Sabtu, 19 Januari 2013

Solidaritas Solusi Banjir


Solidaritas Solusi Banjir
Andi Andrianto ;  Pegiat Komunitas Diskusi Tugu 45 Jakarta
SUARA KARYA, 19 Januari 2013


Banjir Jakarta yang terjadi pada Kamis (17/1/2013), menjadi banjir besar di awal tahun ini. Hujan lebat yang mengguyur Ibu Kota, membuat banjir tidak saja menerjang tempat biasa terjadi atau daerah langgangan banjir. Namun, banjir justru menghantam kawasan strategis sepertri Bundaran HI, Jalan Sudirman dan MH Thamrin, hinga ke Monas, bahkan Istana Negara. Banjir kali ini, dianggap lebih hebat selama kurun waktu lima tahun belakangan.
Bencana banjir membuat aktivitas penduduk Jakarta kacau balau. Akses menuju perkantoran menjadi terhambat. Pelayanan publik terbengkalai. Masyarakat panik, apalagi hujan tidak kunjung reda, dan diprediksi bakal terjadi hujan lagi. Derasnya efek banjir membuat Gubernur DKI, Joko Widodo atau Jokowi, menerapkan kebijakan cuti bersama warga Ibukota.
Banjir disatu sisi merugikan kegiatan publik, tetapi di sisi lain dapat merekatkan kembali simpul-simpul sosial masyarakat Jakarta. Banjir juga dapat mendinginkan hawa panas DKI akibat suhu politik yang meninggi. Jelang Pemilu 2014, iklim politik Jakarta memanas, apalagi pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hanya 10 partai politik (parpol) yang lolos mengikuti pesta demokrasi lima tahunan itu.Banjir menjadi isu bersama warga DKI. Ia berada di atas kepentingan politik, kelompok, apalagi pribadi. Banjir menyatukan atribut perbedaan atas nama apa pun. Karena itu, banjir menjadi "musuh bersama" (common enemy) masyarakat Jakarta. Spirit kolektivitas mesti ditanamkan di tengah bencana banjir.
Tentu, siapa pun pemimpinnya, jika semangat kebersamaan tidak ditancapkan dalam hati atau benak dan perilaku masyarakat Jakarta, kita tak yakin banjir dapat ditanggulangi. Keberadaan pemimpin memang menjadi penting di tengah penanganan banjir, tetapi hanya mengandalkan kuasa pemimpin, banjir Jakarta sukar diatasi.
Buktinya, silih berganti gubernur dan stakeholders, Jakarta tetap banjir. Bahkan semakin hari, kian parah banjir Ibu Kota, seperti kita saksikan pada Kamis itu. Karena sangat frustasinya, Dewa pun konon tidak mampu mengatasi banjir Jakarta, apalagi pemimpin baru yang dibatasi periode kepemimpinan.
Banjir Jakarta memang sudah cukup parah. Tiap hujan datang, dan pasti terjadi. Lebih-lebih, bila hujan berlangsung sehari atau dua hari, tak terbayang bagaimana dahsyatnya banjir di kota ini. Pada Kamis itu saja, hujan tidak terjadi dalam sehari full, namun dampak ditimbulkan membuat kegiatan masyarakat Jakarta berantakan di mana-mana.
Situasi pusat kekuasaan yang tak dapat dibiarkan berlarut lama. Kita ingat, Jakarta adalah Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta menjadi barometer kota-kota lain seluruh nusantara. Jika Jakarta kacau akibat banjir, seluruh Indonesia terganggu aktivitasnya, disadari atau tidak.
Oleh karena itu, banjir tidak hanya monopoli Gubernur Jokowi atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banjir masalah bersama kita, penduduk Jakarta. Pemimpin yang komitmen memecahkan persoalan banjir Jakarta, wajib kita dukung. Program-program, strategi penanganan banjir stakeholders kurang dapat berjalan optimal, jika kebersamaan masyarakat Jakarta belum solid.
Sebagus apa pun gagasan Jokowi/SBY dalam mengatasi banjir Jakarta, tanpa kekompakkan warga Ibu Kota untuk mendukung, kita yakin, ide-ide brilian para pemimpin itu menjadi mentah. Jika pemimpin membuat program mengeruk, memperbaiki, dan membersihkan sungai dari kotoran atau tumpukkan tanah/pasir, tapi bila masyarakat masih gemar membuang sampah ke sungai, sama saja bohong.
Bila pemimpin membangun drainase sebagai solusi mengatasi banjir Jakarta, tapi warga Ibu Kota tidak mendukung, gagasan itu terasa sia-sia. Kata kunci penyelesaian banjir Jakarta tidak hanya terletak pada figur/tokoh/ide-ide. Bukan pula terletak pada elitenya. Tapi, sejauh mana masyarakat Jakarta memiliki kesadaran yang sama bahwa banjir itu adalah musuh bersama mereka. Kesadaran kolektif yang menggerakkan perilaku manusia untuk mengenyampingkan segala ego(isme) pribadi atau kelompok, dan kuasa-kuasa negatif yang menguasai diri kita.
Spirit Kolektivitas
Penyikapan banjir Jakarta tetap dijalankan dengan penuh rasa optimisme. Ide-ide kreatif dan bernas selalu dimunculkan agar banjir Ibu Kota bisa diatasi. Di luar itu, (pemimpin) jangan lupa spirit kebersamaan juga dipupuk bagi warga Jakarta. Kesadaran kolektif hingga memunculkan gerakan massa perang terhadap banjir.
Namun, semangat kebersamaan belum kuat dimiliki warga Jakarta dalam menghadapi banjir. Padahal, banjir adalah masalah bersama mereka. Sekat-sekat perbedaan masih dominan menguasai alam pikiran/alam bawah sadar warga DKI. Ketika terjadi banjir tanggung jawab itu seolah hanya terletak di pundak pemimpin, dibebankan pada partai berkuasa. Ini tidak salah tapi kurang tepat. Jarang sekali kita berpikir, saat banjir terjadi, masalah bersama ini harus kita tanggung dan berikan solusi bersama. Sebab, jangan-jangan banjir terjadi karena ulah kita sendiri juga.
Karenanya, membangun nilai-nilai solidaritas yang tinggi antar masyarakat Jakarta dapat menjadi bagian solusi mengatasi banjir. Soal banjir adalah soal kolektivitas. Jika penduduk Jakarta kompak, sangat diyakini banjir bukan lagi menjadi masalah klise. Bukan tidak mungkin, banjir tidak lagi terjadi di Ibukota. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar