Mencermati
Kerusakan Wilayah Pantura
Eko Rudianto ; Direktur Pesisir dan Lautan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan |
SUARA
KARYA, 07 Januari 2013
Kelestarian wilayah
pesisir merupakan kebutuhan masyarakat dan tidak bisa ditawar lagi. Dalam
arti, masyarakat harus melakukan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir
dengan sebaik-baiknya, dengan tetap mempertimbangkan fungsi dan daya dukung
perairan dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut.
Secara fisik, pesisir
merupakan kawasan vital bagi sesama dalam menjalani kehidupan. Sedangkan dari
segi ekologi, pesisir dibutuhkan oleh biota perairan yang bermanfaat bagi
manusia. Wilayah tersebut juga merupakan kawasan penyangga dan pelindung lautan
dari pengaruh daratan. Demikian pula sebaliknya, kerusakan wilayah pesisir
akan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem
pantai dan laut serta mempengaruhi kegiatan pembangunan.
Banyak kasus yang
mengancam keberlangsungan daratan, dan salah satunya bisa dilihat di pesisir
pantai utara (Pantura) Jawa dimana wilayah tersebut masuk dalam daerah yang
padat dengan aktivitas, baik itu dari sektor transportasi, industri ataupun
perekonomian secara umum. Jelas aktivitas tersebut punya Konsekuensi logis
terhadap penurunan daya dukung wilayah pesisir apalagi jika pengelolaannya
dilakukan kurang baik. Pembangunan di wilayah pesisir yang hanya memikirkan
keuntungan ekonomi, mengakibatkan terkorbankannya ekosistem penunjang wilayah
pesisir yang ada seperti penebangan dan pengrusakan mangrove, lamun, dan
terumbu karang. Padahal, tanaman itu sebagai pelindung daratan dari besarnya
gelombang air laut yang bisa menyebabkan terjadinya abrasi dan akresi/sedimentasi
di wilayah pesisir. Selain itu hal juga meyebabkan meningkatnya pencemaran
laut.
Penyebab kerusakan
tersebut antara lain karena meningkatnya aktivitas manusia seperti penebangan
hutan mangrove untuk tambak, permukiman, industri, pelabuhan dan lain-lain.
Terus, pengaruh adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut (jetty,
breakwater, groin, reklamasi), penambangan material pantai, pemindahan muara
sungai, pengaruh pembuatan waduk di hulu, pengaruh pembuatan seawall dan
disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim global. Di sisi lain maraknya
penambangan karang dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta
pembuangan limbah ke pesisir juga menjadi penyebab kerusakan di pantura Jawa.
Sebagai contoh,
kerusakan mangrove, lamun, dan terumbu karang dapat dijumpai di pantai utara
bagian Timur hingga ke Barat Banten. Abrasi terdapat di sepanjang Pantura
Banten terutama di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang. Sedangkan
kerusakan ekosistem lamun terjadi di Teluk Banten, Teluk Lada, Ujung Kulon,
Pulau Panjang, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Sementara itu untuk
kerusakan eksosistem dan abrasi wilayah pesisir utara Jawa Barat, tersebar di
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu
serta Kabupaten dan Kota Cirebon. Selanjutnya di wilayah Pantura Jawa Tengah
total luas abrasi mencapai 6.567 hektare, dan luas akresi/sedimentasi 12.585
hektare. Abrasi paling besar terjadi di Kabupaten Brebes sebesar 2.115
hektare dan Kabupaten Demak 1.016 hektare. Kerusakan mangrove terparah
terjadi di Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang. Di Jawa Timur, hutan
mangrove mengalami kerusakan mencapai 13.000 hektare dari total 85.000
hektare. Sementara untuk terumbu karang di Jawa Timur sebanyak 60 persennya
mengalami kerusakan.
Akibat kerusakan
tersebut, banyak kerugian yang harus ditanggung masyarakat khususnya bagi
mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Kerugian material seperti tidak
berproduksinya tambak, hilangnya permukiman, rusaknya sarana prasarana
seperti jalan, jembatan, pelabuhan baik pelabuhan niaga maupun pelabuhan
perikanan.
Di Kabupaten Karawang,
abrasi paling panjang terjadi di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cibuaya,
Pedes, dan Cilebar, dan terparah berada di Kecamatan Cibuaya dimana abrasi
yang terjadi sepanjang 10 km serta telah menggerus sekitar 55 rumah dan satu
kilometer jalan selama satu tahun terakhir. Sementara itu, jembatan
penghubung Kecamatan Cilebar dengan Kecamatan Pedes saat ini sudah tergerus
dan sekitar 100 rumah sudah amblas. Di wilayah pesisir Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak kerusakan pesisir telah mengakibatkan kemunduran garis pantai
sejauh 1 km - 1,5 km dan 208 keluarga mengungsi. Ratusan hektare tambak juga
hilang akibat abrasi di kedua kabupaten tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
upaya penanggulangan kerusakan wilayah Pantura, Jawa perlu segera dilakukan
dengan menggunakan pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu yang
melibatkan semua sektor terkait baik secara horizontal maupun vertikal mulai
dari pusat, antar provinsi dan antar kabupaten. Menurut Undang-undang No 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan hingga
pengawasan dan pengendalian.
Dalam hal ini,
Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 2002 sudah melakukan upaya
rehabilitasi dengan menanam mangrove di sebagian pantura Jawa yang mengalami
abrasi, antara lain di pantura Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang,
Indramayu, Cirebon, Brebes, Pekalongan, Kendal, Pati, Semarang, Demak,
Rembang, Gresik, Sidoarjo, Lamongan, Tuban.
Disamping itu di
beberapa wilayah pantura Jawa yang gelombangnya cukup besar diperlukan
struktur/bangunan pelindung di depan mangrove yang akan ditanam. Kementerian
Kelautan dan Perikanan juga telah melakukan upaya rehabilitasi melalui
pembangunan struktur/bangunan pelindung pantai yang dinamakan sabuk pantai.
Ini diharapkan berfungsi untuk mengurangi kekuatan gelombang dan menangkap
sedimen sehingga mangrove yang ditanam dapat dilindungi dari terjangan
gelombang. Sedimen yang tertangkap pun dapat dimanfaatkan sebagai areal penanaman
mangrove. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar