Mempertimbangkan
Tuhan-nya Anak-anak
Husein Ja’far Al Hadar ; Peminat Studi Agama dan Filsafat,
Direktur
Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
|
ISLAMLIB.COM,
04 Januari 2013
Pernahkah kita menyempatkan
diri untuk mencari tahu, merenungkan atau sampai mempertimbangkan Tuhan-nya
anak-anak? Seringkali kita
tidak adil terhadap anak-anak, entah secara sadar ataupun tak sadar. Kita
terlalu menyepelekan mereka. Kita sering memilih untuk bersikap otoriter,
ketimbang demokratis, terhadap anak-anak. Terlebih dalam perkara teologis.
Bahkan, untuk sekadar mendengar pendapat mereka tentang Tuhan, kita mungkin
tak punya waktu atau bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang konyol. Kita
memilih hanya bercanda dan bersenda gurau dengan mereka. Tak pernah duduk
bersama, saling membuka pikiran dan berdiskusi soal Tuhan.
Ironisnya, yang justru sering
kita lakukan adalah mendoktrin anak-anak terkait perkara teologis,
sebagaimana juga kita lakukan pada mereka dalam soal agama. Kita ‘memaksa’
mereka untuk percaya pada Tuhan yang kita yakini. Sehingga, iman yang
terbentuk dalam batin mereka adalah iman warisan yang turun-temurun sejak
nenek moyang dahulu, seperti juga agama. Sehingga, terbentuklah kualitas iman
sebagai sebuah tradisi, bukan keyakinan. Akibatnya, iman—juga agama— yang
terbentuk sifatnya kaku, keras, jumud, tertutup, tidak toleran, dan
seterusnya. Sebuah iman yang tak bisa kita pertanggungjawabkan saat dewasa,
karena ia hadir sebagai warisan dan dianut lebih sebagai sebuah tradisi.
Padahal, jika sejenak kita
berpikir dan menyadari, sebenarnya Tuhan-nya anak-anak adalah pemahaman
tentang Tuhan yang lebih mengena. Pasalnya, dalam imajinasi dan pikiran
anak-anak, Tuhan benar-benar diimajinasikan sebagai Dzat Yang Maha Sempurna;
Dzat Yang Maha Baik, Dzat Yang Maha Pemaaf, Dzat Yang Bersahabat, dan
seterusnya.
Mungkin manusia dewasa memang
lebih berpengalaman dalam mengetahui teori-teori ketuhanan serta lebih
sistematis dalam mencoba memahami Tuhan. Bahkan, mungkin kita memiliki
pengetahuan (knowledge) dan
pemahaman tentang Tuhan yang jauh lebih baik ketimbang anak-anak. Singkatnya,
kita lebih rasional dan logis dalam memahami Tuhan. Adapun anak-anak
cenderung mendekati Tuhan dengan imajinasinya masing-masing, yang sering kali
dekat dengan sosok yang diidamkannya sebagai sosok sempurna; dari bayangan
tentang Tuhan sebagai raja super besar yang duduk di singgasana langit hingga
imajinasi tentang Tuhan sebagai sosok super hero terhebat melebihi sosok
super hero yang dilihatnya di televisi atau komik. Singkatnya, basis
pemahaman ketuhanan anak-anak adalah imajinasinya. Namun, seperti kata Albert
Einstein, bukankah imajinasi itu lebih hebat dan berdaya dari pengetahuan (knowledge), termasuk dalam perkara
memahami Tuhan?
Ironisnya, dalam peradaban
manusia, imajinasi terlanjur berkonotasi rendah, bahkan negatif. Padahal,
dalam perspektif filosofis, imajinasi bertentangan dengan konotasi yang
berkembang selama ini. Imajinasi menempati posisi dan memiliki peranan
penting serta strategis dalam epistemologi. Dalam khazanah spiritualitas
Islam, yang meyakini adanya tiga tingkat pemikiran manusia, posisi imajinasi
berada di tingkatan kedua, yakni di bawah spiritualitas-rohani dan di atas
rasionalitas-logis. Bahkan, Henry Corbin (filosof eksistensialis
Prancis) ketika menjelaskan tentang imajinasi menyebutnya sebagai rasio yang
terspiritualitaskan atau spiritualitas yang terasionalisasikan.
Dalam ranah imajinasi, kategori
rasional-logis sudah tak sepenuhnya berlaku. Ia melampaui itu. Ia tak lagi
terikat pada wadak (dimensi ruang dan waktu) dan gambaran yang dipakainya pun
tak lagi sama dan sebanding dengan citra-citra (bendawi) alam dunia.
Metafor-metafor menjadi sangat dominan di sini. Polanya bisa saja antah berantah
alias tak runtun (kohern). Singkatnya, ia justru telah meninggalkan
rasio-logis dan bergerak mendekat pada spiritualitas. Karenanya, kita akan
lebih banyak menemui kesamaannya dengan spiritualitas ketimbang rasionalitas.
Adapun Tuhan merupakan dzat transenden.
Dia mustahil terkonsepkan dan terbahasakan. Sehingga, konsep dan bahasa yang
menjadi ciri dasar dari rasionalitas dan basis dari teologi itu, mustahil
akan pernah bisa mendapat pemahaman utuh tentang Tuhan. Rasio hanya mampu
mendekati dan meraba-raba saja tentang siapa Dia. Namun, ia tak pernah bisa
sampai pada-Nya. Bahkan, sering kali, justru sederet konsep dan bahasa
teologis yang rumit itu semakin mempersulit kita dalam mengenal Tuhan, dan
akibatnya tetap membuat kita jauh dari pengenalan dengan-Nya. Juga, konsep
dan bahasa itulah yang membuat kita saling beda, berdebat, hingga sentimen
kepada siapa saja yang berbeda pandangan dengan kita soal Tuhan.
Sedangkan imajinasi sudah bukan
lagi tentang konsep dan bahasa. Ia sudah memakai simbol dan metafor. Ia sudah
lebih punya kesamaan dan lebih dekat dengan spiritualitas. Karenanya,
sebagaimana spiritualitas, ia lebih mampu mencapai Tuhan. Bahkan, para
penempuh jalan spiritualitas (sufi) -misalnya, salah satu yang paling
terkenal, Jalaluddin Rumi (sufi besar asal Persia)- menggunakan ‘bahasa’
imajinasi -yakni metafor dan simbol, seperti syair, puisi, irama, dll- untuk
mengabarkan dan menjelaskan pengalaman religiusnya dengan Tuhan.
Dalam ranah imajinasi, Tuhan
bukan lagi hadir untuk diperdebatkan, dengan sederet teori, konsep dan
bahasa. Dalam imajinasi, bahkan Tuhan dipahami dan diimani secara sederhana.
Namun, justru kerumitan teori ‘lah yang membuat kita merasa Tuhan begitu jauh
dan tak hadir di tengah-tengah kita. Sebaliknya, kesederhanaan imajinasi
justru menjadikan Tuhan begitu dekat dan benar-benar terasa hadir di tengah,
bahkan dalam diri hamba-Nya. Sehingga, Dia bukan justru membuat kita saling
debat, sentimen, apalagi bertengkar karena-Nya. Tapi, Dia justru menentramkan
batin kita, membuat kita bergandengan tangan dengan sesama serta membuat
hidup ini begitu indah. Itulah Tuhan-nya anak-anak. Tuhan yang berbasiskan
imajinasi, bukan rasionalitas. Dan, karenanya, justru pada anak-anak ‘lah
kita harus bertanya, belajar dan berdiskusi soal Tuhan. Sebab, mereka lebih
dekat pada Tuhan, ketimbang kita.
Akhirnya, mungkin karena
itulah, dalam novel filsafatnya yang fenomenal berjudul “Dunia Sophie”,
Jostein Gaarder justru menjadikan gadis kecil bernama Sophie Amundsen sebagai
tokoh utama. Gaarder membahas beragam misteri filosofis tentang manusia, alam
dan tentu saja Tuhan, dalam ranah anak-anak (yakni imajinasi), bukan orang
dewasa (yakni rasionalitas-logis). Dan, justru karena itulah novelnya itu
menjadi novel filsafat tersukses dan terlaris di dunia yang telah
diterjemahkan ke 53 bahasa dan terjual jutaan eksemplar. Melalui novel itu,
kita bisa memahami perkara-perkara filosofis yang rumit (seputar alam,
manusia dan Tuhan) justru karena Gaarder menjelaskannya dengan perspektif dan
bahasa anak-anak yang imajinatif dan simpel, bukan dengan kerumitan konsep
dan bahasa rasional-logis ala orang-orang dewasa. Maka, jika saat ini
kurikulum 2013 masih digodok, jangan lupa untuk mempertimbangkan dan memberi
porsi besar bagi imajinasi anak di sekolah-sekolah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar