Kamis, 10 Januari 2013

Kembalikan Kedaulatan Negaraku


Kembalikan Kedaulatan Negaraku
M Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO,  10 Januari 2013



Negara tidak memiliki kedaulatan lagi? Di mana pemerintah yang memanggul mandat konstitusi untuk menjaga agar kedaulatan negara tak terganggu? Apa yang dikerjakan pemerintah agar negara tetap berdaulat? 
Pemerintah sibuk menerima dengan rasa hormat para pelobi asing yang datang ke kantor-kantor pemerintahan, dengan pakaian serbarapi dan bersikap sebagai bos besar, yang membuat orang-orang dalam pemerintahan bersikap munduk-munduk seperti batur menghadapi majikan? Di mana parlemen yang harus mengontrol tingkah laku pemerintah—tingkah laku para pejabat negara—agar mereka tidak menyimpang? Parlemen merasa tak tahu apa-apa mengenai apa yang dilakukan pemerintah? 

Bagaimana bisa? Kedua institusi itu sepakat mengabaikan mandat rakyat yang dipercayakan kepada mereka? Apa pula yang dikerjakan para penegak hukum yang selalu kelihatan gagah dengan simbol-simbol kenegaraan yang membuat mereka kelihatan bukan seperti orang biasa? Segala yang menyimpang dianggap bukan penyimpangan? Apa para penegak hukum yang menyadari pihak-pihak lain menyimpang dengan aman merasa iri hati dan berusaha untuk turut menyimpang? Negara tidak memiliki kedaulatan lagi? 

Dalam beberapa hal penting dan mendasar, negara sengaja dibiarkan lumpuh dan dilucuti sendiri oleh pemerintah yang tak peduli? Pemerintah— para menteri— sibuk rapat koordinasi,bos mereka sibuk menyusun lagu-lagu entah untuk apa dan apa hasilnya, apakah lagu itu ada hubungannya dengan nasib rakyat? Jika tidak, mengapa kelihatan diprioritaskan? Apa menyusun lagu ada hubungannya dengan tugas pemerintahan sehingga waktu bekerja dipakai untuk urusan seni yang tak berseni seperti itu? 

Secara mencolok, pemerintah mengingkari tugasnya. Mereka selingkuh. Pemerintah tak punya kepedulian apa pun kecuali jika hal itu menyangkut citra pribadi atau nama baik partai, jika betul partai punya sisi kebaikan yang patut diperhitungkan dalam percaturan nasional yang begitu mewah. Pemerintah tak bisa membedakan apa yang “pribadi”, privat, dan yang bersifat publik? Betapa parahnya cara berpikir dan sikap macam itu. 

Lebih parah lagi karena hal itu bahkan telah diwujudkan dalam tindakan politik seharihari yang seluruh rakyat negeri ini menyaksikannya. Pekerjaan di dalam pemerintahan seolah dianggap sekadar sambilan. Lama-lama tugas negara diabaikan tanpa rasa tanggung jawab publik dan tanpa alasan yang secara politik bisa dimengerti rakyat: pemilik sah negeri ini. Tidak. Pemerintah selalu bicara tentang kepentingan negara. 

Para anggota DPR selalu bicara tentang sikap negarawan dan kesediaan membela kepentingan negara setiap kali mereka berbicara resmi dengan media. Kata-kata, omongan, pemikiran ideal, kesadaran mengenai apa yang seharusnya dan segala hal yang dianggap baik selalu berbeda—sering sangat jauh—dengan tindakan nyata. 

Kesenjangan ini yang membuat “Gerakan Menegakan Kedaulatan Negara”, suatu kekuatan dari banyak tokoh pemikir, ahli politik, ahli ekonomi, ahli pertambangan, para tokoh gerakan kerakyatan, para rohaniwan, dan para penulis, yang digabung bersama, telah membuat suatu pernyataan jelas, fokus, tajam, dan mendasar mengenai kondisi kehidupan kenegaraan kita pada tanggal 7 Januari 2013 di depan para pimpinan DPR. 

“Gerakan” ini memandang bahwa sendi-sendi kehidupan negara sudah goyah dan tampak “miring” karena sikap dan ideologi pemerintahnya yang merasa tak enak lagi memanggul ideologi negara kita sendiri.Mereka memilih memuja sepanjang masa ideologi negaranegara lain. Paham kebebasan— neoliberalisme,“neolib”— dijunjung tinggi dengan sikap mengabdi pada bangsa-bangsa lain yang kepentingan ekonomi politiknya besar sekali di negeri kita.

Perjuangan demi kepentingan ekonomi politik itu mereka tempuh dengan gigih melalui lobi-lobi, menggunakan berbagai macam “jubah” yang setiap saat berganti.Dan mereka sukses. Mental “inlander”yang menguasai kesadaran dan pemikiran para pejabat kita memang mempermudah langkah tersebut dan itulah yang membuat ”Gerakan Menegakkan Kedaulatan Negara” merasa sangat wajib bertindak. 

Gabungan kekuatan civil society ini menunggu para pimpinan DPR selama satu jam dengan kesadaran bahwa dalam perjuangan,kesabaran itu menentukan hampir segalanya. Orang-orang penting dan terhormat, wakil rakyat yang terampil berbicara tentang kepentingan negara dan bangsa itu,harus dibangunkan agar sadar bahwa rakyat sudah kelewat menderita. Mereka perlu disadarkan bahwa DPR justru ikut menelikung tangantangan ekonomi rakyatnya sendiri.Mereka tak boleh tidur terus-menerus. 

Uraian demi uraian bagus, mendalam, dan meyakinkan dari Dr Rizal Ramli dan Dr Kurtubi,disusul yang lain-lain, ditanggapi dengan sikap tak berdaya oleh Marzuki Ali. Dr Kurtubi meyakinkan bahwa jika minyak kita dikelola dengan baik, rakyat sudah sejahtera dan kita tetap kaya. Jadi negara kaya, pemerintah mengatur kekayaan dengan baik dan rakyat sejahtera.Apa ini bukan yang dicita-citakan dalam kehidupan kita bernegara? 

Dr Rizal Ramli memperlihatkan sebanyak 20 UU—termasuk UU Migas—yang dibikin negeri ini berdasarkan pesanan kepentingan asing. Termasuk Amerika. Beliau belum memasukkan PP yang mengatur dampak tembakau yang tampaknya diprioritaskan betul oleh Tuan Presiden dan baru saja ditandatanganinya. Termasuk tiap UU dijelaskan siapa yang mendanai, negara mana yang terlibat dan memiliki kepentingan. 

Semuanya jelas dan membikin rasa ke-Indonesia-an kita bangkit. Tapi Marzuki Ali tidak.Kita tergetar dengan pernyataan bahwa dengan minyak kita bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Tapi Marzuki bilang: “UU itu bukan kami yang buat.” Dia tidak tahu bahwa ada 20 UU macam itu. Dia minta dibikinkan suatu naskah akademik agar DPR bisa bertindak. Orang-orang di ruangan itu pun jengkel. 

Ketua PP Muhammadiyah Dr Dien Syamsuddin sambil senyum menyitir suatu peribahasa Arab bahwa bagi orang cerdas, hal ini sudah cukup jelas. Bahkan lebih dari cukup. Tapi begitulah tokoh DPR. Hasil pertemuan sore itu malah lebih menegaskan lagi bahwa negara memang tidak berdaulat atas dirinya, wilayahnya, kekayaan, dan seluruh aset nasionalnya. Itu terjadi karena pemerintah dan DPR—maaf—sama tak peduli. 

Kedaulatan negara mereka bikin “roboh”. Maka, rakyatlah, yang tergabung di dalam “gerakan” tersebut, yang mengambil tanggung jawab dan menegakkannya. Jeritan perjuangan mereka sama: kembalikan kedaulatan negaraku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar