Kapasitas
Produksi Desa
Helmy Faishal Zaini ; Menteri Pembangunan
Daerah Tertinggal
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Januari 2013
BANGGA menjadi bangsa
Indonesia. Mungkin itu yang terasa di hati semua yang hadir, yang notabene
merupakan orang-orang penting negeri ini, menteri dan pejabat negara lainnya,
pengusaha, dan sejumlah tokoh masyarakat ketika mendengarkan presentasi McKinsey Global Institute (MGI) pada
launching dan penyamaan visi ekonomi Indonesia yang diselenggarakan Komite
Ekonomi Nasional (KEN) beberapa pekan lalu di Jakarta.
Presentasi MGI tidak
hanya memukau dan menggetarkan, tetapi juga mampu mengukuhkan semangat
kebangsaan. Secara pribadi rasa cinta saya kepada tanah air yang memang sudah
tinggi semakin kuat dan teguh. Apalagi sekarang Indonesia merupakan negara
dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Pada 2030, menurut hitungan dan
prediksi MGI, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di
dunia. Itu berarti, Indonesia akan mengalahkan Jerman dan Inggris dan hanya
akan terkalahkan oleh China, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil, dan
Rusia.
Sekarang pun, jika
dilihat dari sisi stabilitas ekonomi makro, Indonesia sudah mengalahkan Brasil
dan Rusia, dan juga tentunya negara-negara tetangga di ASEAN--yang orang awam
mengira lebih maju daripada Indonesia--seperti Malaysia, Thailand, dan
Filipina.
Menurut MGI, peluang
usaha dan pasar di Indonesia akan meningkat dari yang sekarang berkisar pada
US$0,5 triliun menjadi US$1,8 triliun pada 2030, terutama pada sektor jasa
konsumen, pertanian dan perikanan, sumber daya, serta pendidikan. Memang,
selama ini, tidak seperti yang dikira banyak orang, pertumbuhan ekonomi
Indonesia sebagian besar disumbang konsumsi domestik, bukan oleh ekspor
manufaktur dan ekspor komoditas berbasis sumber daya alam seperti halnya yang
terjadi pada negara-negara macan ekonomi Asia.
Di balik prestasi dan
angkaangka yang menakjubkan itu, sebagai menteri pembangunan daerah
tertinggal (PDT), di hati saya tebersit kegalauan dan di depan mata saya
lihat ada tantangan besar. MGI melaporkan bahwa pada 2030 diprediksi akan ada
135 juta consuming class--kelas
masyarakat dengan pendapatan US$3.800 per tahun--atau akan ada tambahan
sebesar 95 juta orang, dari yang sekarang masih 45 juta orang. Yang lebih
menantang ialah karena pada saat itu, ketika penduduk Indonesia diperkirakan
berjumlah 280 juta jiwa, jumlah penduduk yang hidup di kota ialah 71%, dan
menyumbang 86% PDB.
Dengan kata lain, 86%
produksi nasional dihasilkan di kota oleh hampir tiga perempat penduduk. Jika
tiga perempat penduduk tinggal di kota, siapa yang akan berusaha di sector pertanian
dan perikanan serta ekonomi ekstraktif di desa? Jika hampir semua produksi
dihasilkan di kota (86% PDB), produktivitas dan tentunya pendapatan
orang-orang desa akan sangat rendah. Disparitas wilayah akan semakin tajam.
Optimistis
Kegalauan itu
terobati, setelah melihat rencana-rencana yang dituangkan dalam Masterplan
Peningkatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan enam koridor
ekonomi yang akan menjadi simpul-simpul pertumbuhan dan konektivitas. Dalam
rencana itu, investasi yang akan dibawa ke koridor 6 yang meliputi empat
provinsi di Papua dan Maluku, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan
Maluku Utara, cukup besar, yaitu Rp622 triliun atau kurang lebih setengah
dari yang akan masuk ke koridor 2 (Jawa), yaitu Rp1.290 triliun.
Selain itu, mulai
tahun anggaran 2013, dana alokasi khusus (DAK) ke daerah tertinggal yang
selama ini berkisar pada angka Rp10 triliun meningkat menjadi Rp15 triliun.
Angka itu direncanakan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penggunaan DAK ini terutama diperuntukkan membangun infrastruktur melalui 19 bidang seperti infrastruktur pendidikan, kesehatan, transportasi, irigasi, serta pertanian lainnya.
Sejak dua tahun lalu,
saya juga sudah mencetuskan salah satu program utama di Kementerian PDT,
yaitu program Produk Unggulan Kabupaten (Prukab). Program itu mendorong
peningkatan kapasitas dengan fokus pada satu atau dua komoditas unggulan
untuk mengapitalisasi potensi sumber daya yang dimiliki. Pendekatan yang
dipakai pada Prukab ialah pendekatan sistem rantai pasok (supply chain system) atau sistem
rantai nilai (value chain system),
dengan intervensi dilakukan tidak ha nya pada bagian hulu, petani, dan
nelayan, tetapi juga pada semua pelaku yang terlibat dalam sistem rantai
pasok, mulai penyedia sarana produksi, pedagang pengumpul dan pedagang besar,
koperasi dan UMKM yang terlibat dalam kegiatan pascapanen dan pengolahan,
industri, distribusi dan transportasi, hingga retailer dan eksportir.
Dengan pendekatan
seperti itu, program Prukab bukan berusaha memotong rantai pasok, melainkan
memberdayakan pelaku pada seluruh rantai pasok. Dengan demikian, Prukab juga
menjadi implementasi dan perwujudan konkret triple track strategies pemerintah pro-growth, pro-poor, and pro-job. Dengan peningkatan produksi di
tingkat hulu, ada banyak transaksi yang harus dilakukan yang pada tingkat
tertentu menyebabkan diperlukannya lebih banyak pedagang pengumpul, dan
meningkatnya peluang usaha pengolahan. Demikian juga dengan jasa di bidang
transportasi dan distribusi, manufacturing
hasil pertanian, serta retailing
dan ekspor akan meningkat.
Hambat Urbanisasi
Dengan demikian,
selain peningkatan produksi dan pertumbuhan (pro-growth), terjadi peningkatan kesempatan kerja (pro-job), dan selanjutnya peningkatan
pendapatan (pro-poor). Tiga
kebijakan itu diimplementasikan tidak secara independen dan tidak sebagai
aras, tetapi saling terpaut ibaratnya semacam gear, dengan gear
pertumbuhan memutar gear kesempatan kerja, dan selanjutnya memutar gear
penanggulangan kemiskinan.
Dengan program Prukab,
kapasitas produksi desa melalui aktivitas ekonomi pada seluruh rantai pasok
produk atau komoditas meningkat. Peningkatan aktivitas ekonomi di desa, mau
tidak mau, pasti menjadi penghambat terjadinya urbanisasi ke kota yang pada
akhirnya menyebabkan rasio penduduk kota-desa tidak terlalu besar. Dalam
skala makro, peningkatan kapasitas produksi desa meningkatkan kontribusi desa
kepada PDB sehingga PDB tidak didominasi aktivitas ekonomi kota.
Jika program-program
tersebut berhasil, arus urbanisasi dapat ditekan sebagai akibat dari
meningkatnya pelayanan pendidikan dan kesehatan serta menggeliatnya aktivitas
ekonomi di desa. Program Prukab bukan berusaha memotong rantai pasok,
melainkan memberdayakan pelaku pada seluruh rantai pasok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar