Dilema Politik
Akbar
Gunarto ; Guru Besar
Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
dan Wakil
Rektor II Unissula Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 09 Januari 2013
SETELAH
beberapa lembaga survei menempatkan Golkar sebagai calon kuat pemenang Pemilu
2014, kini partai itu dipanaskan oleh langkah politik mantan ketua umum Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Akbar Tandjung, yang notebene ketua Dewan Pertimbangan
partai berlambang pohon beringin tersebut.
Pemicunya adalah surat Akbar ke DPP yang meminta pengurus pusat untuk kembali mengevaluasi pencalonan Aburizal Bakrie sebagai capres, meminta keterlibatan DPD II Golkar dalam penentuan capres, dan meminta keterlibatan Dewan Pertimbangan dalam proses penentuan caleg pada pemilu mendatang. Tak hanya mengirim surat, Akbar juga rajin konsolidasi ke bawah, terutama ke DPD II. Pengurus pusat menganggap langkah itu sebagai bentuk provokasi politik untuk mendongkel posisi Ical. Bahkan Sekjen DPP Idrus Marham mengultimatum memberi sanksi politik, bila perlu pemecatan. Sebagai politikus senior, dan ini menjadi ciri yang melekat, Akbar tidak mereaksi secara berlebihan. Seakan-akan tidak memedulikan berbagai kritik, tokoh yang berjasa menyelamatkan Golkar dari hantaman badai reformasi itu justru makin rajin melakukan konsolidasi dan safari politik. Langkah itu dikatakan demi persiapan pemenangan Golkar menuju pileg dan pilpres. Politik Keterbukaan Bagi Golkar, Akbar merupakan tokoh sangat penting, minimal melihat dari dua pandangan. Pertama; ia figur yang memberi fondasi baru sebagai partai yang mengikuti irama reformasi. Sebelumnya, partai itu kendaraan rezim Orba bersama ABRI (kini TNI) dan Korpri. Begitu memasuki alam reformasi, Akbar mengubah paradigma, menjadikan partai itu memegang prinsip demokrasi yang kemudian dikenal dengan Golkar ”baru” pada 1999, berbeda dari semasa Orba.
Kedua;
meski saat itu Golkar menjadi common
enemy, di tangan Akbar pula partai tersebut bisa bertahan, bahkan menjadi
partai pemenang Pemilu 2004. Pada saat itu, dengan konsep konvensi, partai
itu menyuguhkan praktik demokrasi yang mengundang kekaguman banyak orang.
Pasalnya, konvensi merupakan sistem demokrasi yang begitu terbuka dan tak ada satu partai melakukan hal seperti itu. Sayang, hasil konvensi partai itu gagal memenangi pilpres dan Akbar pun harus lengser, digantikan oleh Jusuf Kalla (saat itu wapres) dalam munas di Bali tahun 2005. Meski menduduki posisi politik sebagai wapres, JK tidak mampu mempertahankan kemenangan partai dalam Pemilu 2009 karena dikalahkan oleh partai baru, yakni Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, pada munas berikutnya 2010, Kalla digantikan oleh Aburizal Bakrie. Dengan komparasi hasil kepemimpinan itu, Akbar memperlihatkan kualitas kepemimpinan politik yang mumpuni. Tidak sekadar mampu menyelamatkan Golkar dari gempuran reformasi, tetapi juga membawa partai menggapai kemenangan. Di sinilah posisi penting Akbar. Dia menjadi sumbu penghubung antara Golkar masa lalu dan Golkar era reformasi yang masih eksis hingga sekarang. Sebagai orang yang dibesarkan melalui dunia aktivis kemahasiswaan dan kepemudaan, Akbar menganut prinsip politik keterbukaan. Secara sederhana, dia menyebutnya dengan ”komunikasi dan konsensus”. Injeksi Politik Dalam konteks inilah publik melihat kelebihan Akbar yang membedakannya dari dua penggantinya, Jusuf Kalla dan Aburizal. Kepemimpinan JK dan Ical belum memperlihatkan kekuatan konsolidasi organisasi. Karena itu, secara internal di lapis bawah, kekuatan politik Akbar masih terasa sebagai potensi yang layak diperhitungkan, bahkan bisa lebih kuat dibanding Ical. Akbar juga organisastoris andal dan sangat menjunjung nilai-nilai demokrasi. Sepertinya sangat kecil kemungkinannya jika ia dianggap mencoba mendongkel kepemimpinan Ical. Justru, sebagaimana sering ia tegaskan, tujuan dari semua langkah politiknya itu demi memenangkan Golkar.
Sebagaimana
kita ketahui, dalam dua kontestasi pilpres secara langsung (2004 dan 2009), calon
Golkar selalu kalah dan pengalaman itu menimbulkan trauma politik. Politikus
yang baik, selalu menjadikan pengalaman sebagai alat ukur terhadap proyeksi
politik. Dalam konteks ini, Akbar sedang berimajinasi dan bereksperimen
bagaimana kelak calon Golkar menjadi mainstream yang mampu mengantarkan pada
kemenangan.
Jika membaca fenomena ini secara semantik, sesungguhnya Akbar tengah memerankan diri sebagai teks politik multitafsir. Pertama; permintaannya ke DPP untuk kembali mengevaluasi pencapresan Ical bermakna agar infrastruktur partai bekerja dengan baik untuk menaikkan elektabilitasnya. Tapi bisa juga dibaca bahwa mengingat elektabilitasnya tak kunjung membaik, perlu memunculkan figur alternatif dengan menyerap aspirasi pada tingkat arus bawah partai. Kedua; karena Akbar telah banyak mendengar dan menyerap aspirasi ketidakpuasan pada tingkat arus bawah, dia hendak menunjukkan bahwa capres dari Golkar tak cukup diputuskan secara formal tetapi harus bekerja dan melakukan konsolidasi secara efektif, sehingga infrastruktur partai dapat bekerja simultan. Di sini dia hendak membuka ruang kompetisi baru secara dinamis untuk menghidupkan suasana internal. Jika DPP merespons langkahnya itu secara berlebihan, termasuk menjatuhkan sanksi, sangat mungkin ruang kompetisi baru itu menjadi jalan lebar bagi Akbar untuk mendapatkan injeksi politik lebih besar sehingga mampu mengangkatnya menjadi magnet sentral dalam percaturan politik 2014. Secara psikologis, publik cenderung mendukung dan memihak figur yang mendapat perlakuan sewenang-wenang politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar