Senin, 07 Januari 2013

Mencermati Kerusakan Wilayah Pantura


Mencermati Kerusakan Wilayah Pantura
Eko Rudianto ;  Direktur Pesisir dan Lautan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
SUARA KARYA,  07 Januari 2013

  
Kelestarian wilayah pesisir merupakan kebutuhan masyarakat dan tidak bisa ditawar lagi. Dalam arti, masyarakat harus melakukan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dengan sebaik-baiknya, dengan tetap mempertimbangkan fungsi dan daya dukung perairan dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut.
Secara fisik, pesisir merupakan kawasan vital bagi sesama dalam menjalani kehidupan. Sedangkan dari segi ekologi, pesisir dibutuhkan oleh biota perairan yang bermanfaat bagi manusia. Wilayah tersebut juga merupakan kawasan penyangga dan pelindung lautan dari pengaruh daratan. Demikian pula sebaliknya, kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem pantai dan laut serta mempengaruhi kegiatan pembangunan.
Banyak kasus yang mengancam keberlangsungan daratan, dan salah satunya bisa dilihat di pesisir pantai utara (Pantura) Jawa dimana wilayah tersebut masuk dalam daerah yang padat dengan aktivitas, baik itu dari sektor transportasi, industri ataupun perekonomian secara umum. Jelas aktivitas tersebut punya Konsekuensi logis terhadap penurunan daya dukung wilayah pesisir apalagi jika pengelolaannya dilakukan kurang baik. Pembangunan di wilayah pesisir yang hanya memikirkan keuntungan ekonomi, mengakibatkan terkorbankannya ekosistem penunjang wilayah pesisir yang ada seperti penebangan dan pengrusakan mangrove, lamun, dan terumbu karang. Padahal, tanaman itu sebagai pelindung daratan dari besarnya gelombang air laut yang bisa menyebabkan terjadinya abrasi dan akresi/sedimentasi di wilayah pesisir. Selain itu hal juga meyebabkan meningkatnya pencemaran laut.
Penyebab kerusakan tersebut antara lain karena meningkatnya aktivitas manusia seperti penebangan hutan mangrove untuk tambak, permukiman, industri, pelabuhan dan lain-lain. Terus, pengaruh adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut (jetty, breakwater, groin, reklamasi), penambangan material pantai, pemindahan muara sungai, pengaruh pembuatan waduk di hulu, pengaruh pembuatan seawall dan disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim global. Di sisi lain maraknya penambangan karang dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta pembuangan limbah ke pesisir juga menjadi penyebab kerusakan di pantura Jawa.
Sebagai contoh, kerusakan mangrove, lamun, dan terumbu karang dapat dijumpai di pantai utara bagian Timur hingga ke Barat Banten. Abrasi terdapat di sepanjang Pantura Banten terutama di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang. Sedangkan kerusakan ekosistem lamun terjadi di Teluk Banten, Teluk Lada, Ujung Kulon, Pulau Panjang, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Sementara itu untuk kerusakan eksosistem dan abrasi wilayah pesisir utara Jawa Barat, tersebar di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu serta Kabupaten dan Kota Cirebon. Selanjutnya di wilayah Pantura Jawa Tengah total luas abrasi mencapai 6.567 hektare, dan luas akresi/sedimentasi 12.585 hektare. Abrasi paling besar terjadi di Kabupaten Brebes sebesar 2.115 hektare dan Kabupaten Demak 1.016 hektare. Kerusakan mangrove terparah terjadi di Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang. Di Jawa Timur, hutan mangrove mengalami kerusakan mencapai 13.000 hektare dari total 85.000 hektare. Sementara untuk terumbu karang di Jawa Timur sebanyak 60 persennya mengalami kerusakan.
Akibat kerusakan tersebut, banyak kerugian yang harus ditanggung masyarakat khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Kerugian material seperti tidak berproduksinya tambak, hilangnya permukiman, rusaknya sarana prasarana seperti jalan, jembatan, pelabuhan baik pelabuhan niaga maupun pelabuhan perikanan.
Di Kabupaten Karawang, abrasi paling panjang terjadi di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cibuaya, Pedes, dan Cilebar, dan terparah berada di Kecamatan Cibuaya dimana abrasi yang terjadi sepanjang 10 km serta telah menggerus sekitar 55 rumah dan satu kilometer jalan selama satu tahun terakhir. Sementara itu, jembatan penghubung Kecamatan Cilebar dengan Kecamatan Pedes saat ini sudah tergerus dan sekitar 100 rumah sudah amblas. Di wilayah pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak kerusakan pesisir telah mengakibatkan kemunduran garis pantai sejauh 1 km - 1,5 km dan 208 keluarga mengungsi. Ratusan hektare tambak juga hilang akibat abrasi di kedua kabupaten tersebut. Berdasarkan hal tersebut, upaya penanggulangan kerusakan wilayah Pantura, Jawa perlu segera dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu yang melibatkan semua sektor terkait baik secara horizontal maupun vertikal mulai dari pusat, antar provinsi dan antar kabupaten. Menurut Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan hingga pengawasan dan pengendalian.
Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 2002 sudah melakukan upaya rehabilitasi dengan menanam mangrove di sebagian pantura Jawa yang mengalami abrasi, antara lain di pantura Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Pekalongan, Kendal, Pati, Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Sidoarjo, Lamongan, Tuban.
Disamping itu di beberapa wilayah pantura Jawa yang gelombangnya cukup besar diperlukan struktur/bangunan pelindung di depan mangrove yang akan ditanam. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah melakukan upaya rehabilitasi melalui pembangunan struktur/bangunan pelindung pantai yang dinamakan sabuk pantai. Ini diharapkan berfungsi untuk mengurangi kekuatan gelombang dan menangkap sedimen sehingga mangrove yang ditanam dapat dilindungi dari terjangan gelombang. Sedimen yang tertangkap pun dapat dimanfaatkan sebagai areal penanaman mangrove.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar