Selasa, 08 Januari 2013

Menata Manajemen Pertanahan


Menata Manajemen Pertanahan
Bambang S Widjanarko ;  Dewan Pendiri
dan Anggota Dewan Pakar LSM Muri Lamtari 
REPUBLIKA,  08 Januari 2013



Berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan UU Pembaruan Agraria (PA), tanah meliputi kulit bumi, termasuk kekayaan alam yang ada di bawah dan ruang angkasa yang ada di atasnya. Tanah adalah aset kunci sumber daya alam (SDA). Dalam praktiknya, tanah dikelola sebagai pelengkap, bukan sebagai kunci dari manajemen SDA. 
Hal ini dapat dipahami jika dilakukan kajian atas status lembaga pengelolanya.

Lembaga setingkat badan bagaimana mungkin dapat berperan sebagai manajemen kunci dengan kewenangan koordinasi yang minim. Manajemen SDA berjalan dan terselenggara tanpa ada koridor atau nakhoda oleh manajemen kunci sehingga konsepsinya berjalan dan terbangun menyimpang dari filosofi bangsa dan terselenggara tanpa efektivitas serta efisiensi.

Secara tanpa sadar, peranan negara dalam manajemen pertanahan telah bermetamorfosa menjadi negara dengan peran sebagai pemilik tanah seperti apa yang pernah dipraktikkan oleh penjajah pada rakyat bumiputra. Saat itu, negara menyelenggarakan manajemen atas tanah dengan `sikap' sebagai pemilik. Penjajah menerapkan politik manajemen pertanahan di mana rakyat bumi- putra dikategorikan sebagai penggarap. Contohnya, saat hak erfach atau ofstal (hak Barat) diterbitkan, rakyat dianggap sebagai penggarap tanah milik negara dan diberikanlah uang ganti rugi sebagai uang ganti garapan. 

Status para bumiputra (saat ini dibaca WNI) adalah kuli/buruh tani. Negara menempatkan diri sebagai pemilik tanah dengan tujuan demi mudahnya pemerintah (negara) menarik investor melakukan investasi di dalam negeri.
Kecenderungan negara sebagai pemilik tanah tecermin dari konsepsi yang diterapkan dalam UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Pengelolaan Kawasan Pesisir, UU Penataan Ruang, dan UU lainnya terkait dengan kawasan yang berkonotasi hak atas tanah. 

Peranan negara sebagai pengatur atau pemegang hak menguasai telah berubah menjadi pemilik tanah. Pada saat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kita temukan juga istilah ganti rugi atas tanah milik yang dibebaskan merupakan cerminan negara sebagai pemilik tanah.

Sikap demikian masih dipraktikkan oleh pemerintah (negara) hingga saat ini dengan istilah lain, tetapi sikap sama, yaitu negara sebagai pemilik tanah. 

Negara mengambil goldenshare hasil penggunaan dan pemanfaatan tanah (tambang dan hutan) untuk devisa atau pendapatan nasional. 
Setelah devisa negara atau pendapatan nasional dibagi-bagikan, antara lain, untuk pembayaran utang luar negeri dan pembangunan, goldenshare untuk pemilik tanah yang sebenarnya tidak tampak jelas atau terbagi secara tidak proporsional. Negara seperti Indonesia akan lebih cendrung bersikap sebagai pemilik tanah karena paham feodalisme masih cukup kuat sebagai jiwanya.

Kolusi atau kongkalikong antara pemerintah dan pemilik modal mudah terjadi.
Penyimpangan konsepsi Awal dari paragraf pertama dikatakan `bermetamorfosa' karena apa yang dipraktikkan oleh manajemen pertanahan Indonesia saat ini tidak disadari (tidak disengaja menyimpang) atau terbentuk secara alamiah. Hanya, bentukan hasil metamorfosanya menyimpang dari kon- sepsi dasar dalam berbangsa dan bernegara Pancasila, UUD 1945, dan UU PA. 

Karena itu, sudah saatnya dilakukan koreksi total dan menyeluruh atas perjalanan bangsa dan negara dalam manajemen pertanahan, baik secara konsepsional maupun operasional. Segera akhiri peran negara sebagai pemilik tanah. Tegaskanlah bahwa rakyatlah pemilik tanah yang sebenarnya. Konsepsi ini jika diterjemahkan secara kontemporer atas Pancasila, UUD 1945, dan UU PA, WNI-lah pemilik tanah yang sebenanya, bukan negara. 

Dengan kata lain, konsepsi manajemen pertanahan Indonesia harus bersih dari praktik penjajah (kolonialisme baju baru) maupun feodalisme dan diubah menjadi berdasarkan hukum adat sebagaimana yang diterjemahkan dari Pancasila, UUD 1945, dan UU PA. Semua peraturan perundangan yang menempatkan negara sebagai pemilik dihapus dan diganti dengan undang-undang pertanahan hasil penerjemahan secara kontemporer makna tanah adat berdasarkan falsafah bangsa dan negara Pancasila, UUD 1945, dan UU PA.

Sudah saatnya para akhli hukum adat dan hukum lainnya duduk bersama praktisi maupun cendekiawan dan politisi bekerja keras membuat undang-undang pertanahan berdasarkan perdata tanah adat. Manajemen pertanahan Indonesia menuntut reorientasi pendekatan dalam operasionalnya. Peranan pemerintah yang dominan segera dilengkapi dengan manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM), yaitu upaya mengakomodasikan pertisipasi masyarakat agar rekonsepsionalisasi menuju Pancasila, UUD 1945, dan UU PA dapat terwujud secara lebih efektif dan efisien. 

Hanya dengan partisipasi masyarakat, sifat buruk feodalisme yang masih ada akan bisa dibersihkan dari bumi Indonesia sekaligus keterbatasan keuangan negara dalam mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) dapat diatasi. Partisipasi masyarakat adalah cerminan dari gotong royong, inti dari Pancasila.

2 komentar: