misalnya, GDP per kapita 3.600 dolas AS. Faktanya, penduduk Indonesia yang pendapatannya dua dolar AS per hari (miskin) masih sekitar 50 persen.
Di dunia ini ada tiga
model dalam memperlakukan GDP. Pertama, negara GDP-oriented, yakni negara
yang secara overall mengukur kemajuannya
melalui struktur GDP, contohnya Amerika Serikat (AS). Lewat ukuran GDP, Amerika
merupakan negara terkaya di dunia. Ironis nya, kemiskinan masyarakat AS juga
ter masuk tinggi, yakni 18 persen, menurut catatan statistik mereka, dengan
homelesssekitar 12 persen, serta gelandangan kira-kira dua juta.
Kedua, model negara
yang GDP-nya hanya sebagai indikator, dengan peranan negara, koperasi,
serikat buruh, civil society yang
sama besarnya, dan juga sistem jaminan social, serta pajak progresif. Semuanya
itu pada gilirannya menciptakan peran yang balance.
Model ketiga, yang
saya sebut sebagai Heterodox Model, yakni keluar dari perspektif sosial
demokrasi ala Eropa dan perspektif neoliberalisme ala Amerika. GDP itu tetap
menjadi indikatornya, serikat buruhnya lemah, namun gerakan koperasinya
relatif kuat. Jaminan sosial juga tidak sistemik, seperti di Eropa, tetapi
tingkat kese- jahteraan masyarakat bawahnya sama tingginya dengan
negara-negara Skandinavia (Swedia dan sebagainya).
Mengapa heterodox?
Karena, dia secara demokrasi politik pun bukan mengelola konflik, tapi lebih consensus scenario of democracy. Jadi,
secara politik masih feodalistik, peran konglomerasi sangat besar, tetapi
industrinya hanya membuat coreteknologi. Sementara, 90 persennya dibuat UKM.
Jadi, ada sistem subkontrak yang industri kecilnya luar biasa perannya.
Kemudian, landreform juga dilaksanakan.
Pada era 1970-1985,
GDP hanya sebagai indikator. Kalau sekarang ada jargon pro-poor, pro-job, pro-growth, pro-environtment tapi tidak dibuktikan
korelasinya secara signifikan dalam APBN. Dan, tidak dibuktikan dalam kebijakan
daerah dan sebagainya. Kemudian, bagaimana dampak ekonomi dari orientasi GDP
tersebut? Menurut saya, luar biasa di Indonesia ini.
Sejak 1985 Indonesia
semakin menjadi bagian dari kebijakan global. Setelah krisis moneter 1998,
Indonesia kemudian mengadopsi sistem demokrasi politik sangat bebas. Memang,
pemilu sepertinya kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi sesungguhnya,
demokrasi menempatkan stakeholderglobal dalam proses pengambilan keputusan.
Dan, itu terbukti ketika diminta satu studi tentang "ekonomi konstitusi"
oleh Sugeng Suryadi Sindicated dan INDEF, saya menemukan 112 undang-undang
yang bias terhadap kepentingan asing.
Sewaktu ke Kendari,
penulis terhentak ketika di sana ada proyek properti dengan harga rumah Rp
800 juta hingga Rp 5 miliar yang laku semua. Properti itu milik Grup Ciputra.
Mereka juga memiliki hotel termewah, Swiss-belhotel. Mengapa properti
digenjot? Karena, properti sangat sensitif mendongkrak pertumbuhan ekonomi
daerah (GDRP). Sebaliknya, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), apalagi
sektor pertanian dan perikanan, tak diperhatikan karena tidak mendorong GDP.
Sesungguhnya, tak ada
yang salah kalau kita bicara pertumbuhan yang berarti bicara kemakmuran.
Tetapi, problemnya kalau sudah GDP oriented, sensitivitas terhadap
pertumbuhan itu bukan lagi sektor riil, tapi semakin sensitif pada sektor
finansial. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa GDP itu ditopang oleh
pilar-pilar. Pilar itu umumnya ada sembilan sektor, di antaranya pertanian,
industri, dan seterusnya. Tetapi, yang dianggap penggerak dari semua itu
adalah bank. Bank bersifat sentralistik.
Sistem perbankan itu
berlaku branch banking system.
Maksudnya, bank umumnya berkantor pusat di ibu kota. Nah, bank-bank ini akan
menyedot dana dari pedesaan dan daerah untuk kemudian masuk di kantor pusat.
Apa yang terjadi? Pengeringan secara sistematik likuiditas di daerah.
Terkait ekonomi
syariah, menurut saya, kalau perbankan syariah hanya menjadi bagian dari
pilar dari GDP Oriented maka dia juga telah menjadi bagian yang menciptakan
ketidakadilan. GDP Oriented ini telah menjadikan negara kita sangat liberal.
Seharusnya, GDP Oriented ini kita bongkar. ●
|
Terima kasih, saya sedang mencari tulisan ini.
BalasHapus