Mencegah
Kekerasan di Tanah Papua
Neles Tebay ; Dosen STFT Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua
|
KOMPAS,
22 Januari 2013
Berbagai aksi kekerasan
seperti perang suku dan penembakan mewarnai sepanjang tahun 2012 di Papua.
Tak heran bila orang Papua menyebut 2012 sebagai tahun kekerasan. Sepanjang
tahun 2012, perang suku antarwarga sipil berlangsung di beberapa kabupaten,
seperti Mimika, Tolikara, Lanny Jaya, dan Puncak Papua. Perang suku yang
mencerminkan adanya konflik horizontal ini mengakibatkan banyak orang tewas
dan luka-luka. Perang suku ini terjadi hanya antara orang asli Papua. Maka,
orang asli Papua adalah korban sekaligus pelaku dari perang.
Aksi-aksi
kekerasan yang menyita perhatian secara nasional adalah penembakan. Aksi
penembakan ini memperlihatkan adanya konflik vertikal antara aparat negara
dan warga sipil, terutama orang asli Papua. Dalam sejumlah kasus kekerasan,
aparat keamanan yang
Pada
kasus-kasus yang lain, para gerilyawan yang bergabung dalam Tentara
Pembebasan Nasional (TPN), yang adalah sayap militer dari Organisasi Papua
Merdeka (OPM), mengakui sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
penembakan.
Selain
itu, masih ada sejumlah kasus penembakan, seperti yang terjadi di wilayah
perusahaan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika yang hingga kini belum
diidentifikasi pelaku dan motifnya. Pelaku penembakan biasa disebut saja
oknum tidak dikenal alias OTK. Polisi masih melakukan investigasi sehingga
identitas sebenarnya dari OTK belum diketahui hingga kini. Pihak yang menjadi
korban dari konflik vertikal ini adalah warga sipil, anggota TNI, dan
Polri.
Banyak
pihak masih memilih kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Entah
siapa pun pelakunya, semua aksi kekerasan ini mempertebal tembok kecurigaan,
memperdalam rasa kebencian, memperbesar keinginan balas dendam, dan
meningkatkan derajat ketidakpercayaan baik antara anggota masyarakat sipil
maupun antara aparat negara dan warga sipil di Papua. Penduduk pun kurang
mengalami rasa aman dan nyaman. Maka, pertanyaan yang perlu dijawab oleh
semua pemangku kepentingan di Tanah Papua adalah bagaimana membebaskan Papua
dari berbagai aksi kekerasan?
Penegakan
Hukum
Sepanjang
2012, Polri selalu berada di barisan depan. Setiap kali aksi kekerasan
terjadi di suatu daerah, Polri biasanya menerjunkan anggotanya di lokasi
kejadian, melakukan investigasi, menangkap para pelaku, dan memproses mereka
ke pengadilan. Para pelaku dihukum penjara selama beberapa tahun.
Penangkapan
dan pemenjaraan para pelaku kekerasan dapat dipandang sebagai suatu upaya
penegakan hukum. Cara ini dapat memberikan rasa keadilan, tetapi tidak pernah
memberikan jaminan bahwa aksi kekerasan yang sama tidak akan dilakukan lagi
baik oleh pelaku yang sama maupun orang lain. Setelah pelaku dari suatu aksi
kekerasan dihukum penjara, biasanya muncul lagi aksi kekerasan baru di tempat
lain.
Dalam
sejumlah kasus, Polri melakukan penembakan terhadap pelaku kekerasan. Namun,
aksi pembunuhan ini justru membangkitkan semangat balas dendam pada kelompok
korban. Akibatnya, muncul aksi kekerasan yang baru.
Mungkin
karena terdorong beberapa peristiwa penembakan yang menewaskan anggota Polri
pada 2012, pihak kepolisian terdorong untuk menerapkan Undang-Undang Terorisme
di Tanah Papua. Hal ini mengisyaratkan bahwa para pelaku penembakan terhadap
anggota Polri berasal dari kelompok teroris.
Sekalipun
keberadaan teroris di Papua masih bisa diperdebatkan, UU Terorisme dapat saja
diberlakukan di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua
Barat. Ribuan anggota Detasemen Khusus Anti-teror (Densus) 88 dapat
ditugaskan di seluruh kampung di ”negeri kasuari” ini. Bila perlu, jumlah
anggota Densus 88 yang dikirim ke Papua melebihi orang asli Papua yang jumlahnya
sekitar 1,5 juta jiwa di Tanah Papua.
Pihak
kepolisian dapat melancarkan operasi pembersihan teroris di Papua pada 2013
ini. Para pelaku kekerasan dapat saja ditangkap, diinterogasi, dan bahkan
dibunuh oleh pihak Polri dengan dalih pemberantasan terorisme di Papua.
Orang
Papua tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar daripada yang
dimiliki kepolisian. Maka, mereka tidak mungkin menolak dan membatalkan
rencana penerapan UU Terorisme di Tanah Papua.
Sekalipun
tidak ada penolakan, dikhawatirkan penerapan UU Terorisme bukannya
menghentikan dan mencegah kekerasan, tetapi justru sebaliknya, menambah aksi
kekerasan di Papua.
Solusi
Bersama
Solusi
yang tepat diperlukan untuk membebaskan Papua dari aksi-aksi kekerasan.
Solusi tersebut dapat ditemukan melalui suatu kegiatan diagnosis yang
dilakukan secara benar dan mendalam terhadap situasi menyeluruh di Papua.
Aksi-aksi
kekerasan yang terjadi di Papua perlu dilihat sebagai percikan dari
masalah-masalah yang belum dituntaskan. Aksi-aksi kekerasan ini bagaikan asap
yang mengepul. Asap mengindikasikan adanya api. Maka, untuk menghilangkan dan
mencegah aksi kekerasan, masalah-masalah seperti api yang memproduksi asap
kekerasan perlu ditemukan dan harus dipadamkan. Selama masalah-masalah ini
masih ada, selama itu pula kekerasan demi kekerasan akan terus muncul.
Tidak
hanya Polri, tetapi semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan demi
menghentikan dan mencegah kekerasan. Kelompok aktor seperti tokoh adat, tokoh
agama, pemerintah daerah, TNI, perusahaan-perusahaan, dan para gerilyawan
TPN/OPM perlu dikonsultasikan. Mereka perlu dilibatkan dalam membedah
aksi-aksi kekerasan, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab, dan menemukan
solusi-solusi yang dapat menghentikan dan mencegah kekerasan di Tanah Papua.
Pemerintah
pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat perlu membuka ruang bagi
komunikasi yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar