Rabu, 09 Januari 2013

Menimbang Studi di Malaysia


Menimbang Studi di Malaysia
Abdul Mongid ;   Dosen STIE Perbanas Surabaya; Sedang studi S3 di Malaysia
JAWA POS,  09 Januari 2013



JAWA POS Metropolis edisi 5 Januari 2013 memberitakan rencana ITS untuk menyetop pengiriman mahasiswa (mungkin dosen) untuk belajar di Malaysia mulai tahun ini. Alasannya, kualitas kuliah di ITS tidak kalah jika dibandingkan dengan kampus di Malaysia. ITS akan mengirimkan mahasiswanya untuk belajar ke negara maju seperti Inggris, Amerika, atau Jepang.

Unair dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga akan ikut. Kepala International Office Unair menyatakan bahwa saat ini Malaysia memang bukan tujuan utama studi dosen Unair. Hanya ada sepuluh dosen yang sedang belajar di sana. Wakil rektor Unesa juga menyatakan bahwa Unesa tidak kalah kualitas dengan perguruan tinggi di Malaysia.

Kemendikbud juga makin langka memberikan beasiswa tugas belajar ke Malaysia. Saya pernah mengajukan beasiswa studi luar negeri ke Dirjen Dikti. Nama saya sempat ada di daftar calon penerima beasiswa dan setelah itu hilang tanpa penjelasan apa pun. 

Self Proclaimed 

Ada kesan, penyetopan belajar S2 dan S3 adalah adanya self proclaimed (merasa diri lebih baik) daripada jiran. Sayang, klaim ini tidak didasari ukuran yang jelas. Di Malaysia ada Institusi Pengajian Tinggi Awam (IPTA) dan Institusi Pengajian Tinggi Swasta (IPTS). Tidak seperti kita yang PTN-nya sering dianggap lebih baik, ada beberapa kampus yang seminegeri (dimiliki oleh negeri, state atau negara bagian) dengan kualitas setara atau bahkan melebihi IPTA.

Berdasar peringkat 100 universitas terbaik berusia di bawah 50 tahun versi Time Higher Education, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) berada pada peringkat 98, satu level di bawah Universitas Limerick, Irlandia. Pada level Asia, UKM peringkat ke-58, setara dengan Universitas Indonesia (59), USM Penang (63), Universiti Putra Malaysia (76). Lantas, Institut Teknologi Bandung (113), UGM (118), Unair (135). 

Di Malaysia, universitas sudah dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu universitas riset, universitas fokus khusus (seperti teknologi, pendidikan, dan pertahanan), dan universitas umum. Dosen junior yang kurang berpengalaman dalam riset jangan masuk unversitas riset karena kultur di sana sangat berbeda. Kinerja riset yang diukur dengan jumlah publikasi di jurnal yang terindeks Scopus mutlak. Tanpa publikasi di jurnal, tidak akan ada viva voce alias tidak akan lulus S3.

Kenapa Tidak 

Meski belum sebanding negara maju, eksposur international universitas di Malaysia relatif baik. Banyak mahasiswa asing, baik dari Timur Tengah, Afrika, dan wilayah bekas Uni Soviet, Pakistan, Bangladesh, selain juga banyak mahasiswa dari Indonesia. Banyak dosen dari Indonesia, Jepang, Inggris, India, dan beberapa negara persemakmuran yang mengajar sebagai dosen kontrak di Malaysia. Di universitas kita umumnya dosen adalah pegawai tetap dan kalaupun tidak berprestasi dipelihara sampai pensiun. 

Otomatis, eksposur penggunaan bahasa Inggris dan Arab relatif lebih baik. Kalau kita berkunjung ke Universiti Islam Antar Bangsa (UAIA), bahasa sehari-hari 50 persen Inggris, 35 persen Arab, 10 persen Melayu, dan 5 persen bahasa Indonesia karena banyaknya dosen dan mahasiswa dari Indonesia. Alhasil, bagi mahasiswa dari Indonesia, kemampuan berbahasa Inggrisnya menjadi lebih baik yang berguna saat presentasi makalah di luar negeri.

Biaya studi S3 di Malaysia relatif lebih murah. Ada universitas negeri dalam peringkat ke-4 (very good) yang SPP-nya per semester hanya setara Rp 5 juta. Tidak ada biaya lain seperti sumbangan operasional pendidikan (SOP). Sebagai pembanding, di Unair SPP untuk S3 ekonomi Rp 15 juta plus SOP Rp 10 juta. Belum lagi kesempatan untuk memperoleh tambahan income sebagai asisten pengajaran atau asisten riset sampai RM 3.000 (Rp 8,5 juta). Bagi yang belajar atas biaya orang tua, bonus setelah lulus boleh menjadi asisten dosen dengan gaji RM 4.000. Keunggulan lain adalah jarak dan biaya lebih murah karena faktor Air Asia maupun Mandala Air.

Profesor di Malaysia juga relatif fokus karena tidak "ngobyek" proyek. Gajinya sudah tingggi. Dalam sebulan, profesor penuh (VK) mendapat gaji dan tunjangan sampai RM 20.000 (Rp 55 juta). Kalau perjalanan dinas, profesor selalu naik pesawat first class dan hotel bintang 5 yang dibiayai negara. Namun, kalau menguji di kampus atau ceramah di universitas lain, tidak boleh menerima honorarium lain-lain dari APBN. 

Semua hibah penelitian di sana dikelola pusat penelitian dengan pengawasan akuntan. Ketika ada teman dosen dari Indonesia mendapat hibah penelitian senilai RM 100.000, saya pikir paling tidak akan mengantongi RM 30.000. Ketika itu saya tanyakan, dia tertawa dan "Sini bukan Indonesia, Mas". Hibah penelitian yang dapat dinikmati adalah publikasi jurnal dan ikut konferensi dengan dana hibah. Hanya itu dan harus itu saja. Cerita dana riset jadi pagar rumah atau uang muka mobil tidak ada.

Kita harus membuat universitas dan dunia pendidikan kita lebih baik. Mengirim dosen untuk belajar sains dan teknologi ke negara maju memang keharusan. Malaysia mengirim dosen ke Inggris dan Amerika secara besar-besaran. Dihindari adanya inbreeding, yaitu menyekolahkan dosen ke kampus sendiri karena merasa lebih bagus. 

Sebelum berangkat perlu studi awal dan pemetaaan keahlian serta kekuatan sebuah universitas dan fakultas. Contoh, kalau mau studi Islamic banking dan                    Islamic finance, kuliah di UAIA atau INCEIF (International Centre for Education in Islamic Finance) jelas lebih baik, bahkan jika dibandingkan dengan universitas di negara maju sekalipun.

2 komentar:

  1. Kalau ada komentar 'nakal' seperti ini gimana: "Sampeyan belum pernah belajar di Eropa, belajar disana jauh lebih bagus dan murah daripada di Malaysia"?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya betul tetapi eropa tidak sebanding dengan kita

      Hapus