Minggu, 13 Januari 2013

Menelisik Inpres Kamnas


Menelisik Inpres Kamnas
Fahmi Alfansi P Pane ; Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA, 12 Januari 2013



 Latar belakang rencana penerbitan instruksi presiden tentang keamanan nasional (Inpres Kamnas) perlu ditelisik. Seperti dikutip media, Presiden RI menyatakan keadaan keamanan dan sosial tahun 2012 kurang menggembirakan. Masyarakat beranggapan negara melakukan pembiaran, keterlambatan penanganan, dan ketidaktuntasan penyelesaian gangguan keamanan.

Situasi keamanan nasional memang tidak bagus, tetapi penilaian bahwa masyarakat menganggap negara melakukan pembiaran tampaknya perlu diteliti kembali. Dalam pemberantasan terorisme di Poso, misalnya, terjadi korban salah tangkap dan mereka diduga dianiaya oleh aparat. 

Situasi yang menjadi latar belakang tersebut juga baru terfokus pada gangguan keamanan di dalam negeri yang disebabkan oleh pelaku dalam negeri.
Padahal, penganggu keamanan Indonesia juga dapat berasal dari luar negeri, baik negara dan militer asing maupun aktor nonnegara. 

Dampak berbagai gangguan keamanan tersebut sangat signifikan. Misalnya, kerugian akibat penyelundupan pasir laut Rp 72 triliun, penyelundupan BBM Rp 50 triliun, penyelundupan kayu Rp 30 triliun, dan pencurian ikan Rp 38 triliun (Rencana Kerja Pemerintah 2013, Buku II hal 300). Dampak tersebut belum termasuk kerugian akibat ketidakamanan infrastruktur publik. 

Ironisnya, kapabilitas keamanan nasional jauh dari memadai. Kapal bea cukai, misalnya, tidak mampu menindak kapal penyelundup dari negara tetangga karena kalah segalanya, baik kapal, personel, maupun persenjataan.

Sedangkan banyak kapal perang dan patroli TNI AL yang sudah tua dan belum dilengkapi persenjataan minimum. 

Berbagai paparan di atas selayaknya dapat dipertimbangkan dalam proses perencanaan penerbitan Inpres Kamnas. Masalah keamanan adalah masalah kita semua, yang melibatkan seluruh pihak untuk memelihara keamanan serta menanggulangi setiap ancaman aktual dan potensial. Dimensi dan sumber ancaman sangat beragam. Sedangkan instruksi presiden tidak dapat mengikat lembaga-lembaga negara, seperti DPR RI, pemda, DPRD, lembaga yustisi, dan sebagainya. 

Sejauh inpres tersebut merupakan ke bijakan operasional dari berbagai undang-undang yang sudah ada, kebijakan eksekutif itu dapat dipahami. Yang lebih baik adalah bila inpres tersebut merupakan kebijakan dan strategi operasional dari suatu undang-undang keamanan nasional. 

Regulasi ini perlu untuk pembangunan sistem dan kapabilitas keamanan nasional. Selain itu, hukum keadaan darurat dan perang harus segera dibenahi.
Sebagai contoh, Perpu No 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya dianggap masih berlaku, padahal pada Pasal 37 misalnya disebut, penguasa perang berhak mengambil barang apa pun untuk digunakan kepentingan pertahanan atau keamanan, dan hak miliknya menjadi hak milik negara.

Ketentuan Pasal 37 ini jelas merupakan kezaliman dan membuka peluang penyimpangan untuk kepentingan pribadi. Warga negara wajar dituntut membela negara, tetapi sesudah urusan selesai, kepemilikan pribadi warga harus dikembalikan. 

Pemerintah juga perlu berdialog untuk memperbaiki berbagai rumusan yang masih dianggap dapat membahayakan keamanan insani dan publik, serta dapat mereduksi efektivitas dan sinkronisasi antarlembaga. Misalnya, dalam RUU Kamnas Pasal 34 tertulis, "Peringatan dini disampaikan kepada Presiden oleh Sekjen Dewan 
Keamanan Nasional berdasarkan masukan dari Badan Intelijen Negara sebagai unsur utama dibantu oleh seluruh penyelenggara intelijen negara." Padahal, UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 39 huruf b dan c menyebut tugas BIN adalah memadukan produk intelijen dan melaporkan koordinasi penyelenggaraan intelijen negara kepada Presiden.

Akan tetapi, pemerintah terlihat memiliki iktikad baik untuk mendengar dan menerima masukan anggota DPR dan publik. Misalnya, pada draf Maret 2011 terdapat Penjelasan Pasal 17 ayat 2 bahwa diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi merupakan salah satu bentuk ancaman tidak bersenjata. Namun, pada draf Oktober 2012, rumusan tersebut telah dihilangkan. Konsepsi tersebut adalah yang paling dikritik publik. 

Oleh karena itu, kita pun berprasangka baik penyampaian rencana penerbitan Inpres Kamnas atau dalam negeri kepada publik adalah upaya pemerintah untuk menyerap aspirasi publik dan bahan penyempurnaannya. Namun, kalau pun pemerintah tetap meneruskan rencananya, sebaiknya inpres tersebut tidak hanya berisi sasaran, ukuran keberhasilan, uraian kerja, termasuk siapa bertugas dan bertanggung jawab apa, seperti rencana yang telah dipublikasikan. 

Akan lebih baik, ada aturan pencegahan aparat keamanan bertindak represif seenaknya, serta sanksi disiplin dan pidana yang lebih keras bila dilanggar.
Kebijakan serupa perlu diterapkan untuk aparat keamanan. Dengan demikian, sistem hukum akan melindungi warga yang dituding teroris, padahal belum terbukti, serta keluarga dan rekannya, sebagaimana warga yang bersengketa dengan perusahaan besar dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar