Menanti
Progresivitas UU Desa
Didik G Suharto ; Dosen Administrasi Negara FISIP UNS Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 11 Januari 2013
"Seharusnya
UU tentang Desa lebih banyak menawarkan hal baru sebagai upaya
mendinamisasikan desa"
KENDATI dorongan dan tekanan dari aparat
pemerintahan desa tidak henti-hentinya dilakukan, RUU tentang Desa hingga
kini belum juga terselesaikan. Janji dan komitmen sejumlah pejabat eksekutif
dan legislatif belum mampu mengegolkan rancangan regulasi yang khusus
mengatur desa.
Perjuangan aparat pemerintahan desa untuk
menekan pemerintah dan DPR supaya segera menuntaskan regulasi tersebut masih
panjang. Kontrol publik, terutama dari elemen desa, tak hanya diperlukan agar
pembahasan RUU tidak macet di jalan, mengingat yang tak kalah penting adalah
bagaimana agar pasal-pasal yang dihasilkan sesuai dengan kehendak
stakeholders di desa.
Sebagai langkah untuk memajukan desa, RUU
tentang Desa semestinya berpihak pada desa. Konkretnya, perlu terobosan baru
supaya bisa lebih menggerakkan dinamisasi desa.
Sebagaimana regulasi sebelumnya (UU Nomor
32 Tahun 2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005), RUU tentang Desa masih menempatkan
desa sebagai bagian dari pemkab/ pemkot.
Masih terlihat kecenderungan kooptasi
terhadap desa pada beberapa aspek. Dominansi supradesa atas desa antara lain
tampak dari batasan ruang lingkup. Otonomi desa yang menjadi barometer
kemandirian desa untuk mengatur rumah tangga tidak dinyatakan secara tegas
dalam rancangan regulasi itu.
Desa masih dianggap sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat
istiadat, dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip NKRI.
Persoalannya, hak asal-usul, adat istiadat,
dan sosial budaya masyarakat setempat saat ini di kebanyakan daerah sudah
tidak eksis akibat implementasi beberapa peraturan yang menghancurkan
keragaman desa. Persoalan lain, sistem yang berlaku di negara ini kadang
belum mendukung keragaman (kekhasan/ kearifan lokal) desa sehingga otonomi
desa yang berbasis keragaman diperkirakan sulit berkembang.
Perlu pula mewaspadai kemungkinan bahwa UU
tentang Desa hanya menjadi alat bagi supradesa untuk mengontrol desa.
Tekanan-tekanan ke desa —semisal dalam bentuk ancaman dan sanksi dari
pemerintah supradesa kepada kades atau anggota BPD yang tidak melaksanakan
kewajiban— dapat dimaknai sebagai upaya kontrol berlebihan atas desa.
Materi UU tentang Desa seyogianya tak cuma
menuntut desa untuk melakukan sesuatu, tetapi yang tidak kalah penting harus
menuntut pemerintah supradesa untuk memberikan akses sumber daya atau
fasilitasi kepada desa.
Contoh dalam perencanaan pembangunan,
pemerintahan desa dituntut menyusun RPJM desa dan RKP desa sejak dari dusun.
Sementara dalam hal pelaksanaan pembangunan, pemerintahan desa dituntut
melibatkan seluruh potensi masyarakat. Para penyusun regulasi hendaknya tidak
lupa bahwa selama ini desa tak mempunyai cukup kemampuan untuk melaksanakan
pembangunan. Rencana pembangunan yang disusun desa sering tereliminasi akibat
keminiman kemampuan pendanaan di desa.
Harus pula mewaspadai kemungkinan bahwa UU
tentang Desa memberikan terlalu banyak ‘’cek kosong’’ kepada pemerintah untuk
mengatur desa dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Hal
itu bisa saja terjadi bila materi dalam undang-undang terlalu umum atau sama
sekali tidak mengatur hal itu.
Anggaran
Desa
Seharusnya UU tentang Desa banyak
menawarkan hal baru sebagai upaya mendinamisasikan desa. Isu-isu dalam aturan
lama yang bermasalah perlu ditata ulang, semisal perbaikan aturan mengenai
konstruksi lembaga badan permusyawaratan desa (BPD). Harapan untuk mewujudkan
lembaga BPD yang berdaya sulit dicapai jika komposisi keanggotaan dan tugas/wewenang
BPD tidak jauh berbeda dari ketentuan terdahulu.
Demikian pula mengenai pendapatan desa.
Desa tidak sepantasnya terlalu dipaksa untuk mengeksplorasi potensi yang
sejak awal memang terbatas. Pada sisi lain, pemerintah supradesa tidak boleh
menghindar dari kewajibannya men-support anggaran bagi desa.
Namun ada beberapa hal baru yang perlu
terus didorong, semisal ketentuan mengenai penataan desa. Penataan desa yang
mencakup pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status desa,
sangat diperlukan karena dalam kenyataannya banyak desa tidak berdaya akibat
tidak memiliki kapasitas dan potensi memadai. Implementasi atas persoalan
tersebut memerlukan konsistensi tinggi.
Juga pengaturan mengenai musyawarah desa,
yang memang penting untuk menjamin aspirasi masyarakat. Tetapi yang perlu
dipikirkan bagaimana keefektivitasannya? Persoalan pembangunan desa
selama ini terletak pada ketersediaan anggaran.
Undang-undang tentang desa diharapkan mampu
membawa perubahan signifikan bagi kemajuan desa. Untuk itu, DPR perlu kritis
dan memiliki semangat keberpihakan pada desa.
Apabila tak ada pasal-pasal yang mampu
mendinamisasikan desa berarti masa depan desa yang cerah masih menjadi tanda
tanya besar. Bagaimanapun saat ini desa memerlukan regulasi progresif guna
mendongkrak ketertinggalannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar