Jakarta
Memanen Bencana
Mimin Dwi Hartono ; Koordinator Jaringan
Sustainable International Development Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 22 Januari 2013
Mahatma Gandhi pernah
berujar bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak
cukup untuk memenuhi kerakusan hasrat manusia. Apa yang dikatakan oleh tokoh
perdamaian dunia tersebut sangat tepat untuk merefleksikan bencana banjir di
Jakarta. Banjir yang melanda Ibu Kota pada 17 Januari lalu, dan diperkirakan
akan berlangsung hingga Februari, adalah bentuk dari telah terlampauinya daya
dukung lingkungan yang tidak mampu memenuhi kerakusan manusia.
Pembangunan di Jakarta yang tidak terkendali dan
sengaja menabrak kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan telah dimulai
sejak lebih dari sekitar 1970-an. Sejak saat itu, dirintis pembangunan
ekonomi sebagai panglima untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pilar
keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial dicampakkan.
Dari tahun ke tahun, rasio gini, yang menunjukkan
ketimpangan antara si kaya dan si miskin, semakin tajam. Para konglomerat
membangun imperium bisnisnya di dan dari Jakarta, berdampingan dengan jutaan
penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Ekspansi pembangunan untuk pertumbuhan kawasan bisnis,
industri, dan permukiman telah secara sistematis mengokupasi wilayah terbuka
hijau hingga hanya tersisa kurang dari 10 persen pada 2012. Korupsi dan
kolusi diduga menjadi akar masalah karena banyak izin pembangunan yang tidak
sesuai dengan aturan tata ruang diloloskan. Tata ruang pun bisa diatur
sedemikian rupa sehingga dipelesetkan menjadi "tata uang". Selama
40 tahun, pemerintah dan masyarakat telah menanam bencana secara sadar dan
terencana.
Banjir adalah bencana yang bisa diprediksikan
sebelumnya, sehingga semestinya bisa diminimalkan dampak-dampaknya. Apalagi
dengan kecanggihan metode prakiraan cuaca dan iklim yang sudah sangat maju.
Siklus alam tidak bisa selalu dijadikan kambing hitam atas terjadinya banjir
yang selalu melumpuhkan Jakarta. Banjir memang dipicu oleh faktor alam, tapi
faktor manusia-baik dalam skala individu, keluarga, korporasi, maupun
kebijakan pemerintah-memberikan sumbangan yang sangat signifikan atas
memburuknya banjir di Jakarta.
Faktor alam yang memicu banjir adalah curah hujan yang
tinggi di kawasan hulu dan hilir. Diperparah oleh fakta bahwa sebagian
wilayah Jakarta terletak di dalam cekungan, sehingga air sungai tidak bisa
bermuara ke lautan, serta menyebabkan naiknya permukaan air laut di pantai utara
Jakarta, turunnya permukaan tanah karena penyedotan air tanah dan pembangunan
yang tidak terkendali, juga punahnya ruang terbuka hijau. Sudah tepat jika
rencana reklamasi pantai utara Jakarta untuk pembangunan kawasan bisnis
ditentang oleh para aktivis lingkungan.
Menyimak grafik pertumbuhan bangunan untuk kawasan
permukiman ataupun bisnis dalam periode dari 1970-an sampai 2000, ekspansi
pembangunan di Jakarta berlangsung secara cepat dan masif. Pada 1970-an, 85
persen wilayah Jakarta masih berupa resapan. Sepuluh tahun kemudian, wilayah
resapan tinggal sekitar 50 persen, dan menyusut lagi hingga tinggal 30 persen
pada 1990-an. Pada 2000-an, ruang terbuka hijau hanya tersisa 10 persen.
Sementara itu, alih fungsi ruang terbuka hijau di kawasan hulu mencapai
hampir 50 persen setiap tahunnya untuk kebutuhan ekspansi perumahan,
pertanian, serta industri.
Penanganan Banjir
Kegagalan pembangunan di Jakarta harus dihentikan, maka
model pembangunan yang lebih humanis dan ekologis harus dimulai. Pemerintahan
Jokowi, yang dipilih oleh rakyat kelas bawah dan menengah, membawa harapan
adanya perubahan paradigma dan pendekatan pembangunan di Jakarta yang telah
sekian lama mengabaikan kemanusiaan dan lingkungan.
Jokowi, bersama dengan pemerintah pusat, harus meningkatkan
kapasitas dan menurunkan tingkat kerentanan secara berkala untuk mengatasi
banjir Jakarta, secara sistematis, terencana, dan terukur. Faktor-faktor yang
mendukung kapasitas dan memicu kerentanan harus diidentifikasi, sehingga
dapat disusun program dan kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran dalam
jangka pendek, menengah, dan panjang.
Peningkatan kapasitas dalam menangani banjir dilakukan
melalui pendekatan struktural maupun non-struktural. Melalui pendekatan
struktural, di antaranya dengan membangun infrastruktur pengendali banjir,
berupa kanal, deep tunnel, waduk, dan drainase. Pendekatan ini membutuhkan
biaya dan teknologi yang tinggi, untuk itu harus direncanakan secara matang
dan transparan. Selain itu, pendekatan ini tidak akan bisa secara cukup dan
efektif mengatasi banjir dan dampaknya, apalagi dengan tingkat pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi di Jakarta, sehingga untuk membangun
infrastruktur seperti kanal dan waduk akan memakan biaya sosial dan ekonomi
yang besar, khususnya untuk merelokasi penduduk.
Untuk itu, dibutuhkan pendekatan non-struktural, yaitu
di antaranya dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparat pemerintah
dalam menanggulangi bencana. Selain itu, adalah mengembalikan peruntukan
kawasan hijau pada fungsinya semula. Saat ini hanya tersisa kurang dari 10
persen kawasan hijau di Jakarta, padahal ketentuan undang-undang menyebutkan
minimal harus ada 30 persen. Gubernur Jokowi harus berani mengembalikan
peruntukan kawasan sesuai dengan fungsinya.
Lebih lanjut, hukum lingkungan harus ditegakkan, baik
di daerah hulu maupun di hilir. Melalui pendekatan partisipatif, Jokowi bisa
mengerahkan komponen pemerintah di paling bawah, yaitu kelurahan, untuk
mengidentifikasi keberadaan kawasan hijau dan bangunan yang melanggar
ketentuan, misalnya tidak ada ruang untuk resapan air atau melanggar tata
ruang. Identifikasi dari bawah ini kemudian dikompilasi dan dipetakan oleh
pemerintah DKI Jakarta dan pusat untuk dilakukan tindak lanjut, baik melalui
langkah hukum maupun non-hukum.
Sedangkan untuk penataan
wilayah hulu, pemerintah pusat harus memfasilitasi kerja sama antara
pemerintah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, untuk disusun master plan
kerja sama pengelolaan daerah aliran sungai yang terintegrasi dan berbasis
ekosistem. Mekanisme insentif dan disinsentif perlu untuk diterapkan agar
tercipta hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan antar wilayah.
Misalnya, pemerintah DKI Jakarta harus memberikan kompensasi terhadap
pemerintah Jawa Barat ataupun Banten untuk tidak melakukan alih fungsi lahan
yang bisa memperparah banjir. Kompensasi tersebut bisa berupa bantuan untuk
konservasi hutan dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di
sekitar DAS. Dengan demikian, secara bertahap, terencana, sinergis, dan integratif,
tantangan penanganan banjir di Jakarta dapat teratasi dengan baik dan
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar