Mengawal
Pembubaran Sekolah RSBI
Ari Kristianawati ; Guru SMAN 1 Sumberlawang, Sragen
|
SINAR
HARAPAN, 11 Januari 2013
“Sekolah RSBI menjadi ladang uji coba penerapan kurikulum yang
berorientasi kebarat-baratan.”
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan RSBI
tidak sah dan melanggar Konstitusi melegakan banyak pihak yang peduli dengan
pendidikan pro publik. Publik dengan antusias menyambut "bubar”-nya RSBI
yang selama ini banyak memunculkan kontroversi dan gugatan dari publik.
Memang faktanya, keberadaan sekolah-sekolah
RSBI (Rintisan Sekolah bertaraf Internasional) tidak berbanding lurus dengan
peningkatan mutu pendidikan nasional. Eksistensi sekolah RSBI selama ini
diakui tidak mampu mengungkit peningkatan mutu sekolah sebagai
"gerbang" pencerdasan generasi muda.
RSBI justru tercitrakan sebagai institusi
pendidikan yang berbiaya mahal yang pelayanannya hanya bisa dinikmati anak
usia sekolah dari keluarga berkasta ekonomi mampu. RSBI yang dalam kegiatan
belajar mengajarnya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, dianggap sekadar sebagai "proyek" peningkatan kualitas
pendidikan yang menghabiskan alokasi dana APBN.
Satu sekolah RSBI konon mendapatkan kucuran
dana pembinaan per tahun antara Rp 200-750 juta. Sekolah RSBI menjadi
"ladang uji coba" penerapan kurikulum pembelajaran yang
berorientasi kebarat-baratan (western oriented) dan berbagai kegiatan yang
beraroma penyerapan (penghabisan) anggaran di sekolah.
Dari segala hal beraroma bintek
pengembangan kompetensi guru hingga proyek peningkatan sarana dan prasarana
pendidikan. Sekolah-sekolah RSBI menjadi "menara gading" di tengah
sekolah-sekolah yang kualitas sarana-prasarananya buruk dan tidak memadai.
Sekolah RSBI yang ditarget berkembang
menjadi sekolah bertaraf Internasional (SBI) justru menjadi sekolah atau
institusi pendidikan yang mendiskriminasi aksesibilitas publik atas
pendidikan yang layak dan berkualitas. Ironinya, label "bertaraf
internasional" dijadikan tameng praktik pungutan anggaran yang membumbung
tinggi di sekolah.
Sekolah RSBI menjadi bagian dari apa yang
disebut “Mc Donaldisasi pendidikan” bahwa pendidikan menjadi komoditas yang
standar harganya ditakar atas standar pelayanan fisik yang diberikan, serta
ditentukan sejauh mana sekolah bisa menghargai dirinya dengan berbagai
variasi pelayanan kegiatan belajar-mengajar yang serba mewah.
Diskriminasi Pola Kolonial
Kehadiran sekolah RSBI yang konon
dilegitimasi UU No 20 Tahun 2003 yang liberal-kapitalistik mengabaikan peran
negara dalam mendorong fasilitasi pendidikan yang murah dan berkualitas bagi
seluruh masyarakat.
Konsepsi pendidikan untuk semua (education
for all) dinegasikan oleh kehadiran dan sekolah RSBI. Sekolah RSBI menjadi
sekolah yang memberikan fasilitas pendidikan yang didukung fasilitas yang
"mewah" bagi anak-anak dari keluarga berkasta ekonomi papan atas.
RSBI telah mensegregasi anak usia sekolah
dan masyarakat atas apa yang disebut paradoks pelayanan pendidikan bagi
masyarakat dan mengabaikan hakikat pendidikan menjadi instrumen sosiologis
yang mencerdaskan masyarakat. RSBI ibaratnya seperti sekolah-sekolah di era
kolonial (Belanda) yang mendiskriminasi hak rakyat untuk memperoleh
pendidikan yang layak dan berkualitas.
Sekolah di zaman kolonial semacam HIS, HBS,
hingga sekolah pendidikan tinggi STOVIA (Sekolah Kedokteran) dan OSVIA
(Sekolah Pamong Praja) hanya bisa dinikmati oleh anak-anak bangsa Belanda
(Eropa) dan para aristokrat, yakni anak-anak punggawa pemerintahan bumi
putera yang menjadi alat kepentingan kolonial.
Sekolah-sekolah di zaman kolonial sekadar
menjadi institusi pendidikan yang berfungsi menyiapkan tenaga administrasi
bagi kepentingan sistem ekonomi kolonial dan menyediakan tenaga fungsional di
bidang kesehatan-pendidikan yang pekerjaannya mengabdi kepada rezim penjajah.
Sekolah ini menghamba kepada kepentingan
pasar dan korporasi. Mengapa disebut demikian? Karena pola pendidikan dan
kurikulum RSBI mengacu kepada kepentingan pasar, yang memerlukan
tenaga-tenaga siap pakai untuk kepentingan politik niaga pasar bebas. Sekolah
ini menjadi sekolah yang membedakan status sosial masyarakat atas kastanisasi
ekonomi, jabatan, dan kemampuan membayar "jasa" pelayanan
pendidikan.
RSBI seolah menjadi sekolah yang dihadirkan
untuk mengabaikan mandat Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945 bahwa pendidikan
nasional menjadi tanggung jawab negara dan negara tidak boleh membeda-bedakan
status dan eksistensi sekolah atas label "unggulan" atau tidak
"unggulan".
Mengawal Pembubaran
Kemendikbud melalui pernyataan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan akan mematuhi putusan
Mahkamah Konstitusi. Namun pernyataan tersebut tidak menjamin RSBI akan tetap
eksis dengan berganti "label", atau "topeng' karena
sekolah-sekolah RSBI merupakan produk unggulan birokrasi pendidikan yang
memiliki kepentingan terhadap anggaran.
Harus diakui mandat UU No 20 Tahun 2003
bahwa batas minimal anggaran APBN untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen
membuat "bingung" perencana (pendesain) kebijakan pengelolaan
anggaran.
Anggaran puluhan bahkan ratusan triliun
sangat sulit dibelanjakan karena mindset pengambil kebijakan pendidikan yang
terbiasa dengan kultur penghabisan anggaran sehingga anggaran yang besar
tidak sebanding dengan desain inovasi dan kreasi perencanaan pendidikan.
Akibatnya, sekolah RSBI dan proyek-proyek peningkatan mutu guru menjadi objek
belanja pengeluaraan anggaran Kemendikbud.
Untuk itulah publik dan masyarakat yang
antidiskriminasi pendidikan harus berani mengawal dan mengadvokasi keputusan
MK tentang pembubaran sekolah RSBI. Jangan sampai RSBI hanya sekadar berganti
wajah dan pola kebijakannya dilanjutkan. Publik harus sadar bahwa eksistensi
sekolah RSBI tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan tidak
mampu mengungkit meningkatnya mutu sumberdaya manusia.
Pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas
manusia dan pendidikan nasional adalah yang memiliki konsepsi pendidikan
untuk semua. Pendidikan harus ditingkatkan mutu dan dukungan anggaran secara
adil dan merata. Tidak boleh ada sekolah yang dimanjakan fasilitas dan diperbolehkan
menjadi alat kepentingan bisnis yang mengabdi kepada kepentingan pasar.
Publik saat ini harus mengadvokasi putusan
MK sebagai media perjuangan pendidikan yang humanis, egaliter, dan pro
publik. Publik harus bisa merealisasikan gagasan pendidikan yang memiliki
filosofi nilai kegotongroyongan sosial, seperti apa yang dicita-citakan oleh
KH Dewantara. Pendidikan bukan diabdikan untuk kepentingan elite sosial,
namun untuk masyarakat. Rest in peace
sekolah RSBI! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar