Asas Legalitas
Ijazah Perguruan Tinggi
|
SUARA
MERDEKA, 22 Januari 2013
"Mendikbud akan
mencabut gelar profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi atau prodi yang
tidak terakreditasi"
PENGELOLA perguruan tinggi, dan juga pemerintah, harus menyikapi dan menindaklanjuti terkait dengan implikasi setelah pemerintah menetapkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Penyikapan dan tindak lanjut itu menyangkut berbagai aspek, dari manajemen pendidikan, praktik good and clean university governance, penetapan biaya yang tidak memberatkan mahasiswa, hingga aspek yang langsung berimplikasi hukum.
Tulisan ini
fokus pada tema mengapa ijazah bisa (dianggap) ilegal, tidak sah, melanggar
hukum, dan adanya sanksi pidana tanpa delik aduan. Selain itu, membahas
bagaimana ijazah, termasuk sertifikat, yang ditetapkan oleh perguruan tinggi
merupakan output, yang bisa saja dianggap ilegal.
Pasal 28 (3)
UU PT menyatakan bahwa gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah
dan dicabut oleh Mendibdud bila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/ atau
prodi yang tidak terakreditasi; perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar
vokasi.
Ayat 4
regulasi itu menyebutkan bahwa gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut
oleh Mendikbud bila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/ atau prodi yang
tidak terakreditasi; perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa
hak mengeluarkan gelar profesi.
Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan gelar akademik dan gelar vokasi adalah ijazah
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 Ayat (1) UU PT.
Pasal itu
menyebutkan bahwa ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan
pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/ atau
penyelesaian suatu prodi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi. Pasal itu makin memperjelas bahwa ijazah yang ditetapkan/ dikeluarkan
oleh perguruan tinggi dinyatakan tidak sah bila perguruan tinggi dan prodi
tersebut tidak berstatus akreditasi.
Seandainya
hanya salah satu yang tidak berstatus terakreditasi, apakah itu perguruan
tinggi atau hanya prodi maka ijazah itu dianggap tetap tidak sah (ilegal).
Dengan demikian, publik bisa menyimpulkan bahwa suatu perguruan tinggi,
universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau bentuk yang lain, baik
institusi maupun prodinya, wajib berstatus akreditasi.
BAN PT
dan LAM
Bagaimana
memperoleh status akreditasi? Pasal 55 Ayat (4) UU PT menyebutkan akreditasi
dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Ayat (5)
regulasi yang sama menyebutkan akreditasi prodi adalah bentuk akuntabilitas
publik oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM).
Hingga saat
ini akreditasi perguruan tinggi ataupun prodi dilakukan oleh BAN PT. Sesuai
dengan ketentuan peralihan dalam UU PT, Pasal 95 menyatakan bahwa sebelum
terbentuk lembaga akreditasi mandiri, akreditasi prodi tetap dilakukan oleh
BAN PT. Hingga saat ini memang belum ada satu pun lembaga akreditasi mandiri.
Lantas
bagaimana ''mendirikan'' lembaga akreditasi mandiri (LAM)? Pasal 55 Ayat (6)
UU PT menyatakan LAM merupakan bentukan pemerintah atau masyarakat yang
diakui oleh pemerintah atas rekomendasi BAN PT. Lembaga akreditasi mandiri
itu dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/ atau cabang ilmu, serta bisa
berdasarkan kewilayahan.
Berdasarkan
dua ayat itu, publik bisa menyimpulkan pada masa mendatang ada banyak lembaga
akreditasi mandiri, dan berjumlah sebanyak rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu
sesuai dengan isi Pasal 10 UU PT. Pemerintah bisa mengakui atau menetapkan
sebuah LAM berdasar wilayah, atau menganggap belum saatnya membentuk/
mengakui lembaga itu berdasar wilayah pula.
Lembaga
akreditasi mandiri belum bisa terwujud menunggu sampai ditetapkannya
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang mengatur tiga
hal pokok, yaitu tentang akreditasi, BAN PT, dan LAM. Ini sesuai dengan isi
UU tentang Perguruan Tinggi, lebih spesifik lagi bila merujuk Pasal 55 Ayat
(8).
Implikasi
penting yang lain dari UU PT ini adalah adanya sanksi pidana sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 93. Hal ini perlu penyikapan dari pengelola perguruan
tinggi, universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, dan sebagainya.
Pasalnya, regulasi itu menyebut bahwa perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan tinggi yang melanggar Pasal 28 Ayat (6) atau Ayat
(7), Pasal 42 Ayat (4), Pasal 43 Ayat (3), Pasal 44 Ayat (4), Pasal 60 Ayat
(2), dan Pasal 90 Ayat (4) bisa dipidana dengan hukuman penjara paling lama
10 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Khusus sanksi
yang berkaitan dengan Pasal 42 Ayat (4), Pasal 43 Ayat (3). dan Pasal 44 Ayat
(4) langsung berhubungan dengan perguruan tinggi dalam kapasitas sebagai
penyelenggara pendidikan tinggi. Sanksi ini bukan delik aduan sehingga jika
objek hukum tidak dapat memenuhi regulasi tersebut maka sanksi bisa langsung
dikenakan kepadanya.
Implikasi lain
yakni kewajiban kepada perguruan tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 2
tahun harus segera menyesuaikan diri dengan semua ketentuan dalam UU Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar