Minggu, 13 Januari 2013

Dalang Burem


Dalang Burem
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 13 Januari 2013



 Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Suaidi Yahya tetap memberlakukan ketentuan dalang burem (dilarang ngangkang buat perempuan) di wilayah kekuasaannya. Semua tomas (tokoh masyarakat) dan togam (tokoh agama) serta eksponen pemda dan DPRD tidak ada yang keberatan karena alasannya untuk mempertahankan tradisi dan syariat Islam.

Padahal Cut Nyak Dien menunggang kuda dengan ngangkang, sementara Ratu Elizabeth II (yang sekarang sudah sepuh tetapi masih bertakhta), sebagai panglima satuan berkuda, setiap kali melakukan inspeksi pada pasukan berkudanya justru selalu menunggang kuda dengan garing (gaya miring). Padahal RE II bukan keturunan Aceh dan tergolong kafir pula. Di sisi lain, walaupun dalang burem sudah resmi diberlakukan di Lhokseumawe sejak 7 Januari 2013 yang lalu, di jalanan para pemudi dan ibui-bu tetap saja dengan gaya mapan (madep ke depan). 

Padahal mereka Aceh tulen dan muslimah sejati (berjilbab). Ketika ditanya di layar TV, jawab mereka karena lebih nyaman atau demi keselamatan atau karena membawa anak atau barang atau apa salahnya? Kan di Alquran atau hadis pun tidak ada larangan. Bahkan Kementerian Dalam Negeri merasa tergugah untuk mengevaluasi surat edaran Wali Kota tentang dalang burem yang kontroversial tersebut.

Konon cuma para PNS perempuan di kota itu yang membonceng motor dengan garing. Itu pun kalau mereka pakai rok panjang yang ketat (daripada roknya robek). Wali Kota sendiri tidak pernah memberi jawaban yang argumentatif (dengan alasan yang masuk akal), misalnya dengan memaparkan data kecelakaan lalu lintas bahwa membonceng garing sama amannya dengan membonceng mapan atau malah mungkin garing lebih aman. Juga tidak ada hadis-hadis tentang Siti Aisyah, misalnya, yang naik unta dengan garing. Yang ada cuma pokoknya. Pokoknya gaya miring. Titik. 

Nah, kalau sudah gaya pokoknya ini, mulai ada yang harus dipertanyakan. Ada motivasi apa di balik “pemaksaan” itu? Sejumlah milis feminis di dunia virtual mulai menuding adanya diskriminasi gender. Perempuan selalu jadi korban. Kalau ada sweeping resmi oleh Satpol PP maupun yang ilegal oleh FPI (Forum Pen-sweeping Indonesia), di warung remang-remang maupun di losmen-losmen terang-benderang, selalu saja yang ditangkapi para perempuan. Kalau ada KDRT yang disalahkan juga perempuan. 

Tidak nurut kepada suami, padahal suami adalah imam keluarga, termasuk suami PTS (pemabuk dan tukang selingkuh). Kalau ada perempuan diperkosa, yang salah adalah perempuan juga. Memakai baju yang mengundang selera laki-laki (walaupun si korban berjilbab) atau pura-pura saja diperkosa, padahal suka-samasuka atau perempuannya kurang beriman atau kurang pendidikan agama. 

Ke depan, korban pemerkosaan dijauhi masyarakat, dianggap menjijikkan, bekas orang, dan seterusnya. Begitulah kira-kira pendapat teman-teman saya yang pembela perempuan. Tapi, lebih dari itu, beberapa teman peneliti masalah radikalisme Islam merasa lebih khawatir lagi. Jangan-jangan ini adalah salah satu bagian dari proses Talibanisasi masyarakat Indonesia. 

“Saya tertegun karena saya banyak membaca dan melihat di CNN, ketika Taliban berkuasa di Afghanistan, laki-laki yang tidak berjanggut atau perempuan yang kedapatan berjalan sendirian di tengah kota, tanpa ditemani oleh muhrimnya, walaupun di siang hari bolong, bisa digantung sampai mati begitu saja.” Astagfirullah, tidak mungkinlah sampai begitu, kata saya membantah teman itu. Tapi teman saya itu bersikukuh, “Nanti dulu”, katanya, “jangan buru-buru diingkari.” 

Penelitian LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) tahun 2011 menunjukkan bahwa 48,9% siswa dan 28,2% guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait agama dan moral. Beberapa pelaku bom bunuh diri adalah pelajar-pelajar SLTA yang entah bagaimana menjadi radikal. 

Dalam kasus Cikeusik, minoritas Ahmadiyah jadi korban, di Sampang Madura, minoritas Syiah tewas di tangan mayoritas Sunni Madura, yang penganut ahlussunnah waljamaah yang sejak zaman dulu kala cinta damai kepada semua golongan. Di Bogor dan Bekasi, umat Kristen tidak bisa beribadah di gereja milik mereka sendiri; dan seterusnya. Teman saya yang jadi wakil dekan III urusan kemahasiswaan mengatakan bahwa hampir semua pengurus BEM di kampusnya sudah dikuasai oleh mahasiswa aktivis dari kelompok radikal. 

Bahkan ketika saya mengikuti sebuah rapat tentang penanggulangan terorisme, ada yang melaporkan bahwa revisi UU No 15/2003 tentang Antiterorisme sulit sekali karena ideologi radikal sudah menyusup juga ke sebagian anggota legislatif. Dalam revisi/pembuatan UU, satu orang saja tidak setuju pada suatu konsep, prosesnya bisa berlarut-larut sampai akhirnya terjadi voting. Kalau hal ini terjadi berkali-kali dan berkali-kali, sampai Lebaran kuda pun revisi UU itu belum tentu jadi. 

Namun, itu belum apa-apa. Saya makin kaget lagi ketika pada Minggu, 6 Januari 2013 lalu, saya mendapat undangan lewat SMS untuk menghadiri peluncuran buku karangan Abu Bakar Baasyir di TMII yang berjudul Tadzkiroh (Peringatan dan Nasihat karena Allah) kepada Ketua MPR/DPR dan Semua Anggotanya yang Mengaku Muslim & Aparat Thaghut NKRI di Bidang Hukum dan Pertahanan yang Mengaku Muslim. 

Saya tidak hadir pada acara bedah buku itu karena hari Minggu, kalau tidak penting sekali, saya pilih main-main sama cucu-cucu saya, tidur atau cari makan enak. Tapi dari cerita yang hadir dan dari resensi yang saya baca, isi buku itu adalah semacam fatwa yang mengafirkan para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum RI dan mengarah pada permusuhan.

Kalau dibiarkan, paham yang disebarkan dari buku ini merupakan ancaman terhadap integrasi bangsa dan harmonisasi sosial, bahkan bisa mengancam eksistensi bangsa. Anehnya, pertemuan seperti itu dan buku sejenis itu, yang jelas-jelas memusuhi pemerintah, bahkan bisa mengancam eksistensi NKRI, kok dibiarkan saja oleh petugas. Polisi memberikan izin pertemuan dan kejaksaan tidak membredel (mencabut dari peredaran) buku yang kontroversial itu? 

Saya melihat foto yang memperlihatkan Abu Bakar Baasyir, yang berstatus narapidana 15 tahun, di Penjara Nusa Kambangan, sedang menerima kunjungan beberapa puluh umatnya, duduk lesehan di lantai lapas sambil salah satu di antara pengunjung itu mengacungkan buku Tadzkiroh yang berwarna hijau itu. Bagaimana bisa pengurus lapas membolehkan narapidana ABB menerima tamu seperti sebuah majelis taklim? 

Mudah-mudahan kecemasan teman saya itu, yang juga menjadikan saya khawatir setengah mati, tidak terlalu benar. Kebanyakan ulama Indonesia main stream adalah ulama-ulama moderat. Merekalah yang akan mengawal Islam Indonesia yang damai dan inklusif. Sayangnya kaum moderat ini, meskipun mayoritas, tidak vokal, lebih banyak diam daripada cari ribut, apalagi repot-repot mengadakan counter program. 

Sebaliknya para radikalis, walaupun jumlahnya sedikit, mereka vokal dan militan. Mereka mau menemani rekan-rekannya ngobrol di musala sampai larut malam, sampai teman-teman itu lambat laun percaya pada ajaran radikalnya. Sementara guru-guru agama atau ustaz-ustaz sudah bobok di pelukan istri masing-masing. 

Akhirnya marilah kita berdoa bahwa tidak ada hubungannya antara dalang burem dengan radikalisasi bangsa dan agar bangsa Indonesia tetap berada dalam naungan Pancasila, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar