Sabtu, 12 Januari 2013

(Bukan) Pemimpin Populis


(Bukan) Pemimpin Populis
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
SINDO, 12 Januari 2013



 Akhir-akhir ini istilah “blusukan” menjadi sangat populer di media massa dan media sosial.Makna kata tersebut tak lagi dalam dimensi lokalitas bahasa Jawa, melainkan menjelma menjadi kata sarat kuasa citra.
Akhir-akhir ini istilah “blusukan” menjadi sangat populer di media massa dan media sosial.Makna kata tersebut tak lagi dalam dimensi lokalitas bahasa Jawa, melainkan menjelma menjadi kata sarat kuasa citra.

Lebih dari itu, blusukan yang dilekatkan pada sosok tindakan aktor seperti SBY dan Jokowi menjadi multitafsir dan memosisikan si pelaku dalam bingkai konstruksi realitas, bahkan pertarungan opini publik. Sangat mungkin, kata “blusukan” ini naik level dalam pemeringkatan khalayak karena publik tergelitik melakukan pemilahan biner antara SBY dan Jokowi.

Pemilahan yang menekankan kemampuan bahasa dalam mengantarkan makna guna menstrukturkan realitas. Misalnya, pemilahan antara pemimpin elitis dengan pemimpin populis, antara blusukan untuk citra atau blusukan untuk kerja. Membicarakan hal sederhana soal blusukan SBY menjadi bermakna saat kita membahasnya dalam konteks kerinduan bangsa ini atas sosok pemimpin transformatif, bukan pemimpin yang gandrung dengan peran “seolah-olah” yang melahirkan kesadaran palsu bagi warga.

Konsistensi Peran 

Sebenarnya, sah-sah saja jika SBY blusukan karena sudah seharusnya presiden yang dipilih oleh rakyat dekat dan membangun komunikasi efektif dengan pemberi mandat kekuasaannya. Hanya saja, blusukan SBY kali ini telah kehilangan momentum dalam pembentukan persepsi positif di masyarakat. Delapan tahun SBY memerintah telah menghadirkan stigma kuat di masyarakat bahwa SBY bukanlah pemimpin populis! Pilihan komunikasi SBY yang berjarak, formal, dan menekankan strategi anxiety uncertainty management (AUM) ditambah pola politik harmoni akhirnya mapan menjadi wajah kepemimpinan SBY yang elitisbirokratis.

Sangat wajar jika muncul kritisisme pada blusukan SBY. Pertama, mengapa SBY baru sekarang melakukan tindakan tersebut? SBY memang kerap blusukan saat memasarkan dirinya dalam Pemilu Presiden 2004, juga 2009, plus sekejap di awal periode pertama kekuasaannya. Dengan demikian, tindakannya saat itu tak lebih dari sekadar upaya memersuasi pemilih dan mengelola elektabilitas. Rentang waktu panjang setelah berkuasa tak membuat dirinya punya catatan memadai sebagai sosok yang dekat dengan rakyat.

Singkatnya, blusukan SBY itu tak punya tautan dengan historisitas berjenjang dia sebagai pemimpin populis.Warga tak cukup merasakan kehadiran SBY karena kesibukan dia mengelola relasi kuasa di level elite. Pola kompromistis dengan segenap mitra koalisi telah memosisikan SBY jauh lebih terkesan melayani kelompok elite dibandingkan rakyat yang memberi mandat kekuasaannya. Kedua, terkait substansi pesan dan panggung depan (frontstage) saat pesan tersebut didistribusikan.

Kita bisa melihat adanya kejanggalan, kenapa saat blusukan di masyarakat akar rumput, SBY masih menyampaikan pesan elitis seperti soal reshuffle. Saat berkunjung ke Pasir Putih,Teluk Naga, Tangerang, dengan formalnya SBY berdiri di atas tangga yang dijadikan mimbar dadakan sehingga kesan yang muncul, SBY hanya memindahkan panggung untuk memberi keterangan resmi dari Istana ke kampung warga.

Kehadiran SBY tetap saja berjarak dengan warga sehingga tak mampu menghapus kesan high profile pemimpin saat bertemu dengan rakyat biasa. Ketiga, soal waktu.Saya meragukan efektivitas blusukan SBY untuk kepentingan monitoring and evalution (monev) seperti dikemukakan Staf Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga. Pemerintahan SBY saat ini sudah di fase akhir, tak lagi dalam konteks belanja masalah, melainkan soliditas tim dan efektivitas kinerja sektor-sektor penyelenggara pemerintahan guna mengejar realisasi program.

Kunci masalahnya sekarang bukan lagi di masyarakat, tetapi di level pelaksana program, yakni di sejumlah kementerian yang dipimpinnya. Tahun 2013 adalah tahun politik. Jadi yang seharusnya dilakukan SBY adalah membuat dan menerapkan sistem kontrol guna menjaga perahu kabinet jangan sampai bocor karena terjangan agenda politik partai-partai yang menanam orang di sejumlah pos kementerian.

Reality by Proxy 

Tak salah jika berbagai pihak menafsirkan apa yang dilakukan SBY tak lebih dan tak kurang hanya semata urusan pengelolaan citra. Tentu, hal ini tak akan berpengaruh banyak dalam mengubah persepsi publik tentang reputasi SBY sebagai pemimpin elitis. Jikapun diorientasikan untuk urusan citra, blusukan tersebut hanya akan memperteguh hiperealitas politik citra SBY.

Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya Simulacra and Simulation(1981) sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya, simulasi realitas ini berupa tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolaholah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan dianggap tak harus memiliki tautan logis. Biasanya, hiperealitas politik citra itu menghadirkan reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi.

Banyak mimpi indah dibangun dan membentuk kesan di masyarakat seolah-olah si aktor sebagai pemimpin populis, tapi kenyataannya justru dia lebih banyak “bercengkerama” dalam zona nyaman kaum elite. SBY tentu tidak ingin landing dari kekuasaannya dalam situasi turbulensi. Oleh karenanya, sangat wajar jika dia mengatur manajemen konflik lintas kekuatan, terutama di level elite.Terlebih tahun 2013 ini diprediksi buka tutup kasus hukum serta tekanan untuk mendelegitimasi pihak lawan akan semakin terbuka.

Hanya saja, jika akar kekuasaannya terutama di level akar rumput mengalami pembusukan karena tak pernah dirawat dengan baik, kekuasaannya tak akan pernah (lagi) tumbuh kuat dalam ingatan panjang bangsa Indonesia. Blusukan pada akhirnya bukan semata soal bertemu dan berbincang dengan rakyat.Lebih dari itu adalah soal membangun semangat kekitaan yang kuat berbalut kinerja nyata serta dilakukan secara konsisten, bukan kemasan! Di dunia banyak pemimpin yang dilabeli sebagai sosok pemimpin populis.

Sebut saja beberapa nama di Amerika Latin seperti Hugo Cavez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ecuador. Tentu,mereka menerjemahkan kepemimpinan mereka dengan cara berbeda-beda. Hanya benang merahnya sama, yakni mereka punya perhatian utama untuk membela kepentingan rakyat biasa. Pemimpin populis tak cukup hanya bermodal kecerdasan, tetapi juga keberanian membawa perubahan demi kesejahteraan rakyat. Dalam konteks itulah rakyat tentu punya catatan siapa yang blusukan untuk kerja dan siapa yang sekadar pencitraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar