Filosofi Semut
Andi
Toto Suparto ; Pengkaji Etika, Tinggal di Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 11 Januari 2013
TATKALA salah satu stasiun televisi
(07/01/13) menayangkan informasi dari pejabat KPK yang mengatakan Andi
Alifian Mallarangeng bakal diperiksa Jumat ini, saya sedang membinasakan
segerombolan semut yang menghitam di pojok ruangan. Semut itu bergotong
royong membopong sisa makanan. Mereka bahu-membahu demi menikmati makanan
itu. Tak ada yang berebut, malah saling berbagi.
Saya tercenung
mengamati gerombolan semut itu, tiba-tiba melintas dalam pikiran
jangan-jangan ”Andi Mallarangeng” ada dalam gerombolan itu. Dulu, saat
belajar biologi, disebutkan semut punya sifat lebih mendahulukan kepentingan
bersama ketimbang kepentingan pribadi.
Ketika
sekawanan semut pekerja mencari makan, semut terdepan rela berkorban demi
kepentingan kawanannya itu. Bila jalan berlubang, tubuh semut terdepan ‘’menambal’’
lubang itu sehingga urutan belakangnya bisa lewat. Bila seekor semut belum
cukup, semut berikutnya rela pasang badan sehingga jalanan tak lagi
berlubang.
Saya
berprasangka buruk, jangan-jangan Andi bakal merelakan diri pasang badan bagi
‘’semut’’ yang lain. Ia rela sakit menjadi tersangka, asalkan kawanannya
tetap berkesan bersih
Pasang badan?
Kasus terkait sang tersangka korupsi itu menimbulkan tafsir bahwa pasang
badan adalah,’’ menyalahkan diri sendiri, pantang menyebut keterlibatan orang
lain”.
Seandainya mau
menelusuri dari kamus ke kamus, sejatinya arti dari pasang badan adalah
”mengalami hukuman di penjara” (Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2001, hal 833).
Begitupun Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991) dan Kamus Umum Bahasa
Indonesia (2005) yang mendefinisikan ‘’menjalani hukuman (di
penjara)”
Tafsir dan
definisi bisa berbeda, namanya juga idiom. Kata Kridalaksana (2001), idiom
merupakan konstruksi yang bermakna tidak sama dengan gabungan makna
anggota-anggotanya. Semut yang bersedia pasang badan juga berisiko menjadi
atau dijadikan kambing hitam.
Adalah filsuf
Rene Girard yang mengintroduksi ‘’kambing hitam’’. Dia bilang, kambing hitam
adalah korban dari pengalihan agresi rivalitas. Bukan lagi rahasia bahwa
parpol penuh rivalitas macam itu. Rivalitas tak sehat harus dibuang dari
tubuh parpol itu. Cara yang lazim adalah mengalihkan agresi rivalitas kepada
”musuh bersama”. Kemudian, kekuatan agresi tadi dipakai menyerang ”musuh
bersama”..
Maka, kata
Girard, semua orang mengerahkan permusuhannya kepada kambing hitam yang
mereka pilih secara sewenang-wenang. Jadi, sebuah kawanan dipulihkan dari
kehancuran, dan agresi internal berubah pulih menjadi saling toleran menuju
kedamaian. Karena itulah kambing hitam punya posisi unik, ia tampak sebagai
terkutuk sekaligus pembawa keselamatan.
Bayang-bayang Kekhawatiran
Kini, yang
menjadi mengkhawatirkan adalah bila sang tersangka korupsi menerapkan
filosofi semut dengan siap pasang badan dan rela menjadi kambing hitam.
Kekhawatiran pertama; korupsi upeti dan korupsi kontrak (versi Yves Meny,
1992) kian sulit dibongkar. Kedua; praktik mekanisme silih, menjadi
diabaikan.
Dari ciri
struktural, korupsi upeti merupakan bentuk korupsi karena jabatan strategis.
Lantaran jabatan strategis itu seseorang memperoleh bagian dari berbagai
proyek, termasuk jasa dari suatu perkara. Adapun korupsi kontrak terkait
dengan usaha memperoleh fasilitas pemerintah dengan cara nonprosedural,
termasuk me-mark-up.
Kedua; bentuk
korupsi ini bukan hasil pekerjaan individu melainkan kolektif. Ada pihak lain
membantu atau dibantu. Bentuk korupsi berkelindan dengan kekuasaan. Mereka
yang memegang tampuk kekuasaan memiliki banyak akses. Justru akses itu
menjadi pintu masuk korupsi upeti atau korupsi kontrak. Karena itu, jika ada
salah satu pihak diperiksa, sangat memungkinkan kerja kolektif itu bisa
dibongkar. Namun bila pihak yang diperiksa itu hanya bungkam demi pasang
badan maka kerja kolektif itu pun sulit dibongkar.
Selain teori
Yves, dalam korupsi dikenal istilah mekanisme silih. Semisal uang korupsi
tidak dimakan sendiri tetapi juga dinikmati pihak lain, entah demi
kepentingan partai, membantu korban bencana dan sebagainya. Mekanisme silih
ini guna meringankan ”beban dosa”. Seandainya uang korupsi mengalir ke kas
partai, si koruptor merasa ringan karena sebagian tanggung jawab ada pada
partai.
Sekali lagi,
kalau lagi-lagi bungkam demi pasang badan maka mekanisme silih itu berarti
diabaikan. Kita tak bisa tahu ke mana larinya uang korupsi itu karena
tanggung jawab bersama direlakan menjadi tanggung jawab sendirian.
Tetapi untuk
Andi Alifian Mallarangeng, publik masih punya harapan karena ia berjanji
membantu KPK menuntaskan skandal Hambalang. Kalau ia menepati janji,
terwujudlah keinginan KPK menjerat tersangka lain. Pun KPK menyatakan,’’ Andi
bukanlah tersangka terakhir” Saya yakin, Andi pasti enggan menjadi semut,
apalagi kambing hitam. Mudah-mudahan dalam pemeriksaan kali ini mantan
Menpora itu menepati janji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar