Sabtu, 19 Januari 2013

Mentalitas Pemburu


Mentalitas Pemburu
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 19 Januari 2013


Saat ini kita memasuki era post-modern yang berciri teknologi genome (biologi), nano (fisika), dan informasi. Banyak hal yang dulunya dianggap "takdir" sekarang bisa dibuat dan diintervensi, seperti kloning, teknologi ruang angkasa, dan tanaman transgenik (semangka tanpa biji dan padi berselubung vitamin A). Jarak geografis hampir tidak ada lagi. Dengan Internet, orang bisa bersapa atau berdagang dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Orientasi manusia terhadap waktu pun berubah, tidak lagi bekerja 8 jam, melainkan bisa 24 jam seperti para pedagang valas. Keteraturan hilang. Agar survive di era cyber, perlu mentalitas luwes dan inklusif, sehingga mudah beradaptasi tanpa stres.
Sayangnya, sementara dunia beralih ke era cyber, dalam banyak hal manusia Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia pertanian (Sarwono, 2006). Bangsa ini punya catatan sejarah panjang di bidang pertanian, dengan sistem sawah yang canggih, seperti Subak di Bali atau sistem irigasi Majapahit. Di perkebunan juga demikian. Gula, misalnya. Pada 1930-an, pabrik gula kita tercatat paling efisien di dunia dan mengalahkan gula Eropa. Proefstation, lembaga riset gula di Pasuruan yang sekarang bernama P3GI, pernah menghasilkan varietas unggul POJ 2878 dan menjadi solusi krisis gula saat itu. Tapi mentalitas pertanian yang maju itu kini justru mundur lagi ke mentalitas pemburu.
Ada banyak contoh. Salah satunya, menurut FAO (2012), dari sisi produksi, Indonesia adalah salah satu negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Untuk peringkat 1-5 dunia, cakupannya meliputi cengkeh (nomor 1 dunia), kelapa sawit (peringkat 1), palm kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1), kelapa (1), daun bawang (1), vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2), kacang hijau (2), beras (3), pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat (3), telur burung (3), cabai dan paprika (4), papaya (4), kopi (4), singkong (4), mangga, manggis, dan jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5). 
Tapi apa gunanya posisi 1-5 dunia kalau petani sejumlah komoditas itu miskin, menjadi price taker, dan tidak membuat kita sejahtera? Ini terjadi karena kita mengekspor komoditas dalam bentuk mentah, bukan mengolahnya jadi produk jadi. Kita ingin cepat panen, bukan proses pendalaman (industri hilir), salah satu ciri masyarakat mental pemburu. Potensi pertanian (perikanan, kehutanan, kelautan) negeri ini amat besar, bisa membuat petani dan bangsa sejahtera. Itu hanya terjadi jika kita meninggalkan mentalitas pertanian pemburu dengan menggarap pasar dan melakukan pendalaman industri.
Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Siapa yang menentukan harga? Apakah petani, eksportir, pedagang besar, atau pedagang pengumpul? Bukan. Penentu harga ada di London (London International Financial Futures Exchange/LIFFE). Lalu kakao. Kita merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Alam memungkinkan kita menjadi produsen kakao terbesar di dunia. Tetapi harga komoditas ini ditentukan di New York Board of Trade. Kita juga eksportir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia, tapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Sebagai penghasil produk, kitalah yang paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang mempengaruhi harga. Dengan penguasaan pangsa CPO Indonesia-Malaysia 90 persen, adalah Indonesia dan Malaysia yang layak jadi acuan harga, bukan Rotterdam. Rotterdam tidak layak jadi basis acuan harga ekspor karena perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta ton per tahun. Demikian pula kakao, kopi, dan karet. Sudah seharusnya kita serius membangun pasar dan industri hilir agar tidak diombang-ambing oleh pihak lain. 
Selama ini kita terlena hanya berproduksi, tapi tidak pernah menggarap pasarnya dan mengolahnya jadi aneka produk turunan. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kiblat harga sejumlah komoditas unggulan itu ada di dalam negeri, bukan di negeri orang. Dengan begitu, saat ekspor, kita tak harus melakukan berbagai perhitungan penyesuaian, mulai dari diskon harga atas kualitas produk, ongkos angkut, asuransi, hingga kurs mata uang asing dan lainnya seperti selama ini. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kita yang meraih nilai tambah dengan memperdalam industri pengolahan, bukan negara/pihak lain. 
Lebih dari setengah abad silam ekonom Argentina, Raul Prebisch, dan ekonom Jerman, Hans Singer, sudah mengingatkan bahwa nilai tukar riil produk primer pertanian (dalam arti luas) atas produk manufaktur menurun secara permanen. Harga produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi meningkat, paling tidak stabil. Ekonomi yang menggantungkan diri pada produk primer menghadapi kepincangan harga yang tajam apabila berhadapan dengan pemilik teknologi. Harga bahan mentah ditekan amat rendah, sementara teknologi harus dibayar dengan harga supermahal. Inilah paradoks ekonomi yang menggantungkan pada "tebang-keduk-keruk dan jual", bukan penghiliran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar