Kamis, 10 Januari 2013

Menyorot Putusan PTUN Seputar Pemilukada


Menyorot Putusan PTUN Seputar Pemilukada
Dodi Riyadmadji ;   Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan HAL Kemendagri; Ketua I Ikatan Alumni Lemhannas
SINDO,  10 Januari 2013



Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang diselenggarakan di Indonesia sejak 2005 diliputi serangkaian problem yang pelik untuk direnungkan.Tulisan ini mencoba menguraikan beberapa contoh putusan peradilan PTUN yang cukup sulit dipahami dari perspektif akal sehat dalam penyelenggaraan pemerintahan. 
Dalam pemerintahan daerah, pemilukada lazimnya dipahami sebagai proses politik untuk memilih kepala daerah dan wakilnya. Di dalam proses politik itu terdapat “keputusan tata usaha negara”di antaranya yang dikeluarkan KPU kabupaten/ kota/provinsi tentang penetapan pasangan calon dan penetapan pasangan calon terpilih yang dilengkapi berita acara perolehan suara tiap pasangan calon. 

Bahkan usulan calon terpilih dari DPRD untuk pengesahan pengangkatan pun kadang-kadang dianggap oleh beberapa hakim sebagai putusan tata usaha negara yang bisa disengketakan. Barangkali seandainya putusan PTUN itu mengikuti pakem restorative justice tidak akan menimbulkan persoalan yang pelik. Sayang sekali belakangan ini banyak putusan PTUN yang memunculkan kontroversi karena ulah segelintir orang “yang pandai memanfaatkan” celah-celah pengaturan yang tak sempurna. 

Kalahkan Putusan MK? 

Pada Kamis, 26 Mei 2011, PTUN Manado membacakan putusan No.48/GTUN/2010/ PTUN.MDO atas sengketa yang diajukan Fransisca Tuwaidan dan Ir Willy Kumentas melawan KPU Kabupaten Minahasa Utara (tergugat I) dan Menteri Dalam Negeri (tergugat II). Dalam ilmu hukum memang dikenal asas hukum bahwa “hakim tidak boleh menolak perkara” yang biasa dikenal dengan ius curia novit sehingga gugatan yang didaftarkan di pengadilan harus disidangkan. 

Yang menjadi persoalan kemudian adalah bila asas hukum itu lalu disalahgunakan oleh hakim yang berani memutus perkara di luar kompetensinya atau melampaui wewenangnya (ultra-vires). Dalam Pasal 2 UU tentang PTUN sebenarnya telah ada salah satu pembatasan yang dilakukan bahwa putusan panitia pemilihan,baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum tidak termasuk dalam pengertian putusan tata usaha negara. 

Hanya saja majelis hakim di PTUN Manado saat itu berdalih bahwa gugatan dimaksud akan diadili dari sisi “apakah penerbitan objek-objek sengketa telah sesuai dengan prosedur yang berlaku”. Putusan PTUN yang saat itu ketua majelis hakimnya Budi Hartono, SH cukup mencengangkan karena ada salah satu putusan yang melampaui kewenangannya, yakni memerintahkan tergugat II (Mendagri) untuk mengesahkan pengangkatan penggugat I sebagai bupati Kabupaten Minahasa Utara periode 2010–2015. 

Hakim PTUN barangkali tidak memahami bahwa hanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat membuat putusan apakah pemilukada diulang, pemungutan suara diulang di beberapa TPS ataupun mendiskualifikasi pasangan calon dan menetapkan pasangan calon yang lain menjadi pemenang pemilihan. 

Entah logika hukum seperti apa yang dipahami hakim PTUN itu sehingga tergugat II (Mendagri) diperintahkan untuk mengesahkan penggugat I sebagai bupati Minahasa Utara periode 2010–2015,sedangkan pada saat penggugat I mengajukan permohonan PHPU di MK saja putusan MK yang ada menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. 

Mestinya hakim PTUN memahami bahwa SK Mendagri tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati harus diawali dengan proses pemilihan yang diselenggarakan KPU kabupaten, adanya putusan MK bila terjadi PHPU/keterangan panitera MK bila tidak ada yang mengajukan PHPU, adanya usulan dari DPRD melalui gubernur, baru ada proses pengesahan pengangkatan oleh Mendagri. Dengan kata lain dalam konteks pemilukada tidaklah mungkin Mendagri diperintah oleh hakim PTUN . 

Untuk Politisasi? 

Pada 16 Oktober 2010 di Depok diadakan pemilukada untuk memilih wali kota dan wakil wali kota. Saat itu terdapat empat pasangan calon, salah satunya Nur Mahmudi Ismail yang berpasangan dengan KH M Idris Abdul Shomad dan memperoleh suara terbanyak (40,99 %). Tiga pasangan kompetitornya melakukan PHPU di MK.Putusan MK No.199/PHPU.D-VIII/ 2010, No.200/PHPU.D-VIII/ 2010, dan No.201/PHPU.D-VIII/2010 masing-masing tanggal 25 November 2010 beramar putusan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. 

Atas dasar itu dilantiklah Wali Kota Depok terpilih oleh Gubernur Jawa Barat pada 26 Januari 2011. Namun di jalur PTUN terdapat gugatan terhadap Keputusan KPU Kota Depok terkait dengan penetapan pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. PTUN Bandung akhirnya memerintahkan pembatalan penetapan itu.Putusan tersebut diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta No.62/B/2011/ PT.TUN.JKT tanggal 25 Juli 2011 dan Putusan Mahkamah Agung RI No.14K/TUN/2012 tanggal 6 Maret 2012. 

Di sinilah politisasi terhadap putusan PTUN mulai dimainkan politisi. DPRD dengan Surat No.170/819-DPRD tanggal 26 November 2012 menyampaikan rekomendasi hasil Keputusan Rapat Badan Musyawarah DPRD Kota Depok kepada Mendagri melalui Gubernur Jawa Barat untuk melaksanakan pemilukada ulang. 

Dalam kasus ini terdapat lompatan logika yang dimainkan politisi di Kota Depok, seakan putusan PTUN yang diperkuat putusan Pengadilan Tinggi TUN dan putusan MA tentang pembatalan terhadap putusan KPU tentang penetapan pasangan calon Pemilukada Kota Depok Tahun 2010 otomatis berarti membatalkan SK Mendagri tentang Pengesahan Pengangkatan Nur Mahmudi Ismail sebagai Wali Kota dan KH M Idris Abdul Shomad sebagai Wakil Wali Kota Depok yang telah dilantik Gubernur Jawa Barat beberapa tahun lalu. 

Padahal senyatanya pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Depok sudah tidak ada lagi sejak Nur Mahmudi Ismail dan KH M Idris Abdul Shomad dilantik menjadi wali kota dan wakil wali kota Depok. Bahkan tidak ada dasar hukumnya sama sekali putusan PTUN sampai ke MA sekalipun dapat dijadikan dasar bagi adanya pemilukada ulang sebagaimana ditegaskan dalam Surat Mahkamah Agung RI No 114/KMA/HK.01/IX/2011 tanggal 6 September 2011 saat KPU Kabupaten Tapanuli Tengah meminta penjelasan terhadap tindak lanjut putusan PTUN yang kasusnya mirip sekali dengan kasus Pemilukada Kota Depok yang pada intinya menjelaskan ”tidak ada relevansinya menghidupkan pemilukada lagi” terkait dengan putusan PTUN tersebut. 

Rasa Keadilan 

Kita sudah lebih satu dasawarsa menjalani reformasi di berbagai bidang, tetapi di bidang penegakan hukum saat ini cenderung berfokus hanya pada kepastian hukum sehingga terarah pada tercapainya keadilan secara prosedural berdasarkan hukum acara. Rasa keadilan masyarakat sebagai bagian dari keadilan substansial sesuai dengan tujuan penegakan hukum cenderung terabaikan. 

Ke depan penegakan hukum dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum harus didasari cara berpikir dan sikap perilaku yang berlandaskan moralitas yang bernuansa positif. Oleh karena itu aparat penegak hukum,masyarakat, dan budaya hukum harus senantiasa diarahkan untuk mendukung penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan yang substansial di samping prosedural yang bertujuan untuk kepastian hukum sehingga penegakan hukum perlu memberi ruang bagi konsep restorative justice. 

Mestinya setelah selesai pemilukada dan pemenang ditetapkan, disahkan secara hukum administrasi, dan mengucapkan sumpah janji sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah,proses itu telah selesai. Langsung setelah itu secara sah kepala daerah berwenang memimpin jalannya pemerintahan daerah dengan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik guna meningkatkan pelayanan publik demi menggapai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar