Rabu, 09 Januari 2013

Legalitas “Extrajudicial Killing”


Legalitas “Extrajudicial Killing”
Herie Purwanto ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA,  09 Januari 2013



KETUA Komnas Hak Asasi Manusia 2007-2012 Ifdhal Kasim menyesalkan tindakan extrajudicial killing terhadap para terduga teroris. Tindakan tersebut seakan-akan sah, padahal secara hukum tidak sah. Extrajudicial killing membuat terduga teroris tertembak dan mati namun tidak ada pertanggungjawaban terhadap pembunuhan dalam operasi-operasi antiteroris yang selama dilakukan (SM, 27/ 12/ 12).

Selaras dengan pendapat Ifdhal, ahli hukum terkenal, Cesare Beccaria (1738-1794) dalam buku Dei Delitti e Delle Pene (An Essay on Crimes and Punishment) menyatakan seseorang tidak bisa dihakimi sebagai penjahat, sebelum dinyatakan bersalah. Dengan paradigma itu, seseorang yang masih berstatus terduga teroris, mestinya belum bisa dan belum boleh ditembak mati. Kenyataannya, banyak teroris yang masih diduga-duga, tewas di tangan polisi.

Membaca sekilas pendapat itu, muncul persepsi bahwa Polri, dalam hal ini Detasemen Khusus Anti Teror 88, yang dikedepankan dalam pemberantasan terorisme menjadi pihak yang dipersalahkan. Sepertinya, extrajudicial killing itu sebagai hal yang patut dipertanyakan, mengapa hal itu terjadi dan apakah tak ada solusi.

Mengutip Wikipedia, an extrajudicial killing is the killing of a person by governmental authorities without the sanction of any judicial proceeding or legal process. Dalam bahasa kita, extrajudicial killing berarti bentuk legalisasi terhadap pembunuhan sehingga seolah-olah legal secara hukum. Padahal Pasal 338 KUHP menyebutkan,” Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain diancam pidana sebagai perbuatan pembunuhan”.

Maka tidak heran ketika Densus 88 menangkap terduga teroris yang berakhir dengan penembakan yang mengakibatkan kematian muncul tudingan ada extrajudicial killing dan pemerintah membiarkan. Benarkah demikian, tidakkah ada alasan pembenar bahwa apa yang dilakukan oleh Densus 88 itu bagian dari proses penegakan hukum?
Sesuai dengan hukum acara kita, urutan dari proses penyidikan adalah penangkapan tersangka, dan KUHAP secara tegas tidak mengenal istilah terduga. Seseorang disebut tersangka ketika penyidik sudah menemukan minimal dua alat bukti sah, sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP.

Penangkapan terhadap seseorang yang diduga teroris dalam bahasa hukum sama halnya dengan tindakan penyidik menangkap tersangka teroris. Konsekuensinya, persyaratan formal dan material harus dipenuhi. Persyaratan formal menyangkut kelengkapan administrasi dan pemberian kewenangan penangkapan, sedangkan persyaratan material menitikberatkan pada terpenuhinya unsur perbuatan yang didapatkan dari dua alat bukti.

Bentuk Pertanggungjawaban

Apabila ini sudah dalam genggaman operator di lapangan maka operasi penangkapan pun dilaksanakan. Bila akan menangkap tersangka kejahatan biasa, semisal pencuri ayam, tentu cukup melibatkan 3-4 polisi. Bila tersangka diperkirakan bersenjata, terhadap kasus pencurian dengan kekerasan, tentu perlu menerjunkan kekuatan sebanding. Demikian seterusnya sesuai dengan eskalasi risiko.

Dengan logika tersebut, ketika akan menangkap tersangka kasus terorisme, tentu memerlukan kelengkapan persenjataan ataupun personil sejumlah tertentu. Asumsi yang harus diterapkan dalam operasi penangkapan teroris adalah kesiapan berlakunya doktrin kill or to be killed, membunuh atau dibunuh. Hanya berpegang pada doktrin itu, beberapa anggota Densus 88 gugur saat menangkap tersangka teroris. 

Secara teori yuridis, penangkapan tersangka teroris yang berujung pada tertembaknya tersangka sepertinya tidak terbantahkan sebagai extrajudicial killing. Namun, bila menelisik psikologis di lapangan, teori yuridis ini perlu dipersandingkan dengan fakta legal action. Densus 88 berpegang pada standard operating procedure (SOP), semisal memberikan peringatan untuk menyerah, tersangka tidak menyerang petugas, bila harus terjadi kontak fisik, menghindari bidikan yang mematikan.

Namun ketika benar-benar terjadi kontak di lapangan, teori-teori yuridis ataupun SOP baku, menjadi prioritas nomor ke sekian. Yang utama saat itu, secara manusiawi adalah mempertahankan diri agar tidak dibunuh. Petugas di lapangan juga manusia, ia punya keluarga, punya harapan, dan impian akan masa depan. Meskipun doktrin yang dibangun ketika akan menangkap tersangka bersenjata, pikiran petugas dalam keadaan bebas lepas, sehingga bisa konsentrasi pada tugas.

Bila penangkapan itu berakhir dengan kematian, apakah dari pihak Polri ataupun tersangka, tidak selesai begitu saja karena tetap harus ada pertanggungjawaban dari pimpinan operasi. Secara internal, laporan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban. Hanya laporan itu bukan untuk konsumsi publik. Akumulasi dari ketiadaan pertanggungjawaban eksternal itulah yang kemudian digugat oleh pihak-pihak tertentu sebagai perbuatan extrajudicial killing. Meskipun, secara internal sudah ada wujud pertanggungjawaban, mengacu pada aturan hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar