Selasa, 22 Januari 2013

Asas Legalitas Ijazah Perguruan Tinggi


Asas Legalitas Ijazah Perguruan Tinggi
Muchamad Syafruddin ;  Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
SUARA MERDEKA, 22 Januari 2013



"Mendikbud akan mencabut gelar profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi atau prodi yang tidak terakreditasi"

PENGELOLA perguruan tinggi, dan juga pemerintah, harus menyikapi dan menindaklanjuti terkait dengan implikasi setelah pemerintah menetapkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Penyikapan dan tindak lanjut itu menyang­kut berbagai aspek, dari manajemen pendidikan, praktik good and clean university governance, penetapan biaya yang tidak memberatkan mahasiswa, hingga aspek yang langsung berimplikasi hukum.

Tulisan ini fokus pada tema mengapa ijazah bisa (dianggap) ilegal, tidak sah, melanggar hukum, dan adanya sanksi pidana tanpa delik aduan. Selain itu, membahas bagaimana ijazah, termasuk sertifikat, yang ditetapkan oleh perguruan tinggi merupakan output, yang bisa saja dianggap ilegal.

Pasal 28 (3) UU PT menyatakan bahwa gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Mendibdud bila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/ atau prodi yang tidak terakreditasi; perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi.
Ayat 4 regulasi itu menyebutkan bahwa gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Mendikbud bila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/ atau prodi yang tidak terakreditasi; perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan gelar akademik dan gelar vokasi adalah ijazah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 Ayat (1) UU PT. 
Pasal itu menyebutkan bahwa ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/ atau penyelesaian suatu prodi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pasal itu makin memperjelas bahwa ijazah yang ditetapkan/ dikeluarkan oleh perguruan tinggi dinyatakan tidak sah bila perguruan tinggi dan prodi tersebut tidak berstatus akreditasi.

Seandainya hanya salah satu yang tidak berstatus terakreditasi, apakah itu perguruan tinggi atau hanya prodi maka ijazah itu dianggap tetap tidak sah (ilegal). Dengan demikian, publik bisa menyimpulkan bahwa suatu perguruan tinggi, universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, atau bentuk yang lain, baik institusi maupun prodinya, wajib berstatus akreditasi.

BAN PT dan LAM

Bagaimana memperoleh status akreditasi? Pasal 55 Ayat (4) UU PT menyebutkan akreditasi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Ayat (5) regulasi yang sama menyebutkan akreditasi prodi adalah bentuk akuntabilitas publik oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM).

Hingga saat ini akreditasi perguruan tinggi ataupun prodi dilakukan oleh BAN PT. Sesuai dengan ketentuan peralihan dalam UU PT, Pasal 95 menyatakan bahwa sebelum terbentuk lembaga akreditasi mandiri, akreditasi prodi tetap dilakukan oleh BAN PT. Hingga saat ini memang belum ada satu pun lembaga akreditasi mandiri.

Lantas bagaimana ''mendirikan'' lembaga akreditasi mandiri (LAM)? Pasal 55 Ayat (6) UU PT menyatakan LAM  merupakan bentukan pemerintah atau masyarakat yang diakui oleh pemerintah atas rekomendasi BAN PT. Lembaga akreditasi mandiri itu dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/ atau cabang ilmu, serta bisa berdasarkan kewilayahan.

Berdasarkan dua ayat itu, publik bisa menyimpulkan pada masa mendatang ada banyak lembaga akreditasi mandiri, dan berjumlah sebanyak rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu sesuai dengan isi Pasal 10 UU PT. Pemerintah bisa mengakui atau menetapkan sebuah LAM berdasar wilayah, atau menganggap belum saatnya membentuk/ mengakui lembaga itu berdasar wilayah pula.

Lembaga akreditasi mandiri belum bisa terwujud menunggu sampai ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang mengatur tiga hal pokok, yaitu tentang akreditasi, BAN PT, dan LAM. Ini sesuai dengan isi UU tentang Perguruan Tinggi, lebih spesifik lagi bila merujuk Pasal 55 Ayat (8).
Implikasi penting yang lain dari UU PT ini adalah adanya sanksi pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 93. Hal ini perlu penyikapan dari pengelola perguruan tinggi, universitas, institut, sekolah tinggi, aka­demi, dan sebagainya. Pasalnya, regulasi itu menyebut bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang melanggar Pasal 28 Ayat (6) atau Ayat (7), Pasal 42 Ayat (4), Pasal 43 Ayat (3), Pasal 44 Ayat (4), Pasal 60 Ayat (2), dan Pasal 90 Ayat (4) bisa dipidana dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Khusus sanksi yang berkaitan dengan Pasal 42 Ayat (4), Pasal 43 Ayat (3). dan Pasal 44 Ayat (4) langsung berhubungan dengan perguruan tinggi dalam kapasitas sebagai penyelenggara pendidikan tinggi. Sanksi ini bukan delik aduan sehingga jika objek hukum tidak dapat memenuhi regulasi tersebut maka sanksi bisa langsung dikenakan kepadanya.

Implikasi lain yakni kewajiban kepada perguruan tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun harus segera menyesuaikan diri dengan semua ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar