Rabu, 09 Januari 2013

Arah, Tujuan, dan Manusianya


Arah, Tujuan, dan Manusianya
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SINDO,  09 Januari 2013



Pada 4 Januari 2013,Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menyampaikan pidato awal tahun sebagai bagian dari tradisi di Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Bagi Anda yang belum sempat mendengar pidato tersebut, dengan mudah Anda dapat memperolehnya di internet. 

Pidato tahun ini cukup menarik untuk ditelusuri, khususnya dibandingkan dengan sejumlah pidato Menlu dalam kurun waktu lima tahun ini. Tampak jelas bahwa ada nuansa percaya diri yang makin kental dari Kemlu bahwa Indonesia bisa didengar dan ditunggu oleh bangsa-bangsa lain untuk melahirkan inisiatif-inisiatif yang segar bagi percaturan politik dunia yang sedang karut-marut. 

Seperti dikatakan Menlu: … sepanjang tahun 2012 (politik luar negeri Indonesia) tanpa henti telah bekerja keras untuk memelihara stabilitas dan keamanan di kawasan dari berbagai ancaman … menciptakan suatu tatanan di kawasan … penguatan norma-norma dan prinsip hubungan baik antarnegara …. 

Ya, saya sepakat bahwa Indonesia memang dicari dan digugu oleh negara-negara lain. Indonesia terbukti bisa melakukan terobosan diplomasi yang menyejukkan. Kepercayaan diri itu adalah bekal penting untuk mengarungi ketidakpastian politik dan ekonomi di tahun 2013. 

Tahun ini Indonesia setidaknya akan menemui tantangan dalam hal penguatan demokrasi di dalam negeri, demokratisasi di sejumlah negara ASEAN, penguatan mekanisme damai dan sentralitas ASEAN dalam hati para negara anggota, upaya mengatasi ketegangan di Laut China Selatan dan Asia Timur, serta setumpuk masalah perlambatan ekonomi global dan aksi kekerasan di sejumlah belahan dunia lain seperti Timur Tengah, Afrika, serta di dalam negeri.

Kepercayaan diri membantu Indonesia untuk berani menyatakan pendapat, bahkan menyumbang dana untuk kegiatan yang dianggapnya benar. Contohnya saja minggu ini Menlu Natalegawa bertandang ke Myanmar untuk menyaksikan sendiri kondisi di negara bagian Rakhine yang telah membuat geger karena rusuh dan memakan korban jiwa dan meminggirkan sejumlah manusia, khususnya kelompok muslim Rohingya. 

Oleh Pemerintah RI, Menlu bahkan dibekali uang USD1 juta untuk kegiatan kemanusiaan di sana. Kepercayaan diri semacam itu sejalan dengan niat Indonesia untuk secara konkret menjadi bagian dari solusi. Hal-hal seperti ini yang ditunggu. Secara tidak langsung, keaktifan Indonesia yang mengedepankan objektivitas informasi dan meminimalkan spekulasi adalah contoh kegiatan yang membuat negara anggota ASEAN merasa bahwa solidaritas ASEAN itu bukan isapan jempol. 

Salah satu tantangan politik luar negeri kawasan Asia di 2012 adalah membuat negaranegara anggota ASEAN, khususnya masyarakat awam, merasakan kegunaan dan sentralitas ASEAN. Bahwa bantuan yang cepat dan tanggap tidak datang dari AS, China, Jepang atau mana pun, tetapi justru dari Indonesia. Ada satu pendekatan yang beda dari Menlu Natalegawa kali ini. 

Di satu sisi bukan hal baru bahwa ia mengedepankan idenya untuk selalu menjadi kekuatan penyeimbang dalam persaingan kekuasaan di tatanan regional maupun global. Istilah yang ia pilih adalah “dynamic equilibrium”. Istilah tersebut buat saya terlalu abstrak. Mudahnya, menurut saya, prinsip itu sejenis dengan “calculative pragmatism” alias pragmatisme yang dihitung betul, tidak berkutat di urusan perdebatan ideologi atau wacana, melainkan langsung memanfaatkan kesempatan yang ada di depan mata walaupun dengan perhitungan yang matang. 

Contohnya, seperti disebutkan dalam pidato, dengan memperluas kemitraan nontradisional di Benua Afrika dan Asia agar pertumbuhan ekonomi meningkat dan tercipta ketahanan pangan. Jika di tahun 2009–2012 cara yang dikedepankan Menlu Natalegawa untuk menjalankan pragmatisme adalah dengan memanfaatkan peluangpeluang multilateral seperti G- 20, WTO, PBB, dan OIC (Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam), dalam pidato kali ini cara yang dipilih adalah penguatan kerja sama bilateral. 

Ini perubahan cara yang menarik.Apalagi ada upaya sejumlah rekan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemlu untuk membuat buku panduan praktik diplomasi bilateral yang mestinya tidak lama lagi akan launching. Artinya memang pragmatisme itu diarahkan pada penentuan nasib secara riil. Forum multilateral biasanya lebih efektif untuk membangun wacana dan kerangka berpikir. 

Yang bisa melahirkan action memang diplomasi bilateral. Hanya saja, perlu dicatat juga hal-hal berikut. Pertama, diplomasi bilateral membutuhkan kedalaman hubungan dengan negara mitra. Artinya penguatan strategi diplomasi bilateral mustahil bila tidak dilengkapi dengan jajaran duta besar dan staf kedutaan, konsulat jenderal serta kementerian luar negeri yang andal. Padahal kita tahu, sampai akhir tahun 2012, masih ada puluhan posisi strategis yang kosong, dirangkap-rangkap, atau bahkan dipegang oleh duta besar “kosmetis”. Ini istilah saya untuk duta besar yang semata terpilih karena alasan sopan santun memberi jabatan kepada seseorang. 

Kedua, diplomasi bilateral tidak bisa mengesampingkan multi-track diplomacy. Artinya tetap saja harus ada sejumlah pendekatan yang dilakukan paralel di berbagai level, baik dilevel kepala negara, diplomat maupun kelompok ahli dan perwakilan pegiat masyarakat (civil society). Menlu masih perlu membenahi model-model multi-track diplomacy yang ada supaya punya kecukupan dana operasional, diarahkan pada kegiatan terpadu, dan jeli dalam melibatkan pihak-pihak pendorong kerja sama. 

Ketiga, diplomasi bilateral memerlukan sentralitas Kemlu dalam inisiatif kegiatan dan pelaksanaan kerja sama dengan negara-negara lain. Mengapa? Karena diplomasi bilateral melibatkan protokol dan seringkali menyangkut pendekatan khas yang berbeda-beda untuk tiap negara mitra. Salah pendekatan bisa berujung pada ketegangan hubungan diplomatik. Jadi bayangkan repotnya bila kementerian-kementerian lain di Indonesia abai untuk selalu melibatkan dan mendengarkan arahan Kemlu dalam berkegiatan dengan negara mitra. 

Jika pola komunikasi antarkementerian masih dibelenggu oleh birokrasi yang egosektoral, pendekatan diplomasi bilateral ini bisa menjadi bumerang bagi Kemlu di mana mereka sekadar repot sana sini menjadi pemadam masalah, padahal sumber masalahnya justru di dalam negeri. Tapi perlu diingat juga bahwa tidak semua hal bisa kita tarik ke pragmatisme atau upaya pencarian ekuilibrium.

Dalam hal negosiasi, kita pun perlu setia padahal hal ideologis yang menjadi karakter bangsa ini. Misalnya, kita harus tetap pada pendirian kita untuk tidak 100% mengarah pada liberalisme ekonomi, menjunjung demokrasi, antikorupsi, antiterorisme, anti-sektarian, serta kepastian hukum bagi perlindungan HAM. Dynamic equilibrium tidak hanya menyangkut kelincahan kita secara horizontal (yakni dalam menyikapi polarisme atau dikotomi dalam politik global), tetapi juga vertikal (yakni dalam penyikapan ideologis). 

Arah kebijakan luar negeri sudah disuarakan. Tujuannya pun sudah ditetapkan. Sekarang tinggal bagaimana para manusianya menyelaraskan langkah agar tujuan itu tercapai dengan hasil optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar