DISKUSI PANEL “MENYUSUN
KONSENSUS BARU”
Buruh dan
Negara Kesejahteraan
|
KOMPAS,
08 Januari 2013
Ketika ribuan buruh
berunjuk rasa, yang muncul adalah kecemasan masyarakat dan pengusaha. Hal itu
sangat wajar karena ada beberapa aksi yang merugikan kepentingan umum.
Trauma masyarakat tak
sedikit juga kadang membuka kembali ketakutan lama begitu melihat aksi massa.
Akan tetapi,
perubahan-perubahan gerakan buruh sendiri sepertinya telah jauh dari sekadar
gerakan untuk menakut-nakuti. Mereka bisa menjadi pilar konsensus baru bagi
negeri ini. Setidaknya apa yang terjadi di Brasil bisa menjadi contoh.
Gerakan buruh sepertinya
memasuki babak baru. Mereka mampu melakukan komunikasi dan konsolidasi dengan
sesama buruh. Isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama bisa digulirkan
melibatkan berbagai organisasi buruh. Konsolidasi gerakan, dari semula
gerakan dukungan untuk pembentukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional,
bergulir ke persoalan hak asasi dan pelanggaran hukum.
Proses di dalam pembahasan
UU Sistem Jaminan Sosial Nasional itu sendiri termasuk memberi andil bagi
gerakan buruh. Usulan-usulan mereka hingga keseriusan pemerintah dalam
pembahasan itu menjadikan mereka percaya diri. Kemudian muncullah gerakan
yang menentang alih daya. Buruh sendiri menyebut gerakan ini sebagai gerakan
melawan perbudakan. Meski memperjuangkan penghapusan alih daya, para buruh
yang bergerak adalah semua buruh, termasuk yang bukan buruh alih daya.
Solidaritas mereka begitu
kuat. Masalah satu buruh di satu perusahaan menjadi masalah seluruh buruh.
Keberadaan teknologi komunikasi dan media sosial mempercepat komunikasi di
antara mereka. Di sinilah buruh berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi
untuk memperkuat solidaritas dan komunikasi. Hanya dengan menulis di media
sosial, ribuan buruh bisa dikumpulkan dalam sesaat.
Gerakan buruh tengah
mencari bentuk dan memperkuat diri. Gerakan ini menjadi menarik ketika
kekuatan-kekuatan politik yang ada tidak memberi alternatif baru. Partai
politik juga tidak bisa diandalkan karena cenderung pragmatis dan tidak
sedikit politisinya malah berperilaku koruptif. Tingkat kepercayaan terhadap
partai politik juga sangat rendah. Untuk itulah, pemikiran bahwa gerakan
buruh bisa menjadi pilar dalam konsensus baru menjadi relevan.
Gerakan buruh muncul
sebagai satu kekuatan alternatif yang memiliki pendekatan berbeda. Gerakan
mereka menuntut adanya redistribusi kekayaan. Hal ini senada dengan salah
satu isu dalam konsensus baru, yaitu mengurangi ketimpangan. Meski demikian,
kalangan buruh menyadari arah ke depan dari gerakan-gerakan ini belum jelas
betul. Akan tetapi, modal berupa kekuatan konsolidasi antarorganisasi buruh,
kemampuan bernegosiasi, dan kepemimpinan sangat memadai.
Aktivis buruh juga telah
melakukan kajian tentang peran politik mereka. Mereka mempelajari kisah
sukses orang-orang yang terjun ke politik dengan biaya murah, tetapi mampu
membawa perubahan. Keberhasilan-keberhasilan kecil mereka menjadikan
kepercayaan aktivis buruh meningkat.
Upaya-upaya ini tidak
otomatis membawa kalangan buruh buru-buru ingin masuk ke kancah politik
praktis. Hal yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa menjadi agen
atau kelompok perubahan paradigma dalam bernegara. Gerakan buruh di Brasil
menjadi contoh. Gerakan mereka bukan sekadar menjadikan pemimpin buruh, Luiz
Inácio Lula da Silva, menjadi Presiden 2002-2010. Lebih dari itu, gerakan
buruh Brasil menjadi contoh bagaimana kalangan buruh mendorong paradigma
negara kesejahteraan.
Salah satu keberhasilan
Lula da Silva adalah membuat kesepakatan antara pengusaha, buruh, dan
pemerintah. Dalam konteks ini, penguasa kalau mempunyai kehendak akan mampu
mempertemukan semua pihak terkait dan akhirnya bisa melahirkan konsensus.
Lula mampu membuat program perlindungan sosial, pengelolaan dana pensiun, dan
mengelola ekonomi makro.
Sebuah pertanyaan, apakah
buruh di Indonesia bisa berperan seperti di Brasil?
Kritik terhadap buruh di
Indonesia, mereka harus tampil simpatik sehingga prasangka atas buruh hilang.
Investor dan pengusaha mencemaskan cara-cara buruh. Persoalan latar belakang
buruh dengan segala aktivitasnya juga menjadi tolok ukur keberhasilan buruh
di Indonesia untuk berperan lebih jauh.
Serikat buruh tidak akan
maju apabila diisi dengan orang-orang yang punya masalah pada masa lalu dan
menggiring anggotanya untuk kepentingan sesaat. Di samping itu, cara-cara
yang terkadang memunculkan kekerasan pun membuat takut pengusaha.
Gerakan buruh yang ada
juga harus dilihat sebagai gerakan alternatif setelah partai politik tidak
banyak bisa dipercaya. Lembaga lainnya, seperti institusi pendidikan, juga
banyak yang mandul dan LSM banyak yang kolaps. Buruh mengiur untuk
keberlangsungan organisasi.
Gerakan buruh harus
dilihat sebagai modal sosial yang menjadi penyeimbang bagi kekuatan-kekuatan
yang membusuk. Ketika kekuatan negara tidak hadir dan partai politik
melempem, gerakan buruh bisa tampil.
Kekuatan buruh akan makin
kokoh apabila industrinya juga kokoh. Saat ini industri manufaktur hanya
menyerap 13,3 persen tenaga kerja. Itu pun sebagian besar adalah industri
kecil. Persoalan mendasar ini, yaitu mengokohkan industri manufaktur,
sepertinya harus menjadi konsensus lebih dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar