Selasa, 08 Januari 2013

Buruh dan Negara Kesejahteraan


DISKUSI PANEL “MENYUSUN KONSENSUS BARU”
Buruh dan Negara Kesejahteraan
KOMPAS,  08 Januari 2013



Ketika ribuan buruh berunjuk rasa, yang muncul adalah kecemasan masyarakat dan pengusaha. Hal itu sangat wajar karena ada beberapa aksi yang merugikan kepentingan umum.
Trauma masyarakat tak sedikit juga kadang membuka kembali ketakutan lama begitu melihat aksi massa.
Akan tetapi, perubahan-perubahan gerakan buruh sendiri sepertinya telah jauh dari sekadar gerakan untuk menakut-nakuti. Mereka bisa menjadi pilar konsensus baru bagi negeri ini. Setidaknya apa yang terjadi di Brasil bisa menjadi contoh.
Gerakan buruh sepertinya memasuki babak baru. Mereka mampu melakukan komunikasi dan konsolidasi dengan sesama buruh. Isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama bisa digulirkan melibatkan berbagai organisasi buruh. Konsolidasi gerakan, dari semula gerakan dukungan untuk pembentukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, bergulir ke persoalan hak asasi dan pelanggaran hukum.
Proses di dalam pembahasan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional itu sendiri termasuk memberi andil bagi gerakan buruh. Usulan-usulan mereka hingga keseriusan pemerintah dalam pembahasan itu menjadikan mereka percaya diri. Kemudian muncullah gerakan yang menentang alih daya. Buruh sendiri menyebut gerakan ini sebagai gerakan melawan perbudakan. Meski memperjuangkan penghapusan alih daya, para buruh yang bergerak adalah semua buruh, termasuk yang bukan buruh alih daya.
Solidaritas mereka begitu kuat. Masalah satu buruh di satu perusahaan menjadi masalah seluruh buruh. Keberadaan teknologi komunikasi dan media sosial mempercepat komunikasi di antara mereka. Di sinilah buruh berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memperkuat solidaritas dan komunikasi. Hanya dengan menulis di media sosial, ribuan buruh bisa dikumpulkan dalam sesaat.
Gerakan buruh tengah mencari bentuk dan memperkuat diri. Gerakan ini menjadi menarik ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada tidak memberi alternatif baru. Partai politik juga tidak bisa diandalkan karena cenderung pragmatis dan tidak sedikit politisinya malah berperilaku koruptif. Tingkat kepercayaan terhadap partai politik juga sangat rendah. Untuk itulah, pemikiran bahwa gerakan buruh bisa menjadi pilar dalam konsensus baru menjadi relevan.
Gerakan buruh muncul sebagai satu kekuatan alternatif yang memiliki pendekatan berbeda. Gerakan mereka menuntut adanya redistribusi kekayaan. Hal ini senada dengan salah satu isu dalam konsensus baru, yaitu mengurangi ketimpangan. Meski demikian, kalangan buruh menyadari arah ke depan dari gerakan-gerakan ini belum jelas betul. Akan tetapi, modal berupa kekuatan konsolidasi antarorganisasi buruh, kemampuan bernegosiasi, dan kepemimpinan sangat memadai.
Aktivis buruh juga telah melakukan kajian tentang peran politik mereka. Mereka mempelajari kisah sukses orang-orang yang terjun ke politik dengan biaya murah, tetapi mampu membawa perubahan. Keberhasilan-keberhasilan kecil mereka menjadikan kepercayaan aktivis buruh meningkat.
Upaya-upaya ini tidak otomatis membawa kalangan buruh buru-buru ingin masuk ke kancah politik praktis. Hal yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa menjadi agen atau kelompok perubahan paradigma dalam bernegara. Gerakan buruh di Brasil menjadi contoh. Gerakan mereka bukan sekadar menjadikan pemimpin buruh, Luiz Inácio Lula da Silva, menjadi Presiden 2002-2010. Lebih dari itu, gerakan buruh Brasil menjadi contoh bagaimana kalangan buruh mendorong paradigma negara kesejahteraan.
Salah satu keberhasilan Lula da Silva adalah membuat kesepakatan antara pengusaha, buruh, dan pemerintah. Dalam konteks ini, penguasa kalau mempunyai kehendak akan mampu mempertemukan semua pihak terkait dan akhirnya bisa melahirkan konsensus. Lula mampu membuat program perlindungan sosial, pengelolaan dana pensiun, dan mengelola ekonomi makro.
Sebuah pertanyaan, apakah buruh di Indonesia bisa berperan seperti di Brasil?
Kritik terhadap buruh di Indonesia, mereka harus tampil simpatik sehingga prasangka atas buruh hilang. Investor dan pengusaha mencemaskan cara-cara buruh. Persoalan latar belakang buruh dengan segala aktivitasnya juga menjadi tolok ukur keberhasilan buruh di Indonesia untuk berperan lebih jauh.
Serikat buruh tidak akan maju apabila diisi dengan orang-orang yang punya masalah pada masa lalu dan menggiring anggotanya untuk kepentingan sesaat. Di samping itu, cara-cara yang terkadang memunculkan kekerasan pun membuat takut pengusaha.
Gerakan buruh yang ada juga harus dilihat sebagai gerakan alternatif setelah partai politik tidak banyak bisa dipercaya. Lembaga lainnya, seperti institusi pendidikan, juga banyak yang mandul dan LSM banyak yang kolaps. Buruh mengiur untuk keberlangsungan organisasi.
Gerakan buruh harus dilihat sebagai modal sosial yang menjadi penyeimbang bagi kekuatan-kekuatan yang membusuk. Ketika kekuatan negara tidak hadir dan partai politik melempem, gerakan buruh bisa tampil.
Kekuatan buruh akan makin kokoh apabila industrinya juga kokoh. Saat ini industri manufaktur hanya menyerap 13,3 persen tenaga kerja. Itu pun sebagian besar adalah industri kecil. Persoalan mendasar ini, yaitu mengokohkan industri manufaktur, sepertinya harus menjadi konsensus lebih dulu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar