Sabtu, 12 Januari 2013

Manajemen PT KAI Sedang Sakit


Manajemen PT KAI Sedang Sakit
Firdaus ;  Pengamat Sosial
SINDO, 12 Januari 2013



 Banyaknya komplain penumpang KRL Commuter Line (KRL-CL) belakangan ini terhadap pelayanan yang diberikan PT KCJ,anak perusahaan PT KAI, menunjukkan standard operation procedures (SOP) yang ada selama ini dinilai belum pas dengan harapan konsumen pengguna jasa kereta api pada umumnya.
Banyaknya komplain penumpang KRL Commuter Line (KRL-CL) belakangan ini terhadap pelayanan yang diberikan PT KCJ,anak perusahaan PT KAI, menunjukkan standard operation procedures (SOP) yang ada selama ini dinilai belum pas dengan harapan konsumen pengguna jasa kereta api pada umumnya.

Tidak hanya itu. Banyak penumpang KA luar kota juga menyampaikan komplain kereta jarak jauh seperti KA Argo Lawu, KA Argo Parahiangan, KA Argo Jati, KA Cirebon Ekspres yang dulu selalu berhenti di Stasiun Bekasi ternyata sekarang tidak berhenti di stasiun tersebut. Meski kereta jarak jauh itu akhirnya berhenti di Stasiun Gambir,penumpang tetap kesulitan melanjutkan untuk menggunakan feeder KRLCL menuju ke Bekasi karena Gambir sekarang dinyatakan steril dari penumpang KRL-CL.

Salah satu alasan Stasiun Gambir bebas dari penumpang KRL-CL menurut penjelasan Direksi PT KAI adalah untuk mengamankannya dari gangguan penumpang gelap (free rider). Pernyataan ini tentu mengundang pertanyaan, bukankah manajemen PT KAI memiliki tenaga satuan pengamanan yang cukup banyak, bahkan bekerja sama dengan perusahaan outsourcing di bidang ini, tetapi ternyata tidak mampu mengatasi free ridertersebut.Kenyamanan penumpang kereta pun akhirnya “dikorbankan” demi kepentingan sepihak PT KAI.

Namun,sebaliknya,saat melakukan penertiban kios pedagang kecil jalur Jakarta–Bogor, khususnya di Stasiun Pondok Cina dan UI Depok, pihak PT KAI betul-betul menggunakan bantuan TNI-Polri untuk menggusur mereka. Padahal, sebelumnya, para pedagang kecil itu telah membayar sewa kios ke PT KAI yang besarnya sekitar Rp5 juta per tahun.

Ternyata waktu sewa masih tersisa sekitar 6–7 bulan, tetapi manajemen PT KAI tidak melakukan pendekatan organisasi yang wajar, misalnya melakukankompromi dengan mereka melalui pemecahan masalah yang lebih bersifat win-win solution, melainkan dengan cara-cara kekerasan yang tidak pada tempatnya terkait keberadaan pedagang kecil tersebut.

Pedagang Asongan 

Perihal adanya rencana penghapusan KRL Ekonomi jalur Bekasi–Jakarta dan Bogor–Jakarta, ini akan menimbulkan implikasi besar terhadap para pedagang asongan yang selama ini menggunakan jasa transportasi KRL Ekonomi. Mereka akan mengalami kesulitan luar biasa jika KRL Ekonomi dihapuskan nanti. Dengan jadwal KRL Ekonomi sekarang yang sudah dikurangi saja, ternyata masih ada beberapa pedagang asongan yang “lolos” naik KRL-CL di stasiun kecil antara Bekasi–- Jatinegara.

Akibatnya, pelayanan KRL-CL yang bertarif Rp 8.500 itu tidak ada bedanya dengan kondisi KRL Ekonomi yang bertarif Rp 1.500–- Rp 2.000, khususnya pada jamjam sibuk kantor. Apalagi dengan fasilitas AC yang sering tak berfungsi, penumpang semakin padat berdesakan. Selain itu, keterlambatan jadwal tiba KRL-CL di stasiun transit Manggarai maupun Jatinegara sering merepotkan penumpang untuk menunggu di peron.

Apalagi ditambah lalu lintas kereta yang ramai berpotensi membahayakan penumpang, terutama ibu-ibu yang hamil dan membawa anak kecil yang harus berlarian menyeberang rel untuk berganti kereta di stasiun transit. Menurut Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azaz Tigor Nainggolan, sistem pelayanan KRL Jabodetabek dengan model loop linebelum maksimal sebagai angkutan massal di Ibu Kota.

Seharusnya dengan sistem loop line,KCJ membuat empat rute tujuan dan satu rute melingkar. Keempat rute tersebut adalah Bogor–Manggarai, Serpong atau Parung Panjang– Tanah Abang, Bekasi–Jatinegara, Kampung Bandan–- Kota.Adapun rute melingkarnya menghubungkan Jatinegara, Kota, Manggarai dan Tanah Abang. Dengan sistem rute seperti ini, penumpang KRL dari Bekasi misalnya, jika ingin ke Manggarai atau Senen, cukup turun di Jatinegara dan berpindah ke KRL dengan rute melingkar di Jakarta itu.

Ketidakpekaan manajemen KAI terhadap pelayanan konsumen juga sangat terlihat dari pengumuman di dalam gerbong KRL yang berbunyi: “Mohon partisipasi pelanggan lainnya untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini.” Padahal hal itu seharusnya menjadi tanggung jawab petugas keamanan di dalam gerbong untuk melakukan penertiban terhadap penumpang yang tidak berhak duduk di bangku prioritas untuk wanita hamil,lanjut usia,dan ibu yang membawa anak kecil. Ironisnya, di tengah pelayanan yang masih amburadul tersebut, Dirut PT KAI memperoleh predikat sebagai pemimpin perusahaan (CEO) yang hebat versi majalah berita Tempo dan PT KAI sebagai manajemen “BUMN Terbaik” versi majalah BUMN Track.

Diagnosis Organisasi 

Dari gambaran tersebut, bisa saja beban yang harus ditangani manajemen PT KAI jauh melebihi kemampuan yang mereka miliki. Atau mungkin saja banyak aturan dari luar, terutama dari atasan terkait, yang membuat BUMN itu tidak bebas sehingga manajemennya tidak mampu berkonsentrasi untuk memperbaiki dirinya. Perbaikan organisasi perlu didasarkan pada suatu diagnosis menyeluruh yang mampu membaca permasalahan organisasi secara komprehensif.

Dengan demikian, perbaikan dapat dilakukan pada aspek yang tepat dan memang merupakan inti permasalahan. Selama diagnosis tidak dilakukan, tafsir terhadap permasalahan organisasi bisa berbeda-beda hasilnya. Ada yang menganggap kesalahan muncul dari pihak luar seperti atasan. Menurut pakar organisasi Danny Muller,kegagalan perusahaan sering dipengaruhi oleh perilaku pimpinannyaIni pada akhirnya berpengaruh terhadap pola gejala kegagalan yang dialami.

Salah satu pola kegagalan terjadi karena sejarah di masa lalu organisasi sebelum PT KAI sudah terlalu lama porak-poranda. Karena terus-menerus gagal, sebagian besar pimpinan akhirnya diganti dengan tim direksi baru di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan. Rupanya kegagalan tersebut menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap kepemimpinan lama sehingga orang lama cenderung disisihkan. Akibatnya, kepemimpinan baru tidak memiliki keahlian atau pemahaman yang memadai tentang kegiatan utama organisasi.

Ini terjadi karena informasi yang dibutuhkan tak mengalir kepada pemimpin baru. Karena kurang paham dan tidak mampu bekerja sama dengan direksi lama, kepemimpinan baru kemudian mengembangkan kegiatan yang orientasinya keliru atau menjalankan perubahan (inovasi) yang terlalu berani. Inovasi yang terlalu berani dengan arah yang tak sesuai kebutuhan organisasi dijalankan pada organisasi yang sudah lemah.

Akibatnya, organisasi tersebut “kehabisan darah”. Karena itu, kepemimpinan baru, terutama jika berasal dari luar PT KAI, hendaknya mengusahakan partisipasi orang lama. Kalau demikian, manajemen PT KAI dan KCJ mesti segera melakukan diagnosis organisasi agar inti dan konfigurasi permasalahan menjadi jelas sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan secara tepat dan tidak membawa akses negatif di kemudian hari, khususnya terhadap kepentingan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar