Sabtu, 12 Januari 2013

Membela Kebenaran Tanpa Kebenaran


Membela Kebenaran Tanpa Kebenaran
Jeffrie Geovanie ;  Penulis adalah Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 11 Januari 2013



Sepanjang tahun 2012 lalu, banyak titik hitam mewarnai kerukunan dan toleransi antar-umat beragama di Indonesia, salah satunya adalah intoleransi terhadap Irshad Manji, feminis dan intelektual asal Kanada, saat berkunjung ke Indonesia awal Mei 2012.

Penulis buku Allah, Liberty, and Love ini memang satu dari beberapa pemikir muda muslim yang dianggap kontroversial. Namun mengapa kontroversi pemikiran harus kita hakimi tanpa dengan pemikiran pula?

Inilah persoalan krusial kita. Agama yang menuntun kita untuk senantiasa menggunakan akal sehat, kerap dibela tanpa menggunakan akal sehat. Sebagai institusi kebenaran, agama dibela tanpa kebenaran.

Dari apa yang saya baca, Irshad Manji mengajak kita semua, khususnya umat muslim untuk beragama dengan akal sehat. Untuk berpikir kritis dan selalu mempertanyakan apa pun yang kita terima, termasuk doktrin kitab suci, seyogianya dikonfirmasi ulang, disandingkan dengan fakta-fakta.

Karena itu, penulis buku The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change (2003) yang dalam versi Indonesia berjudul Beriman dengan Tanpa Rasa Takut ini menekankan pentingnya ijtihad untuk menghadapi berbagai tantangan kemodernan.

Menurutnya, ijtihad bukan hanya kewenangan ahli-ahli fikih tapi siapa pun dapat melakukannya. Setiap orang yang punya akal (sehat) diizinkan Allah untuk berijtihad, yakni mencari kebenaran dengan cara menganalisis, menginterpretasi, dan reinterpretasi terhadap sumber-sumber yang berasal dari doktrin agama.

Tanpa Akal Sehat

Sayangnya, tak semua kalangan mau menerima pemikiran kritis Irshad Manji. Yang menyedihkan, Muhammadiyah yang menjadikan ijtihad sebagai nyawa gerakannya pun ikut menolak kehadiran Irshad Manji di kantornya di Jalan Menteng Raya Jakarta Pusat, dengan berbagai alasan.

Irshad Manji juga ditolak mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang seyogianya menjunjung tinggi prinsip-prinsip akademis. Bahkan dalam diskusi buku di Komunitas Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Irshad diusir oleh sekelompok orang yang mengklaim dirinya sebagai pembela Islam.

Padahal sebelum datang ke Jakarta, Irshad sudah banyak memuji dan mengampanyekan Indonesia sebagai negeri yang patut dicontoh dalam hal toleransi atas perbedaan-perbedaan keyakinan dan agama. Tragisnya, Irshad justru ditolak dan diusir di dalam negara yang telah ia puji dan kampenyekan keunggulan-keunggulannya.

Saya yakin orang-orang yang membela Islam dengan cara-cara yang tidak terpuji itu tanpa akal sehat. Asumsi ini dibangun berdasarkan logika inversi sederhana, karena Irshad datang dengan akal sehat, berarti yang memusuhinya tidak punya atau tidak menggunakan akal sehat. Ketika Islam dibela dengan tanpa akal sehat yang terjadi hanyalah pencemaran nama Islam yang secara generik bermakna “damai” dan “jalan lurus”.

Di tangan mereka, Islam menjadi agama yang memercikkan permusuhan, mengancam perdamaian. Banyak sebab, mengapa mereka tampil membela Islam tanpa akal sehat. Yang paling pokok karena kurangnya wawasan, dangkalnya pemahaman terhadap (doktrin-doktrin) Islam.

Dalam pandangan Dr Yusuf Qardhawi, tindakan ekstrem muncul disebabkan pengetahuannya yang setengah-setengah, yang membuat pemiliknya menyangka bahwa ia telah termasuk dalam golongan orang-orang yang berpengetahuan sempurna.

Pada saat pendek akal, sempit pengetahuan, maka “okol” (otot) menjadi pilihan untuk lebih ditonjolkan. Karena itu tak salah jika pendiri Maarif Institute, Buya Syafii Maarif, menyebut mereka sebagai “preman berjubah”, yakni mereka yang biasa meneriakkan Islam seraya mengenakan jubah, namun tindakan-tindakan mereka lebih mirip dengan segerombolan preman yang biadab.

Negara Absen

Yang sangat memprihatinkan, mereka yang biasa melakukan kekerasan atas nama pembelaan terhadap agama ini senantiasa dibiarkan oleh negara. Sudah sering terjadi kekerasan dan negara seperti tak punya kekuasaan. Padahal, sekali tindakan kekerasan dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan. Kekerasan seolah menjadi yurisprudensi untuk “membela” agama dari orang atau sekelompok orang yang dianggap telah tersesat jalan.

Padahal dalam konstutusi (UUD NRI 1945) jelas sekali ditegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya: setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pemikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; dan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Karena tertuang dalam konstitusi, adalah tanggung jawab negara untuk melindungi setiap warganya dari ancaman pihak lain. Negara tidak boleh kalah oleh preman, baik yang berjubah atau tidak. Jika negara kalah, artinya malapetaka buat kelangsungan perdamaian di negeri ini. NKRI bisa berubah menjadi NPRI, yakni Negara Preman RI.

Oleh karena itu, negara harus menindak tegas siapa pun dan atas nama apa pun yang mengecam, mengancam, dan menyakiti pihak lain. Tanpa tindakan tegas dari negara, para preman itu akan semakin bertindak semena-mena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar