Jumat, 11 Januari 2013

Menanti Progresivitas UU Desa


Menanti Progresivitas UU Desa
Didik G Suharto ;  Dosen Administrasi Negara FISIP UNS Surakarta
SUARA MERDEKA,  11 Januari 2013



"Seharusnya UU tentang Desa lebih banyak menawarkan hal baru sebagai upaya mendinamisasikan desa"

KENDATI dorongan dan tekanan dari aparat pemerintahan desa tidak henti-hentinya dilakukan, RUU tentang Desa hingga kini belum juga terselesaikan. Janji dan komitmen sejumlah pejabat eksekutif dan legislatif belum mampu mengegolkan rancangan regulasi yang khusus mengatur desa.

Perjuangan aparat pemerintahan desa untuk menekan pemerintah dan DPR supaya segera menuntaskan regulasi tersebut masih panjang. Kontrol publik, terutama dari elemen desa, tak hanya diperlukan agar pembahasan RUU tidak macet di jalan, mengingat yang tak kalah penting adalah bagaimana agar pasal-pasal yang dihasilkan sesuai dengan kehendak stakeholders di desa.

Sebagai langkah untuk memajukan desa, RUU tentang Desa semestinya berpihak pada desa. Konkretnya, perlu terobosan baru supaya bisa lebih menggerakkan dinamisasi desa.

Sebagaimana regulasi sebelumnya (UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005), RUU tentang Desa masih menempatkan desa sebagai bagian dari pemkab/ pemkot.

Masih terlihat kecenderungan kooptasi terhadap desa pada beberapa aspek. Dominansi supradesa atas desa antara lain tampak dari batasan ruang lingkup. Otonomi desa yang menjadi barometer kemandirian desa untuk mengatur rumah tangga tidak dinyatakan secara tegas dalam rancangan regulasi itu.

Desa masih dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip NKRI.

Persoalannya, hak asal-usul, adat istiadat, dan sosial budaya masyarakat setempat saat ini di kebanyakan daerah sudah tidak eksis akibat implementasi beberapa peraturan yang menghancurkan keragaman desa. Persoalan lain, sistem yang berlaku di negara ini kadang belum mendukung keragaman (kekhasan/ kearifan lokal) desa sehingga otonomi desa yang berbasis keragaman diperkirakan sulit berkembang.

Perlu pula mewaspadai kemungkinan bahwa UU tentang Desa hanya menjadi alat bagi supradesa untuk mengontrol desa. Tekanan-tekanan ke desa —semisal dalam bentuk ancaman dan sanksi dari pemerintah supradesa kepada kades atau anggota BPD yang tidak melaksanakan kewajiban— dapat dimaknai sebagai upaya kontrol berlebihan atas desa.

Materi UU tentang Desa seyogianya tak cuma menuntut desa untuk melakukan sesuatu, tetapi yang tidak kalah penting harus menuntut pemerintah supradesa untuk memberikan akses sumber daya atau fasilitasi kepada desa.

Contoh dalam perencanaan pembangunan, pemerintahan desa dituntut menyusun RPJM desa dan RKP desa sejak dari dusun. Sementara dalam hal pelaksanaan pembangunan, pemerintahan desa dituntut melibatkan seluruh potensi masyarakat. Para penyusun regulasi hendaknya tidak lupa bahwa selama ini desa tak mempunyai cukup kemampuan untuk melaksanakan pembangunan. Rencana pembangunan yang disusun desa sering tereliminasi akibat keminiman kemampuan pendanaan di desa.
Harus pula mewaspadai kemungkinan bahwa UU tentang Desa memberikan terlalu banyak ‘’cek kosong’’ kepada pemerintah untuk mengatur desa dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Hal itu bisa saja terjadi bila materi dalam undang-undang terlalu umum atau sama sekali tidak mengatur hal itu.  

Anggaran Desa

Seharusnya UU tentang Desa banyak menawarkan hal baru sebagai upaya mendinamisasikan desa. Isu-isu dalam aturan lama yang bermasalah perlu ditata ulang, semisal perbaikan aturan mengenai konstruksi lembaga badan permusyawaratan desa (BPD). Harapan untuk mewujudkan lembaga BPD yang berdaya sulit dicapai jika komposisi keanggotaan dan tugas/wewenang BPD tidak jauh berbeda dari ketentuan terdahulu.

Demikian pula mengenai pendapatan desa. Desa tidak sepantasnya terlalu dipaksa untuk mengeksplorasi potensi yang sejak awal memang terbatas. Pada sisi lain, pemerintah supradesa tidak boleh menghindar dari kewajibannya men-support anggaran bagi desa.

Namun ada beberapa hal baru yang perlu terus didorong, semisal ketentuan mengenai penataan desa. Penataan desa yang mencakup pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status desa, sangat diperlukan karena dalam kenyataannya banyak desa tidak berdaya akibat tidak memiliki kapasitas dan potensi memadai. Implementasi atas persoalan tersebut memerlukan konsistensi tinggi.

Juga pengaturan mengenai musyawarah desa, yang memang penting untuk menjamin aspirasi masyarakat. Tetapi yang perlu dipikirkan bagaimana keefektivitasannya?  Persoalan pembangunan desa selama ini terletak pada ketersediaan anggaran.

Undang-undang tentang desa diharapkan mampu membawa perubahan signifikan bagi kemajuan desa. Untuk itu, DPR perlu kritis dan memiliki semangat keberpihakan pada desa.

Apabila tak ada pasal-pasal yang mampu mendinamisasikan desa berarti masa depan desa yang cerah masih menjadi tanda tanya besar. Bagaimanapun saat ini desa memerlukan regulasi progresif guna mendongkrak ketertinggalannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar