Menelisik
Inpres Kamnas
Fahmi Alfansi P Pane ; Tenaga Ahli DPR RI
|
REPUBLIKA,
12 Januari 2013
Latar belakang rencana
penerbitan instruksi presiden tentang keamanan nasional (Inpres Kamnas) perlu
ditelisik. Seperti dikutip media, Presiden RI menyatakan keadaan keamanan dan
sosial tahun 2012 kurang menggembirakan. Masyarakat beranggapan negara
melakukan pembiaran, keterlambatan penanganan, dan ketidaktuntasan penyelesaian
gangguan keamanan.
Situasi keamanan
nasional memang tidak bagus, tetapi penilaian bahwa masyarakat menganggap
negara melakukan pembiaran tampaknya perlu diteliti kembali. Dalam
pemberantasan terorisme di Poso, misalnya, terjadi korban salah tangkap dan
mereka diduga dianiaya oleh aparat.
Situasi yang menjadi
latar belakang tersebut juga baru terfokus pada gangguan keamanan di dalam
negeri yang disebabkan oleh pelaku dalam negeri.
Padahal, penganggu keamanan Indonesia juga dapat berasal dari luar negeri, baik negara dan militer asing maupun aktor nonnegara.
Dampak berbagai gangguan
keamanan tersebut sangat signifikan. Misalnya, kerugian akibat penyelundupan
pasir laut Rp 72 triliun, penyelundupan BBM Rp 50 triliun, penyelundupan kayu
Rp 30 triliun, dan pencurian ikan Rp 38 triliun (Rencana Kerja Pemerintah
2013, Buku II hal 300). Dampak tersebut belum termasuk kerugian akibat
ketidakamanan infrastruktur publik.
Ironisnya, kapabilitas
keamanan nasional jauh dari memadai. Kapal bea cukai, misalnya, tidak mampu
menindak kapal penyelundup dari negara tetangga karena kalah segalanya, baik
kapal, personel, maupun persenjataan.
Sedangkan banyak kapal perang dan patroli TNI AL yang sudah tua dan belum
dilengkapi persenjataan minimum.
Berbagai paparan di
atas selayaknya dapat dipertimbangkan dalam proses perencanaan penerbitan
Inpres Kamnas. Masalah keamanan adalah masalah kita semua, yang
melibatkan seluruh pihak untuk memelihara keamanan serta menanggulangi setiap
ancaman aktual dan potensial. Dimensi dan sumber ancaman sangat beragam.
Sedangkan instruksi presiden tidak dapat mengikat lembaga-lembaga negara,
seperti DPR RI, pemda, DPRD, lembaga yustisi, dan sebagainya.
Sejauh inpres tersebut
merupakan ke bijakan operasional dari berbagai undang-undang yang sudah ada,
kebijakan eksekutif itu dapat dipahami. Yang lebih baik adalah bila inpres
tersebut merupakan kebijakan dan strategi operasional dari suatu
undang-undang keamanan nasional.
Regulasi ini perlu
untuk pembangunan sistem dan kapabilitas keamanan nasional. Selain itu, hukum
keadaan darurat dan perang harus segera dibenahi.
Sebagai contoh, Perpu No 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya dianggap masih berlaku, padahal pada Pasal 37 misalnya disebut, penguasa perang berhak mengambil barang apa pun untuk digunakan kepentingan pertahanan atau keamanan, dan hak miliknya menjadi hak milik negara.
Ketentuan Pasal 37 ini
jelas merupakan kezaliman dan membuka peluang penyimpangan untuk kepentingan
pribadi. Warga negara wajar dituntut membela negara, tetapi sesudah urusan selesai,
kepemilikan pribadi warga harus dikembalikan.
Pemerintah juga perlu
berdialog untuk memperbaiki berbagai rumusan yang masih dianggap dapat
membahayakan keamanan insani dan publik, serta dapat mereduksi efektivitas
dan sinkronisasi antarlembaga. Misalnya, dalam RUU Kamnas Pasal 34 tertulis, "Peringatan dini disampaikan kepada
Presiden oleh Sekjen Dewan
Keamanan Nasional berdasarkan masukan dari Badan
Intelijen Negara sebagai unsur utama dibantu oleh seluruh penyelenggara
intelijen negara." Padahal, UU No 17 Tahun 2011 tentang
Intelijen Negara Pasal 39 huruf b dan c menyebut tugas BIN adalah memadukan
produk intelijen dan melaporkan koordinasi penyelenggaraan intelijen negara
kepada Presiden.
Akan tetapi,
pemerintah terlihat memiliki iktikad baik untuk mendengar dan menerima
masukan anggota DPR dan publik. Misalnya, pada draf Maret 2011 terdapat
Penjelasan Pasal 17 ayat 2 bahwa diskonsepsional perumusan legislasi dan
regulasi merupakan salah satu bentuk ancaman tidak bersenjata. Namun, pada
draf Oktober 2012, rumusan tersebut telah dihilangkan. Konsepsi tersebut
adalah yang paling dikritik publik.
Oleh karena itu, kita
pun berprasangka baik penyampaian rencana penerbitan Inpres Kamnas atau dalam
negeri kepada publik adalah upaya pemerintah untuk menyerap aspirasi publik
dan bahan penyempurnaannya. Namun, kalau pun pemerintah tetap meneruskan rencananya,
sebaiknya inpres tersebut tidak hanya berisi sasaran, ukuran keberhasilan,
uraian kerja, termasuk siapa bertugas dan bertanggung jawab apa, seperti rencana
yang telah dipublikasikan.
Akan lebih baik, ada
aturan pencegahan aparat keamanan bertindak represif seenaknya, serta sanksi
disiplin dan pidana yang lebih keras bila dilanggar.
Kebijakan serupa perlu diterapkan untuk aparat keamanan. Dengan demikian, sistem hukum akan melindungi warga yang dituding teroris, padahal belum terbukti, serta keluarga dan rekannya, sebagaimana warga yang bersengketa dengan perusahaan besar dan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar