|
Layakkah
Banjir Ciliwung
Diatasi oleh
Terowongan Multifungsi?
Siswoko Sastrodihardjo ; Pengamat Banjir, Dirjen Sumber Daya Air (2005-2007)
|
KOMPAS,
09 Januari 2013
|
Akhir-akhir ini marak
diberitakan, untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta akan segera dibangun deep
tunnel. Banyak orang pasti bertanya-tanya, seperti apa deep tunnel yang
dimaksudkan Gubernur DKI itu dan bagaimana cara kerjanya sehingga bisa
mengendalikan banjir. Penulis menduga, yang dimaksud Gubernur DKI itu adalah deep tunnel reservoir atau terowongan
multifungsi (TM) yang fungsi utamanya mengendalikan banjir.
Banjir adalah meluapnya
air dari palung sungai akibat debit air yang mengalir lebih besar daripada
kapasitas palung sungai. Luapan air menimbulkan genangan di dataran banjir.
Seki- tar 50 persen kawasan DKI tumbuh dan berkembang di dataran banjir 13
sungai, termasuk Sungai Ciliwung, sehingga genangan akibat luapan telah
menimbulkan masalah sejak dahulu.
Masalah itu kian meningkat
seiring laju pertumbuhan lahan di dataran banjir menjadi kawasan permukiman
dan perkotaan yang pesat. Pertumbuhan itu selama ini dibiarkan dan risiko
terjadinya genangan tak dipedulikan.
Upaya mengatasi banjir dan
genangan yang sudah populer di seluruh dunia adalah gabungan berbagai upaya
yang bersifat struktur dan nonstruktur, integrated flood management, yang
bertujuan menekan besarnya masalah, kerugian, atau bencana akibat banjir,
tetapi itu tak dapat mutlak menghilangkan masalah.
Berbagai upaya struktur
yang telah diterapkan di DKI sejak zaman Belanda antara lain berupa kanal
banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi,
sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air
pasang, dan pintu air pengatur.
Waduk pada umumnya berada
di permukaan tanah yang terben- tuk dengan dibangunnya bendungan. Waduk-waduk yang relatif
besar di Indonesia umumnya mempunyai fungsi multiguna. Lokasi waduk sebagai
pengendali banjir harus berada di hulu daerah yang terkena banjir.
Fungsi waduk pengendali
banjir adalah memperkecil atau meredam debit puncak banjir sehingga debit
banjir di bagian hilir waduk menjadi lebih kecil dibandingkan sebelum ada
waduk. Dengan debit banjir yang lebih kecil, luapan banjir akan berkurang
pula.
Pernah Diusulkan PU
Situ yang banyak terdapat
di Jabodetabek merupakan waduk yang berfungsi sebagai pengendali banjir.
Waduk pada sistem polder yang banyak dibangun di DKI bukan untuk meredam puncak banjir di sungai, melainkan
sebagai tempat penampung air untuk meringankan pompa air.
TM yang diberitakan
berbagai media massa tampaknya sama dengan yang pernah diusulkan kepada
Departemen Pekerjaan Umum (Ditjen Sumber Daya Air) sekitar tujuh tahun lalu
oleh beberapa teman dari luar Departemen Pekerjaan Umum. Bila asumsi ini
benar, penulis telah mengenal ide itu dan telah ikut membahasnya secara
rinci.
Waduk yang berupa
terowongan bawah tanah itu berdiameter 12 meter dan berada 17 meter di bawah
permukaan tanah, memanjang dari Kalibata (inlet) sampai Pluit (outlet)
sepanjang 23 kilometer. Mengeluarkan air dari terowongan masuk ke laut harus
dengan pompa. Sistem itu konon ditargetkan dapat meredam puncak banjir Sungai
Ciliwung sebesar 100 meter kubik per detik sehingga debit banjir Sungai
Ciliwung di hilir Kalibata berkurang 100 meter kubik per detik dan muka air
banjir di hilir Kalibata akan lebih rendah sekitar 0,30 meter dibandingkan
tanpa TM.
TM bersifat multiguna,
antara lain pada musim kemarau atau pada saat kering dimanfaatkan untuk jalan
bebas hambatan. Biaya pembangunannya Rp 17 triliun. Biaya operasional dan
pemeliharaannya sudah pasti amat sangat mahal dibandingkan dengan waduk di permukaan
tanah. Di samping itu, masalah sedimen dan sampah di Sungai Ciliwung
memerlukan penanganan khusus agar tidak mengganggu pengope- rasian TM.
Sebagai waduk pengendali
banjir, di musim hujan terowongan harus diupayakan agar selalu kosong
sehingga selalu siap diisi air banjir kapan pun diperlukan. Pengosongan itu
dilakukan dengan pompa sehingga terdapat kemungkinan terowongan belum sempat
dikosongkan (karena telah terisi air banjir) ternyata sudah datang banjir
berikutnya yang kemungkinan debitnya justru lebih besar daripada debit banjir
sebelumnya. Pada keadaan seperti itu, TM lumpuh dan tak berfungsi sehingga
tidak terjadi peredaman puncak banjir.
Masalah itu dapat diatasi
dengan menggunakan sistem prakiraan banjir yang supercanggih agar dapat
meramalkan dengan tepat kapan terjadinya puncak banjir tertinggi dan seberapa
besar debit puncaknya. Dengan demikian, dapat diketahui secara dini kapan
terowongan harus dikosongkan menyongsong datang- nya banjir besar itu.
Contohnya, puncak banjir tertinggi Sungai Ciliwung pada musim hujan 1995/1996
terjadi pada 10 Febru- ari 1996 dan musim hujan 2006/2007 terjadi pada 3-4
Februari 2007.
Selain biaya
pembangunannya yang sangat mahal, pengoperasian dan pemeliharaan sistem TM
itu juga sangat rumit dan mahal. Bila TM tidak dibangun, air banjir Sungai
Ciliwung seluruhnya mengalir ke hilir, sebagian besar mengalir lewat Kanal
Banjir Barat (KBB) dan bermuara di laut. Sebesar 50 meter kubik per detik
dialirkan ke Ciliwung Lama yang diatur dengan pintu air Manggarai, seperti
halnya yang sudah berjalan di lapangan sampai saat ini.
Ketiadaan peredaman puncak
banjir di Kalibata membuat muka air banjir, termasuk di KBB, lebih tinggi
0,30 meter daripada bila dengan TM. Dengan kata lain, manfaat TM sebagai
pengendali banjir Sungai Ciliwung dapat digantikan dengan meninggikan tanggul
0,30 meter saja.
Misalkan, panjang tanggul
kanan dan kiri Sungai Ciliwung, termasuk tanggul KBB dari Kalibata sampai
muara, adalah 46.000 meter. Diasumsikan konstruksi tanggul dengan beton
dengan lebar dan tebal peninggian masing-masing 0,30 meter. Maka, volume
beton untuk peninggian tanggul adalah 4.140 meter kubik. Bila harga beton K
350 di Jakarta Rp 1.000.000 per meter kubik, peninggian tanggul hanya
memerlukan biaya Rp 4,14 miliar. Sungguh amat sangat kontras bila
dibandingkan dengan biaya pembangunan TM Rp 17 triliun. Di samping itu, tanpa
TM sama sekali tidak diperlukan pengoperasian yang rumit.
Tak salah bila dengan
biaya Rp 17 triliun, masyarakat bermimpi dan berharap DKI bebas banjir.
Namun, analisis sederhana ini kiranya cukup menjawab pertanyaan dalam judul
tulisan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar