Rabu, 09 Januari 2013

Kekuatan Negara dan Elemen Militer


Kekuatan Negara dan Elemen Militer
Connie Rahakundini Bakrie ;   Pengajar Pascasarjana
FISIP HI UI dan HI Universitas Nasional 
SINDO,  09 Januari 2013



Umat manusia hidup sudah lebih dari 4000 tahun, tetapi hanya 800 tahun kita semua terbebas dari perang. Seperti di hutan rimba, hukum survival of the fittest berlaku dalam peradaban manusia. 

Bagaimana kita menjawab sepenggal mimpi bangsa tentang kekuatan atau power sebuah negeri bernama Indonesia harus dirancang, dibangun, dan dijaga dari segala bentuk perang yang sewaktu-waktu bisa hadir di antaranya mungkin dapat dipelajari dari negeri liliput Israel. Kekuatan negara adalah kemampuan dan ketangguhan dalam membina, mengembangkan, serta mempertahankan kehidupan politik suatu negara dari segala potensi risiko dan ancaman, baik pada waktu perang maupun damai. 

Maka, fondasi bagi negara untuk menjaga eksistensinya adalah melalui pembangunan kekuatan pertahanan yang tangguh. Efektivitas kekuatan militer menjadi persoalan penting dalam membangun kekuatan negara di mana hal ini akan terukur dari kekuatan maximum combat power. Dalam tradisi realisme, suatu negara harus memiliki kekuatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang dianggap berpotensi mengganggu kepentingan nasionalnya. 

Karena,tidak ada suatu negara pun yang dapat menjamin bahwa negara lain tidak akan menggunakan kapabilitas kekuatan militer, baik dengan negosiasi politik ataupun diplomasi dan perang, demi mencapai kepentingan nasionalnya. Kaum idealis cenderung melihat politik internasional dengan sudut pandang idealistis yang memaksa kita lebih fokus pada cara bagaimana mengubah negara berhubungan satu dengan lainnya serta memiliki agenda menciptakan tata aturan internasional yang damai. 

Padahal,menurut Morganthau, setiap tindakan negara diwujudkan dalam rangka memperjuangkan national interest masing-masing. Artinya, setiap negara memiliki perspektif berbeda mengenai orientasi dan arah kepentingan nasionalnya. Dalam sebuah sistem, di mana tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara, menjadi normal bagi setiap negara untuk memiliki power agar dapat terjaga dari serangan negara lain. 

Untuk memperbesar power, negara dapat memilih strategi aliansi. Aliansi menjanjikan keuntungan biaya yang dikeluarkan untuk membangun elemen pertahanan dapat ditekan karena bergabung dalam aliansi berarti memultiplikasi kemampuan pertahanan. 

Adalah menarik untuk membandingkan Indonesia dan Israel. Mengapa Israel? Secara historis kedua negara ini memiliki kesamaan sejarah pembentukan militernya, yang dikenal sebagai the national liberation army. Peringkat kekuatan Israel berdasarkan data CIA berada di urutan ke-11, sementara Indonesia di urutan ke- 14. 

Padahal, dari aspek teritorial, luas Israel hanya 1,1% dibandingkan Indonesia dan jumlah populasi Israel hanya sekitar 3% dari Indonesia. Ini membuat kedua negara menjadi menarik untuk diperbandingkan. Jumlah penduduk Israel mencapai 7.590.758 jiwa dengan luas wilayah sebesar 20.770 km2.Kekuatan personel yang dimiliki IDF mencapai 160.000 prajurit berikut tentara cadangan 408.000 prajurit. 

Artinya setiap 1 personel IDF menjaga sekitar 45 penduduk dan hanya perlu menjaga wilayah seluas 130m2. Sementara penduduk Indonesia mencapai 248.216.193 jiwa dengan perbandingan jumlah prajurit terhadap penduduk yang sangat tidak ideal, 1 prajurit TNI diharuskan menjaga 664 penduduk dan dipaksakan untuk mampu menjaga wilayah sekitar 5,2 km2.

Perhitungan ini jelas menunjukkan bahwa faktor jumlah penduduk Indonesia yang besar kurang mampu dikelola sebagai salah satu faktor penting elemen kekuatan negara. Militer Israel (IDF) jauh lebih kuat dan modern dibandingkan TNI.Anggaran pertahanan Israel mencapai 7,5% GDP.Jumlah ini secara gradual menurun dibandingkan tahun 1984 yang mencapai 24% GDP. 

Sementara alokasi anggaran pertahanan Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan dari 29% GDP pada 1970 dan mencapai titik terendah 0,6% PDB pada 2009. Sejak kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948, negara ini telah terlibat dalam 6 inter-state war, 3 civil war, dan 160 operasi militer bersifat militarized interstate disputes. 

Adapun sebaran operasi militer perang di Indonesia pada periode 1945–2004 mencapai 249 operasi (89x lebih banyak dari Israel) untuk menangani ancaman tiga jenis musuh internal (GAM, OPM, dan kelompok radikal Islam) serta musuh eksternal: penjajah, komunis, Malaysia, dan Fretilin. 

Di Israel, terdapat 45 partai politik, sementara di Indonesia terdapat 34 partai (2009). Artinya, dinamika politik di parlemen tidak ada perbedaan. Namun, di Israel, jika terdapat isu terkait dengan persoalan pertahanan dan keamanan, tidak ada satu pun pertentangan politik yang akan muncul terkait dengan alokasi anggaran, postur militer dan tentara cadangan, gelar operasi, serta pengadaan senjata. Partai-partai politik di Israel sangat menyadari bahwa tercapainya kepentingan nasional jauh melebihi kepentingan partai sehingga integrasi partai politik di Israel tetap terwujud. 

Tiga keterbatasan Israel, yaitu faktor geografis, demografis maupun ketersediaan SDA, tidaklah dimiliki Indonesia. Ancaman yang membayangi Indonesia cenderung bersifat ketidakmampuan nonfisik untuk mengelola kemampuan fisik yang given, mencakup wilayah, penduduk, dan SDA berikut ancaman langsung atau tidak langsung dari external super-power.

Padahal, negara yang memiliki wilayah yang luas, strategis, dan kaya akan resources seperti Indonesia, selain diberi “keuntungan” berlimpah, sesungguhnya diberi pula sumber ancaman ekstra. Intervensi AS dengan kepentingannya tecermin sejak tahap awal berdirinya Israel dan bertujuan memperkuat posisi kemitraan strategis sebagai penghadang ancaman secara langsung di kawasan Timur Tengah terhadap keamanan nasional AS.

Dalam perkembangannya ke depan,AS akan berupaya memengaruhi keseimbangan kawasan Indo-Pasifik yang jelas akan mencakup kawasan Asia Tenggara. Hal yang mendasari pergeseran strategi AS itu dikarenakan pengembangan militer China dalam “Strategi Dua Samudera” yang akan tergelar pada 2020 dan 2050, ancaman sengketa maritim LCS dan Laut China Timur, penerapan strategi pencapaian Freedom of Navigation & Active Engagement Policy di mana AS merasa perlu untuk memperluas zona kedalaman pertahanannya. 

Intervensi AS di kedua kawasan tidak semata berkaitan dengan upaya untuk menghadapi potensi ancaman terkait aspek geopolitik, tetapi juga terkait perebutan sumber daya dan jalur-jalur strategis militer serta perdagangan. Negara dengan elemen militer yang kuat akan mampu mengantisipasi pengaruh kekuatan external superpower yang dapat berimplikasi langsung, pada perumusan kebijakan politik pembangunan kekuatan negara. 

Intervensi AS ke berbagai negara Jazirah Arab mampu ditangkap Israel untuk menekan potensi ancaman geopolitik dan malah memberikan keuntungan terhadap Israel. Dalam konteks Indonesia, dampak yang akan dihadapi adalah bagaimana strategi kebijakan politik luar negeri “non-blok” akan berimplikasi pada keamanan Indonesia di masa mendatang, khususnya dalam penanganan spill over dari AS bersama negara-negara aliansinya, untuk menghadapi kekuatan China di 2050. 

Indonesia terlihat kurang mengantisipasi busur-busur ancaman kerja sama keamanan regional masa depan yang diprakarsai aliansi AS bersama negaranegara tetangga dan dipastikan akan melampaui selat-selat suprastrategis Indonesia. Konsekuensinya,negara harus mampu menaikkan kemampuan resistensi terhadap elemen ESP melalui penguatan elemen ekonomi dan militer yang mandiri atau mencapainya melalui sebuah strategi aliansi untuk menciptakan kekuatan yang diperlukan.

Permasalahan mendasar terletak pada proses sinergi yang terletak pada perbedaan persepsi antarinstitusi dan elite negara dalam memahami cara untuk membangun kekuatan negara dan memahami adanya hubungan saling memengaruhi antara strategi pembangunan kekuatan ekonomi dengan strategi pembangunan kekuatan militer. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar