Dilema
Demokrasi
Nur Sholikhin ; Peneliti di LPM Paradigma,
Mahasiswa Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 02 Januari 2013
"Tidak ada
demokrasi tanpa politik, tidak ada politik tanpa partai, dan tidak ada partai
tanpa kompromi." Demikianlah ungkapan dari ilmuwan politik Clinton
Rossiter. Ungkapan tersebut membuktikan betapa pentingnya peran partai
politik dalam demokrasi. Lewat proses politik di parlemen, parpol dapat
menentukan orang-orang yang duduk memimpin di berbagai lembaga, baik tingkat
daerah ataupun negara.
Tujuan utama di
bentuknya pemerintahan tidak lain untuk melayani, melindungi, dan
menyejahterakan rakyat. Lewat mekanisme demokrasi, pemerintahan terbentuk
melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Namun ironisnya, kandidat yang
terpilih itu kebanyakan tidak sesuai dengan kriteria pemimpin sebenarnya yang
lebih mementingkan negara. Bahkan kebanyakan pemimpin yang terpilih itu hanya
karena popularitasnya saja, bukan karena integritas dan komitmennya.
Sehingga, banyak pemimpin yang tidak tahu kehidupan masyarakat bawah. Mana
mungkin mau menyejahterakan rakyat, jika pemimpinnya tidak tahu kondisi di
masyarakat bawah.
Sebab itu, banyak
pemimpin dalam memenangkan pemilihan itu menggunakan politik uang. Sehingga,
setelah menjadi pejabat negara, gampang melakukan pelanggaran seperti suap
dan korupsi untuk mengembalikan uang yang dihamburkan saat maju dalam
pemilihan umum. Jadi, panggung demokrasi itu digunakan sebagai ajang bisnis
kekuasaan oleh partai politik. Lebih menyedihkan lagi, panggung demokrasi tak
lebih sebagai ajang adu kekuatan parpol, yang akhirnya hal ini dapat
menjerumuskan nasib bangsa ke lembah keterpurukan moral.
Kalau dilihat
realitasnya sekarang ini, banyak pejabat pemerintahan yang melakukan tindakan
korupsi, suap menyuap, dan lain sebagainya. Ini menimbulkan pertanyaan
publik, sudah berhasilkan reformasi yang digembargemborkan itu? Karena,
tujuan awal adanya reformasi adalah untuk mengakhiri korupsi dan sentralisme
kekuasaan yang menindas rakyat. Namun, kenyataannya sekarang banyak pejabat
pemerintahan yang melakukan tindakan korupsi. Para koruptor itu telah
merampas hak-hak yang seharusnya diberikan pada rakyat.
Pemerintahan itu
akhirnya gagal menjalankan amanat rakyat. Para pejabat pemerintahan tidak
mampu menyejahterakan serta mencerdaskan rakyat dan generasi muda khususnya.
Ini juga akan berdampak pada kedaulatan rakyat tergadai pada uang. Jika
kedaulatan bangsa telah tergadai, rakyat tidak aman, ketimpangan
menjadi-jadi, kelaparan dan kemiskinan dimana-mana, lalu pendidikan telah
mundur.
Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun,
rakyat tidak melaksanakan kedaulatan langsung, akan tetapi rakyat mewakilkan
kedaulatannya kepada pemerintah atau wakil-wakil rakyat. Kedaulatan yang
diwakilkan ini bukan berarti rakyat hanya memilih calon-calon pemimpin atau
pejabat pemerintah saja. Akan tetapi, rakyat berhak mengutarakan pendapatnya
dengan bebas, baik mengenai masalah ekonomi, politik, pendidikan, dan lain
sebagainya demi kesejahteraannya.
Apa artinya reformasi
dan demokrasi jika tidak menjamin adanya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Apalagi sekarang ini maraknya budaya korupsi yang dilakukan elite pemerintah,
yang menciderai demokrasi. Padahal, demokrasi awalnya untuk menjaga
akuntabilitas ranah publik, sehingga menutupi potensi melakukan tindakan
korupsi. Karena pada hakikatnya kekuasaan itu tunduk pada pengawasan publik.
Jika diingat kembali
digulirkannya reformasi bertujuan untuk menghapus korupsi karena adanya
kekuasaan absolut, yang merugikan negara dan masyarakat umum. Namun, sekarang
apa bedanya pada masa orde lama dengan se-karang, jika masih banyaknya kasus
korupsi.
Membingungkan, mengapa
dalam era demokrasi semacam ini, korupsi tidak dapat dihilangkan? Tindakan
pemerintah yang menyimpang itu di awasi oleh masyarakat. Sehingga tidak ada
kasus atau kebijakan yang akan merugikan rakyat. Ironisnya para politisi yang
seharusnya menjadi salah satu pilar dalam menegakkan demokrasi malah
berlomba-lomba melakukan korupsi.
Seharusnya melalui
pemerintahan demokrasi tidak ada lagi tindakan penyimpangan seperti korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah. Dengan sistem demokrasi ini pula
masyarakat bisa sejahtera dan lebih terjamin kehidupannya. Tetapi, kenapa
Indonesia dengan sistem demokrasi sekarang ini, malahan rakyatnya masih
banyak yang miskin, maka timbul pertanyaan, apakah sistem demokrasi belum
berjalan sehingga banyak kasus korupsi bermunculan belakangan ini, ataukah
para pejabat pemerintahannya yang bermasalah? Atau, kurangnya pengawasan
masyarakat terhadap pemerintahan?
Kalau diamati,
masyarakat sebenarnya ikut menjalankan demokrasi di negeri ini. Terbukti,
publik menyuarakan keinginannya menyikapi kebijakan pemerintah yang kurang
sesuai dengan kehendak publik.
Kebebasan media dan
banyaknya berita korupsi telah membuat institusi penting demokrasi, yaitu
parpol tergerogoti dengan kredibilitas mereka. Karena publik telah mengecam
bahwa politik adalah jalan untuk melakukan korupsi. Pemimpin politik lebih
mementingkan dirinya dan kelompoknya, ketimbang mementingkan nasib bangsa.
Yang paling menyedihkan, para kader partai lebih gila lagi, banyak yang
melakukan korupsi. Maka, bagaimana kaderisasi di tubuh parpol apa mereka
hanya dibekali bagaimana cara memenangkan pemilihan-pemilihan saja?
Untuk menegakkan
demokrasi harus didukung kekuatan moral guna menjalankan politik yang
memberikan manfaat besar bagi rakyat, demi mewujudkan masyarakat madani dan
pembangunan ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat. Moral akan
membentengi terjadinya korupsi yang akan menyengsarakan masyarakat luas.
Tetapi, dalam masyarakat demokrasi ini, koprusi tidak terpisahkan lagi dari
segala aktivitas kebangsaan melalui sistem demokrasi. Ini dilema. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar