Membela
Kebenaran Tanpa Kebenaran
Jeffrie Geovanie ; Penulis adalah Founder The Indonesian Institute
|
SINAR
HARAPAN, 11 Januari 2013
Sepanjang tahun 2012 lalu, banyak titik hitam mewarnai kerukunan
dan toleransi antar-umat beragama di Indonesia, salah satunya adalah
intoleransi terhadap Irshad Manji, feminis dan intelektual asal Kanada, saat
berkunjung ke Indonesia awal Mei 2012.
Penulis buku Allah, Liberty, and Love ini memang satu dari beberapa pemikir
muda muslim yang dianggap kontroversial. Namun mengapa kontroversi pemikiran
harus kita hakimi tanpa dengan pemikiran pula?
Inilah persoalan krusial kita. Agama yang
menuntun kita untuk senantiasa menggunakan akal sehat, kerap dibela tanpa
menggunakan akal sehat. Sebagai institusi kebenaran, agama dibela tanpa
kebenaran.
Dari apa yang saya baca, Irshad Manji
mengajak kita semua, khususnya umat muslim untuk beragama dengan akal sehat.
Untuk berpikir kritis dan selalu mempertanyakan apa pun yang kita terima,
termasuk doktrin kitab suci, seyogianya dikonfirmasi ulang, disandingkan
dengan fakta-fakta.
Karena itu, penulis buku The Trouble with
Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change (2003) yang dalam versi
Indonesia berjudul Beriman dengan Tanpa Rasa Takut ini menekankan pentingnya
ijtihad untuk menghadapi berbagai tantangan kemodernan.
Menurutnya, ijtihad bukan hanya kewenangan
ahli-ahli fikih tapi siapa pun dapat melakukannya. Setiap orang yang punya
akal (sehat) diizinkan Allah untuk berijtihad, yakni mencari kebenaran dengan
cara menganalisis, menginterpretasi, dan reinterpretasi terhadap
sumber-sumber yang berasal dari doktrin agama.
Tanpa Akal Sehat
Sayangnya, tak semua kalangan mau menerima
pemikiran kritis Irshad Manji. Yang menyedihkan, Muhammadiyah yang menjadikan
ijtihad sebagai nyawa gerakannya pun ikut menolak kehadiran Irshad Manji di
kantornya di Jalan Menteng Raya Jakarta Pusat, dengan berbagai alasan.
Irshad Manji juga ditolak mahasiswa
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang seyogianya menjunjung tinggi
prinsip-prinsip akademis. Bahkan dalam diskusi buku di Komunitas Salihara,
Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Irshad diusir oleh sekelompok
orang yang mengklaim dirinya sebagai pembela Islam.
Padahal sebelum datang ke Jakarta, Irshad
sudah banyak memuji dan mengampanyekan Indonesia sebagai negeri yang patut
dicontoh dalam hal toleransi atas perbedaan-perbedaan keyakinan dan agama.
Tragisnya, Irshad justru ditolak dan diusir di dalam negara yang telah ia
puji dan kampenyekan keunggulan-keunggulannya.
Saya yakin orang-orang yang membela Islam
dengan cara-cara yang tidak terpuji itu tanpa akal sehat. Asumsi ini dibangun
berdasarkan logika inversi sederhana, karena Irshad datang dengan akal sehat,
berarti yang memusuhinya tidak punya atau tidak menggunakan akal sehat.
Ketika Islam dibela dengan tanpa akal sehat yang terjadi hanyalah pencemaran
nama Islam yang secara generik bermakna “damai” dan “jalan lurus”.
Di tangan mereka, Islam menjadi agama yang
memercikkan permusuhan, mengancam perdamaian. Banyak sebab, mengapa mereka
tampil membela Islam tanpa akal sehat. Yang paling pokok karena kurangnya
wawasan, dangkalnya pemahaman terhadap (doktrin-doktrin) Islam.
Dalam pandangan Dr Yusuf Qardhawi, tindakan
ekstrem muncul disebabkan pengetahuannya yang setengah-setengah, yang membuat
pemiliknya menyangka bahwa ia telah termasuk dalam golongan orang-orang yang
berpengetahuan sempurna.
Pada saat pendek akal, sempit pengetahuan,
maka “okol” (otot) menjadi pilihan untuk lebih ditonjolkan. Karena itu tak
salah jika pendiri Maarif Institute, Buya Syafii Maarif, menyebut mereka
sebagai “preman berjubah”, yakni mereka yang biasa meneriakkan Islam seraya
mengenakan jubah, namun tindakan-tindakan mereka lebih mirip dengan
segerombolan preman yang biadab.
Negara Absen
Yang sangat memprihatinkan, mereka yang
biasa melakukan kekerasan atas nama pembelaan terhadap agama ini senantiasa
dibiarkan oleh negara. Sudah sering terjadi kekerasan dan negara seperti tak
punya kekuasaan. Padahal, sekali tindakan kekerasan dibiarkan, ia akan
menjadi kebiasaan. Kekerasan seolah menjadi yurisprudensi untuk “membela”
agama dari orang atau sekelompok orang yang dianggap telah tersesat jalan.
Padahal dalam konstutusi (UUD NRI 1945)
jelas sekali ditegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah
menurut agamanya: setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pemikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; dan setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
Karena tertuang dalam konstitusi, adalah
tanggung jawab negara untuk melindungi setiap warganya dari ancaman pihak
lain. Negara tidak boleh kalah oleh preman, baik yang berjubah atau tidak.
Jika negara kalah, artinya malapetaka buat kelangsungan perdamaian di negeri
ini. NKRI bisa berubah menjadi NPRI, yakni Negara Preman RI.
Oleh karena itu, negara harus menindak
tegas siapa pun dan atas nama apa pun yang mengecam, mengancam, dan menyakiti
pihak lain. Tanpa tindakan tegas dari negara, para preman itu akan semakin
bertindak semena-mena. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar