Manipulasi Tiga
Digit
Arfanda Siregar ; Dosen
Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
|
REPUBLIKA,
08 Januari 2013
Bukan sulap, bukan
sihir. Uang Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.000 dan Rp 1.000 setara Rp 1. Setiap
denominasi (pecahan) mata uang rupiah pasti akan berkurang tiga digit jika
rededominasi diberlakukan di Indonesia.
Rencana redenominasi
hampir pasti diterapkan. Pemerintah bersama DPR tengah mengagendakan
pembahasan RUU redenominasi rupiah sebagai program utama Legislasi Nasional
2013. Menkeu Agus Martowardojo sebagai penanggung jawab program malah sejak
Januari memulai proses sosialisasi, hingga tahun depan uang rededominasi sah
diedarkan.
Bagi masyarakat tak
terlalu penting penerapan redenominasi rupiah karena tak ada kaitannya dengan
peningkatan kesejahteraan mereka. Redenominasi adalah upaya untuk mengubah
penyebutan angka nominal mata uang yang tertera pada mata uang tersebut. Uang
kertas Rp 1.000 akan diganti dengan uang kertas Rp 1. Begitu juga dengan uang
kertas yang lain mengikuti kaidah yang sama.
Jelas, tak ada
korelasi antara peningkatan kesejahteraan rakyat dan penerapan redenominasi.
Redenominasi lebih pas sebagai politik pencitraan pemerintah agar terlihat
lebih berwibawa di tengah kekuatan mata uang negara maju seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Jepang.
Fakta memang
berbicara, mata uang rupiah terjun bebas di hadapan mata uang dollar. Kalau
orang Amerika Serikat bertanya kepada buruh pabrik di DKI Jakarta tentang
jumlah gajinya, orang Amerika pasti berkata, "You are very generous, man." Bagaimana tak terkejut,
Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta itu luar biasa
jika dianalogikan dengan mata uang dolar AS. Padahal, mata uang rupiah jauh
di bawah dolar. Redenominasi membuat rupiah tidak lagi berkasta "junk".
Redenominasi memang
berbeda dengan sanering yang berakibat pada pemotongan nilai mata uang
sekaligus nilai tukar. Misalnya, uang Rp 1.000 yang awalnya dapat digunakan
membeli beras 1 kg, setelah diberlakukan sanering uang Rp 1.000 menjadi setara
Rp 1, tetapi harga barang tetap seperti awal. Sehingga, uang Rp 1 tak sanggup lagi membeli beras 1 kg.
Namun, perlu diingat
bahwa redenominasi bisa jatuh kepada sanering jika pemerintah tak hati-hati,
terutama dalam mengendalikan inflasi. Kita punya pengalaman buruk terhadap
redenominasi rupiah. Tahun 1966, dengan alasan mata uang rupiah terlalu besar
angka nominalnya, pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan redenominasi rupiah
di mana pecahan Rp 1.000 UL (uang lama) ditukar dengan Rp 1 UB (uang baru).
Sama seperti sekarang,
pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa penggantian mata uang ini tidak
memengaruhi harga barang. Tapi, realitasnya tak demikian. Ketika redenominasi
dijalankan harga barang pun turut merangkak naik. Alasannya sederhana,
persepsi dan psikologi masyarakat saat itu tak bisa berubah dan tidak bisa
menerima bahwa Rp 1 UB nilainya sama dengan Rp 1.000 UL.
Pemerintah perlu
mengambil pelajaran dari kegagalan zaman Orba. Kegagalan penerapan
redenominasi justru berdampak sangat buruk bagi rakyat kecil. Sudahlah tak
mendapatkan manfaat ketika penerapan redenominasi berhasil, malah mendapatkan
risiko terburuk ketika redenominasi gagal diterapkan.
Sebenarnya kalau mau jujur. Rendahnya nilai mata uang kita terhadap mata uang
asing disebabkan kegagalan pemerintah menjaga tingkat inflasi. Ketika tahun
1966 pemerintah telah menyetarakan rupiah dengan dolar melalui redenominasi
yang gagal dan berubah menjadi sanering. Namun, setelah 32 tahun, tiga digit
angka yang dihapus tersebut kembali memenuhi rupiah.
Akar masalah utama
jatuhnya mata uang kita adalah karena inflasi. Saya masih ingat ketika tahun
1990-an, ketika 1 dolar AS sama dengan Rp 1.000. Dengan uang Rp 2 juta, saya
sudah bisa membeli seperangkat komputer bermerek terkenal. Namun, pada
tahun 1998, ketika krisis moneter yang disebabkan oleh inflasi gila-gilaan,
semua berubah drastis. Harga komputer bermerek pun merangkak naik hingga
menyentuh kisaran Rp 9 juta.
Inflasi, seperti
tertulis di kitab-kitab ekonomi, bisa disebabkan banyak hal, yakni depresiasi
rupiah, jumlah uang beredar, defisitnya APBN, pemberian kredit perbankan yang
konsumtif, tingginya utang luar negeri, ketergantungan barang impor, dan sebagainya.
Dari sisi jumlah uang yang beredar yang menyebabkan inflasi terjadi,
disebabkan banyaknya uang kertas yang dicetak melebihi cadangan emas yang
melatarbelakangi.
Di pengujung tahun
2012 lalu, sederet fakta seolah memperingati betapa Indonesia rentan terjebak
pada jurang inflasi. Utang Indonesia mencapai Rp 1.944 triliun. Sebagian
besar APBN tersedot untuk anggaran birokrasi dan subsidi salah sasaran,
seperti subsidi energi yang tak tepat sasaran.
Pertumbuhan yang
berada pada angka 6,1 persen, ternyata 70 persen didorong sektor konsumsi
domestik yang sebagian besar bersumber dari impor, sehingga uang yang
dikeluarkan oleh konsumen mengalir ke perusahaan-perusahaan asing yang
berkantor di Indonesia. Dominasi asing mencengkeram di mana-mana,
seperti 74 persen ladang migas milik asing, bahkan porsi kepemilikan investor
asing di pasar saham mencapai 58,37 persen. Jika persoalan ini semua tak juga
diatasi, usaha penyetaraan rupiah kepada mata uang asing hanya semu.
Redenominasi seolah
menjadi solusi atas kesenjangan nilai mata uang rupiah dengan mata uang
lainnya. Dengan penggambaran perbandingan nilai rupiah dengan dolar AS yang
tidak lagi terlalu jauh, seolah menggambarkan nilai rupiah yang menguat dan
stabil, padahal penguatan tersebut adalah penguatan yang semu.
Pemerintah jangan
berspekulasi bahwa masa sekarang berbeda dengan masa awal orba. Siapa yang
bisa menjamin psikologi masyarakat akan stabil ketika redenominasi diterapkan
seketika. Selain itu, fundamental ekonomi kita yang masih keropos yang
mengancam ketahanan ekonomi perlu menjadi pertimbangan serius sebelum
parlemen mengetuk palu pengesahan RUU Redenominasi.
Jangan sampai
mengatakan kepada rakyat bahwa penghilangan tiga digit angka pada rupiah
tidak berisiko bagi kehidupan ekonomi mereka, namun kenyataannya malah
memukul telak kehidupan ekonomi rakyat yang sekarat. Itu sama saja dengan memanipulasi tiga digit pada kehidupan rakyat negeri
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar