Darurat
Perlindungan Anak
Jazuli Juwaini ; Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
|
REPUBLIKA,
12 Januari 2013
Merinding membaca laporan
kekerasan terhadap anak yang dirilis Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA).
Selama 2012, Komnas PA menerima sebanyak 2.637 laporan kekerasan terhadap
anak-anak. Dari jumlah tersebut, 62 persen di antaranya merupakan kekerasan
seksual, sisanya merupakan kekerasan fisik.
Kondisi pilu anak
Indonesia pada 2012 meningkat dari laporan tahun sebelumnya. Pada 2011,
Komnas PA menerima 2.509 laporan kekerasan terhadap anak. Komposisinya masih
sama, kekerasan seksual lebih mendominasi. Sekitar 52 persen merupakan
kekerasan seksual dan pada 2012 naik 10 persen. Tentu, data di atas merupakan
fenomena gunung es.
Kondisi memilukan
anak-anak di atas sejatinya sangat ironis karena kita memiliki instrumen
perlindungan anak, baik berupa amanat konstitusi, peraturan perundangan,
maupun lembaga negara. Negara, melalui amanat Pasal 34 UUD 1945, dengan
tegas menyatakan, fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh
negara.
Indonesia juga sudah
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak tahun 1989 dengan Kepres 36
tahun 1990, sehingga Konvensi PBB menjadi hukum Indonesia dan mengikat bagi
seluruh warga negara In donesia. Pemerintah melalui DPR juga melahirkan UU No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengatur hak dan kewajiban
anak serta pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai
lembaga negara independen.
Kondisi Lemah
Jika semua instrumen
telah kita miliki, lalu di mana letak masalahnya sehingga kasus kekerasan
seksual pada anak marak terjadi. Secara sederhana, kita bisa katakan bahwa
instrumen perlindungan anak tidak berjalan atau bekerja efektif. Maraknya
kasus kekerasan seksual pada anak merupakan bentuk kegagalan pemerintah
melakukan perlindungan terhadap anak.
Terakhir, peristiwa
memilukan hati menimpa bocah berinisial RI di Jakarta. RI diindikasikasikan
mengalami kekerasan seksual hingga meninggal. Maka, sudah seharusnya
pemerintah menjadikan momentum ini sebagai evaluasi dan bekerja keras
memperbaiki upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Sejatinya, pemerintah
telah mencanangkan program nasional kota layak anak, tapi pada praktiknya
pengarusutamaan program-program semacam ini sering dikalahkan oleh
kepentingan lain, seperti komersialisasi. Banyak kota yang tidak ramah anak.
Ruang publik yang seharusnya memiliki fasilitas tumbuh kembang anak justru
terabaikan.
Lahirnya UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hal yang sangat
menggembirakan karena dapat mengisi kekosongan aturan yang terdapat dalam
undang-undang lainnya. Kasus kekerasan seksual terhadap anak erat
kaitannya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil
penelitian, pelaku kekerasan seksual cenderung mengacu pada orang-orang yang
berada dekat dengan korban dalam kehidupan sehari-harinya.
Instrumen hukum yang menjerat
pelaku kekerasan seksual pada anak juga dinilai terlalu lemah, sehingga tidak
memberikan efek jera yang efektif.
Dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual
terhadap anak hanya dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara (Pasal 82).
Hukuman maksimal ini pun belum tentu diberlakukan bagi si pelaku karena
nyatanya vonis hakim selalu di bawah tuntutan maksimal.
Dari sisi korban,
sampai saat ini bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat penegak
hukum masih terbatas sifatnya karena lebih terpaku pada ada-tidaknya aturan
yang mengharuskan mereka untuk melakukan hal itu. Padahal, kedudukan seorang
anak yang menjadi korban sekaligus menjadi saksi dalam kasus kekerasan
seksual sangat penting.
Praktiknya, penegak
hukum kedapatan mengabaikan hak-hak anak sebagai saksi, yaitu dalam hal
penerapan Pasal 171 KUHAP. Dalam ketentuan tersebut, masalah mendasar yang
harus diutamakan dalam pemeriksaan saksi maupun korban kekerasan seksual yang
masih anak-anak adalah membantu mengatasi penderitaan fisik maupun psikis
korban.
Revitalisasi Peran
Pemerintah dinilai
belum mempunyai sistem mekanisme dan manajemen perlindungan terhadap anak.
Padahal, sudah ada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Masalahnya ada pada implementasi dari undang-undang tersebut. Dalam UU No 23
Tahun 2002 diamanahkan penanggung jawab perlindungan terhadap anak ada di
tangan masyarakat, keluarga, pemerintah, dan negara. Pada kenyataannya,
keempat unsur tersebut belum berperan maksimal melindungi anak.
Pemerintah melalui
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
harus menyosialisasikan secara efektif mengenai Pengarusutamaan Hak Anak (Puha) untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Saat ini, sudah mulai dicanangkan kota/kabupaten layak anak. Seharusnya, hal itu tidak hanya jadi ikon, tapi pemerintah daerah dan masyarakat setempat harus benar-benar melaksanakan indikator dari kota/kabupaten layak anak.
Masyarakat juga harus
proaktif dalam mencegah dan melaporkan kejadian kekerasan pada anak-anak.
Dan, aparat pun harus cepat tanggap merespons hal tersebut, sehingga
masyarakat yang me laporkan tidak merasa dipersulit dan malah membuat mereka
enggan melapor. Pemerintah harus memberi pendampingan kepada anak yang men-
jadi korban kekerasan seksual.
Keluarga sebagai
sekolah pertama dan utama bagi anak sudah semestinya dikembalikan peran
vitalnya dalam mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak
serta mampu memproteksi anak dari segala tindak kekerasan dan pelecehan
seksual. Pencegahan budaya permisif dan penjagaan atas keutuhan rumah tangga
harus menjadi kesadaran kolektif semata-mata untuk menjaga masa depan anak
Indonesia.
Terakhir, upaya hukum
harus memberikan efek jera pada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap
anak. Memperberat sanksi pada pelaku tindak kekerasan dan pencabulan pada
anak patut diupayakan secara serius agar hukum benar-benar berpihak pada anak
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar