Ilusi
Spiritual Laundering Korupsi
Muh Kholid AS ; Jurnalis, alumnus Pondok
Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
|
JAWA
POS, 04 Januari 2013
BERGANTI tahun, korupsi tampaknya masih menjadi mimpi buruk bangsa ini.
Berdasar data KPK selama 2004-2011, tercatat 1.408 kasus korupsi ditangani
aparat hukum dengan kerugian negara Rp 39,3 triliun. Tak hanya itu, pelaku
korupsi ternyata ''sukses'' meregenerasi ke koruptor berusia 40 tahunan.
Kian sedih, tidak sedikit kasus korupsi yang menggambarkan anomali keberagamaan. Fenomena itu secara tersamar bisa dilihat dari pengakuan Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) M. Jasin tentang ''pungutan liar'' dalam pencatatan pernikahan dan kepemilikan ''rekening gendut'' di lingkungan kerjanya (Jawa Pos, 27 Desember 2012). Sulit dipahami, kementerian yang terkait dengan misi moral dan ketuhanan tersebut justru melakukan korupsi yang jelas-jelas dekat dengan perbuatan keji dan mungkar. Koruptor juga telah berani menjarah proyek yang memiliki dimensi celestial sebagaimana dilukiskan pada korupsi pengadaan Alquran di Kemenag. Tragisnya lagi, sandi yang digunakan untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek itu cukup melecehkan agama. Mereka menggunakan idiom ''kiai'' untuk merujuk politisi Senayan yang menerima fee korupsi, ''ustad'' untuk menyebut pejabat Kemenag, dan ''pesantren'' untuk partai politik. Yang menggelikan, ternyata ada juga pelaku korupsi yang menggunakan hasil korupsinya untuk keperluan ibadah: sedekah, zakat, umrah, maupun haji. Gayus Tambunan memberikan kesaksian miris. Sebagian uang hasil korupsinya digunakan untuk membiayai ibadah umrah seorang hakim yang menangani perkaranya. Ragam modus korupsi tersebut tentu menjadi tamparan mahadahsyat bagi kaum agamawan. Yang kian menyedihkan, berdasar ajaran agama yang dianutnya, seseorang bisa menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tapi (mungkin) ada juga yang memandangnya (memanipulasinya) sebagai tindakan termaafkan, bahkan terpuji. Distorsi pemahaman agama tersebut membuat tidak sedikit koruptor yang cenderung meremehkan dosa kejahatannya (Mulkhan: 2003). Penafsiran serampangan tentang sifat dan cara Tuhan membalas tindakan manusia membuat mereka semakin ''berani'' berkorupsi, atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Bahkan, tidak mustahil koruptor malah berkeyakinan pahalanya jauh lebih besar dibanding dosanya saat dihitung di akhirat kelak. Malapraktek ''spiritual laundering'' (pencucian spiritual) dengan mendistorsi ajaran agama memang bukan perkara sulit untuk dicarikan justifikasinya. Dalam Islam, misalnya, selalu terbuka peluang pintu pengampunan Tuhan atas semua kejahatan, kecuali tindakan yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan (syirik). Kejahatan hanya akan dibalas dengan kejahatan yang setara (QS As-Syuura: 40). Sementara itu, kebaikan akan dibalas dengan ganjaran 700 lipat (QS Al-Baqarah: 261), berlaku 1.000 bulan (QS Al-Qadar: 3), bahkan mengalirkan tanpa putus (HR Turmudzi dan Nasa'i). Dengan kalkulator reward pahala dan punishment itu, bisa jadi para koruptor tetap yakin mampu ''memutihkan'' dosanya. Jika seseorang melakukan korupsi Rp 10 miliar, misalnya, dengan menyedekahkan 1 persen (Rp 100 juta), dia tetap mendapat pahala Rp 70 miliar. Secara matematis, pahalanya masih banyak dibanding dosanya yang itu pun masih punya keuntungan dunia 9,9 miliar. Reward tersebut akan bertahan selama 83,3 tahun jika waktu bersedekah bertepatan dengan malam Qadar dan tidak terputus jika berbentuk jariyah. Koruptor pendistorsi agama tersebut tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya ''mengakali'' Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Misalnya, tiba-tiba berjilbab atau bercadar saat dijadikan tersangka, meski sebelumnya dikenal senang berpakaian modis dan seksi. Bahkan, tidak sedikit yang ''menyuap'' Tuhan dengan hasil korupsinya dalam bentuk umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain. Selain tameng, ia dijadikan sarana ''merayu'' Tuhan untuk memutihkan dosa korupsinya. Malapraktek spiritual laundering mendorong seseorang yang punya pengetahuan lebih tentang agama tidak terjamin imun dari korupsi. Agama harus membangun pemahaman bahwa dosa korupsi tidak akan diampuni Tuhan, termasuk menjalankan ''ruilslag'' dengan ragam ibadah. Apalagi, Muhammad SAW -manusia agung yang sama miskinnya sejak sebelum jadi rasul sampai wafat- dalam riwayat Imam Muslim telah menegaskan: sedekah dan infak hasil kecurangan tidak akan diterima Tuhan, seperti tidak diterimanya salat tanpa wudu. Jelas, teologi itu melawan keyakinan koruptor yang menghibur diri bahwa dosa korupsinya masih bisa ''dicuci'' dengan menyuap Tuhan dalam bentuk haji, umrah, zakat, infak, sedekah, dan lain-lain. Keyakinan koruptor ''agamis'' itu sesat sejauh-jauhnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar