Meretas
Kesanggrahan Lintas Agama
Martin Lukito Sinaga ; Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
22 Januari 2013
Kalam Bersama antara Islam
dan Kristen yang dicanangkan puluhan teolog Muslim pada 13 Oktober 2007 telah
menciptakan tonggak yang kukuh untuk kerukunan hidup antara kedua agama itu.
Secara
meyakinkan ditegaskan di situ bahwa Islam dan Kristen memiliki kesamaan dalam
inti imannya, yakni kasih kepada Allah dan sesama manusia. Jelaslah dengan
demikian di antara kedua agama itu tidak terdapat sengketa teologis yang
signifikan. Tentulah serba kemungkinan dalam hidup berdampingan semakin
diretas dengan pencanangan itu.
Kalam
Bersama yang dimotori Pangeran Ghazi bin Muhamad ini mendapat gaungnya dari
tiga lembaga Kristiani dunia. Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, Dewan
Gereja-gereja Sedunia, dan Aliansi Injili Sedunia meluncurkan dokumen iman
tentang ”Christian Witness in a
Multi-Religious World: Recommendation for Conduct”. Dokumen ini semacam
kode etik perjumpaan antaragama; karena hidup umat Kristiani bersandar pada
kemurahan Allah saja, ia perlu mengasihi sesama manusia ciptaan Allah tanpa
membeda-bedakan.
Sikap
itu selanjutnya diperkuat dengan proses besar ekumenis bernama ”Pemahaman
Diri Kristiani”. Proses ini bertujuan menemukan identitas Kristiani yang pas
dalam menghidupi kemajemukan agama. Pada Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia
2013 di Busan, Korea, nanti hasil proses studi ini dicanangkan sebagai
identitas dan sikap baru Kristiani.
Pada
belokan sejarah di akhir abad XX lalu, gereja-gereja memang semakin menyadari
bahwa jati dirinya tak bisa dipisahkan dari tetangganya yang berbeda agama.
Sebentuk pengerasan diri, yang kerap dinamai politik identitas, adalah
kegagalan menemukan identitas yang pas di tengah konteks kemajemukan itu.
Maka, diperlukan sebentuk narasi baru mengenai jati diri Kristiani yang
inklusif dan terbuka.
Dalam
kesadaran kemajemukan itu diakui identitas agama sesungguhnya tidak terasing
dan kedap, tetapi malah dinamis dan disuburkan oleh agama yang lain. Dengan
kesadaran diri sedemikian, proses mendengarkan suara dari agama lain sungguh
besar artinya. Ini bukan semacam basa-basi sosial menghindar konflik, tetapi
adalah proses merenungkan ulang identitas akibat bersentuhan tulus dengan
agama atau keyakinan hidup yang kini dikenal sebagai ”sang liyan”.
Dalam
pemahaman diri Kristiani akibat bertemu secara mendalam dan dialogis dengan
Buddhisme, sekadar mengambil contoh, suara yang diperdengarkan kepada telinga
orang Kristen ialah catatan kritis bahwa misi gereja yang selama ini sibuk
memperkenalkan kuasa Tuhan malah sering menciptakan syak di antara kedua
agama itu.
Buddhisme
memberi pesan lanjutan bagi umat Kristiani bahwa yang justru perlu
diperkenalkan adalah kuasa yang mendaku sebagai Tuhan, yang bekerja selaku
mammon dalam hidup bersama. Kalau begitu, kedua agama itu bisa menemukan ”Kalam Bersama”-nya di era globalisasi
ini; loba akan laba telah merasuki begitu banyak jiwa umat beriman sehingga
kuasa pencerahan lintas agama diperlukan untuk menyadarkan manusia akan ilusi
terbesar itu.
Belajar
dari dialog yang saling memperkaya itu, kini ihwal pemahaman diri dan wacana
suatu agama, agar ia sintas dan bernas bagi lingkungannya, tidak bisa lagi
tanpa masukan dari agama lain. Sebentuk keterbukaan dan kesanggrahan lintas
agama telah menjadi modus pengembangan wacana ataupun teologi di setiap
agama. Tanpa kesanggrahan teologis ini, tidak akan terjadi komunikasi ataupun
kesaksian timbal balik antar-agama.
Teologi
tiap agama mesti mencerna wacana yang datang dari agama lain. Begitu juga
sebalik- nya, sebab kalau tidak, mereka tidak pernah sungguh-sungguh bertemu
dan berbicara dalam ketulusan satu terhadap yang lainnya. Alasan kita
beragama tentulah agar kita bertumbuh dalam kebenarannya, dan kebenaran yang
kedap dari persinggungannya dengan wacana lain dengan mudah jatuh kepada
autisme.
Kalau
kesanggrahan teologis telah terjadi, tentu ruang-ruang dalam diri tiap agama
pun semakin meluas memberi tempat bagi yang lain. Selain ruang batin beragama
menjadi terbuka, juga ruang-ruang sosialnya dapat lebih lapang adanya. Justru
di sini soal terbesar yang menjadi persimpangan jalan hidup masyarakat
Indonesia akhir-akhir ini.
Pada
catatan hasil ”Jajak Pendapat Kompas”, 10 Desember 2012, rekam jejak
intoleransi semakin tampak di negeri kita. Kasus intimidasi, penyebaran
kebencian, sampai teror karena perbedaan agama dan keyakinan semakin
mengemuka dalam hari-hari kehidupan bertetangga kita.
Memang,
dalam negara modern soal ini secara jitu diletakkan pada isu konstitusi dan
tanggung jawab negara melindungi hak warga negaranya. Kita semakin diingatkan
bahwa kalau negara atau pemerintah mangkir dalam konteks ini, yang hadir
pastilah perundungan atas minoritas, kekerasan antarkampung, sampai
perpecahan bangsa kita.
Namun,
tentu peran masyarakat tidak kalah penting dalam konteks mengubah syak
ataupun ketegangan lintas agama dan keyakinan tadi. Posisi sanggrah yang
diajukan dalam kehidupan masyarakat, dalam arti keramahtamahan yang aktif dan
terbuka bahkan menerima ”gangguan” atas kehadiran yang lain, jelas-jelas
sebentuk posisi lanjutan dari sikap rukun atau toleran.
Kesanggrahan
adalah sikap aktif membuka ruang hidup bagi orang lain sambil ia sendiri siap
keluar dari zona aman lingkungannya yang berpagar tinggi itu. Dan, sikap
sanggrah ini memang soal berat di tengah konteks kita yang umumnya sibuk
mengembangkan sikap hospitalitas asal di situ terjadi pertukaran ekonomi
ataupun kalkulasi untung-rugi. Malah, hospitalitas telah menjadi teknik
memajukan industri tertentu.
Di
sini kita harus merentang kesanggrahan sebagai sebentuk gerakan baru lintas
agama. Ketika batin agama atau teologi sudah terbuka dan saling diperkaya,
proses sosial kesanggrahan itu kini mendesak dijejaskan di ruang hidup
bersama.
Memang,
kian hari kian tumbuh dalam masyarakat kita gerakan yang disebut lintas
agama: mulai dari Gerakan Anti-Kebohongan dan Gerakan Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Kita
berharap model gerakan lintas agama lebih berkembang di tahun 2013 ini dan
dikerjakan demi kesanggrahan lintas agama sehingga semakin terpatri di
kehidupan sosial kita ruang-ruang yang memberi hidup dan pertumbuhan bagi
sebanyak mungkin orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar