Jumat, 04 Januari 2013

Kapasitas Produksi Desa


Kapasitas Produksi Desa
Helmy Faishal Zaini ; Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal
MEDIA INDONESIA,  03 Januari 2013



BANGGA menjadi bangsa Indonesia. Mungkin itu yang terasa di hati semua yang hadir, yang notabene merupakan orang-orang penting negeri ini, menteri dan pejabat negara lainnya, pengusaha, dan sejumlah tokoh masyarakat ketika mendengarkan presentasi McKinsey Global Institute (MGI) pada launching dan penyamaan visi ekonomi Indonesia yang diselenggarakan Komite Ekonomi Nasional (KEN) beberapa pekan lalu di Jakarta.
Presentasi MGI tidak hanya memukau dan menggetarkan, tetapi juga mampu mengukuhkan semangat kebangsaan. Secara pribadi rasa cinta saya kepada tanah air yang memang sudah tinggi semakin kuat dan teguh. Apalagi sekarang Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Pada 2030, menurut hitungan dan prediksi MGI, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia. Itu berarti, Indonesia akan mengalahkan Jerman dan Inggris dan hanya akan terkalahkan oleh China, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil, dan Rusia.
Sekarang pun, jika dilihat dari sisi stabilitas ekonomi makro, Indonesia sudah mengalahkan Brasil dan Rusia, dan juga tentunya negara-negara tetangga di ASEAN--yang orang awam mengira lebih maju daripada Indonesia--seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Menurut MGI, peluang usaha dan pasar di Indonesia akan meningkat dari yang sekarang berkisar pada US$0,5 triliun menjadi US$1,8 triliun pada 2030, terutama pada sektor jasa konsumen, pertanian dan perikanan, sumber daya, serta pendidikan. Memang, selama ini, tidak seperti yang dikira banyak orang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar disumbang konsumsi domestik, bukan oleh ekspor manufaktur dan ekspor komoditas berbasis sumber daya alam seperti halnya yang terjadi pada negara-negara macan ekonomi Asia.
Di balik prestasi dan angkaangka yang menakjubkan itu, sebagai menteri pembangunan daerah tertinggal (PDT), di hati saya tebersit kegalauan dan di depan mata saya lihat ada tantangan besar. MGI melaporkan bahwa pada 2030 diprediksi akan ada 135 juta consuming class--kelas masyarakat dengan pendapatan US$3.800 per tahun--atau akan ada tambahan sebesar 95 juta orang, dari yang sekarang masih 45 juta orang. Yang lebih menantang ialah karena pada saat itu, ketika penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 280 juta jiwa, jumlah penduduk yang hidup di kota ialah 71%, dan menyumbang 86% PDB.
Dengan kata lain, 86% produksi nasional dihasilkan di kota oleh hampir tiga perempat penduduk. Jika tiga perempat penduduk tinggal di kota, siapa yang akan berusaha di sector pertanian dan perikanan serta ekonomi ekstraktif di desa? Jika hampir semua produksi dihasilkan di kota (86% PDB), produktivitas dan tentunya pendapatan orang-orang desa akan sangat rendah. Disparitas wilayah akan semakin tajam.
Optimistis
Kegalauan itu terobati, setelah melihat rencana-rencana yang dituangkan dalam Masterplan Peningkatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan enam koridor ekonomi yang akan menjadi simpul-simpul pertumbuhan dan konektivitas. Dalam rencana itu, investasi yang akan dibawa ke koridor 6 yang meliputi empat provinsi di Papua dan Maluku, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara, cukup besar, yaitu Rp622 triliun atau kurang lebih setengah dari yang akan masuk ke koridor 2 (Jawa), yaitu Rp1.290 triliun.
Selain itu, mulai tahun anggaran 2013, dana alokasi khusus (DAK) ke daerah tertinggal yang selama ini berkisar pada angka Rp10 triliun meningkat menjadi Rp15 triliun. Angka itu direncanakan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penggunaan DAK ini terutama diperuntukkan membangun infrastruktur melalui 19 bidang seperti infrastruktur pendidikan, kesehatan, transportasi, irigasi, serta pertanian lainnya.
Sejak dua tahun lalu, saya juga sudah mencetuskan salah satu program utama di Kementerian PDT, yaitu program Produk Unggulan Kabupaten (Prukab). Program itu mendorong peningkatan kapasitas dengan fokus pada satu atau dua komoditas unggulan untuk mengapitalisasi potensi sumber daya yang dimiliki. Pendekatan yang dipakai pada Prukab ialah pendekatan sistem rantai pasok (supply chain system) atau sistem rantai nilai (value chain system), dengan intervensi dilakukan tidak ha nya pada bagian hulu, petani, dan nelayan, tetapi juga pada semua pelaku yang terlibat dalam sistem rantai pasok, mulai penyedia sarana produksi, pedagang pengumpul dan pedagang besar, koperasi dan UMKM yang terlibat dalam kegiatan pascapanen dan pengolahan, industri, distribusi dan transportasi, hingga retailer dan eksportir.
Dengan pendekatan seperti itu, program Prukab bukan berusaha memotong rantai pasok, melainkan memberdayakan pelaku pada seluruh rantai pasok. Dengan demikian, Prukab juga menjadi implementasi dan perwujudan konkret triple track strategies pemerintah pro-growth, pro-poor, and pro-job. Dengan peningkatan produksi di tingkat hulu, ada banyak transaksi yang harus dilakukan yang pada tingkat tertentu menyebabkan diperlukannya lebih banyak pedagang pengumpul, dan meningkatnya peluang usaha pengolahan. Demikian juga dengan jasa di bidang transportasi dan distribusi, manufacturing hasil pertanian, serta retailing dan ekspor akan meningkat.
Hambat Urbanisasi
Dengan demikian, selain peningkatan produksi dan pertumbuhan (pro-growth), terjadi peningkatan kesempatan kerja (pro-job), dan selanjutnya peningkatan pendapatan (pro-poor). Tiga kebijakan itu diimplementasikan tidak secara independen dan tidak sebagai aras, tetapi saling terpaut ibaratnya semacam gear, dengan gear pertumbuhan memutar gear kesempatan kerja, dan selanjutnya memutar gear penanggulangan kemiskinan.
Dengan program Prukab, kapasitas produksi desa melalui aktivitas ekonomi pada seluruh rantai pasok produk atau komoditas meningkat. Peningkatan aktivitas ekonomi di desa, mau tidak mau, pasti menjadi penghambat terjadinya urbanisasi ke kota yang pada akhirnya menyebabkan rasio penduduk kota-desa tidak terlalu besar. Dalam skala makro, peningkatan kapasitas produksi desa meningkatkan kontribusi desa kepada PDB sehingga PDB tidak didominasi aktivitas ekonomi kota.
Jika program-program tersebut berhasil, arus urbanisasi dapat ditekan sebagai akibat dari meningkatnya pelayanan pendidikan dan kesehatan serta menggeliatnya aktivitas ekonomi di desa. Program Prukab bukan berusaha memotong rantai pasok, melainkan memberdayakan pelaku pada seluruh rantai pasok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar