Bukan Obat
Macet
Sarlito Wirawan Sarwono ; Psikolog Sosial
|
KOMPAS,
09 Januari 2013
Sejawat saya, Prof Paulus
Wirutomo, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, akhir-akhir ini hobi
naik kereta api dari rumahnya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, ke Kampus UI
Depok. Pergi-pulang, tanpa menunggu diberlakukannya peraturan pelat nomor
ganjil/genap! Padahal, selama ini dia selalu naik mobil dengan sopir.
Begitu juga anak saya,
Dimas. Kantornya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Rumahnya di Bintaro,
Tangerang Selatan. Dia pilih naik kereta api CommuterLine. Sedikit
berdesakan, tetapi kurang dari setengah jam sudah sampai di kantor.
Lebih baik daripada pegal
injak kopling mobil selama dua jam sekali jalan. Jam berangkat pun harus
lebih pagi. Jadi, intinya, tanpa disuruh atau diatur-atur pun, orang dengan
sendirinya akan memilih moda transportasi yang lebih menguntungkan (tak
selalu mesti lebih nyaman).
Sebaliknya, berbagai
bentuk pengaturan hampir selalu gagal. Konsep 3 in 1 tak membuat Jalan
Sudirman-Thamrin lengang. Pasalnya, baik pengendara maupun petugas sama-sama
sulit diatur.
Adanya teknologi canggih,
seperti traffic management centre
(TMC), memang menolong. Orang bisa monitor kemacetan lewat Twitter
@TMCPoldaMetro, tetapi kemacetan itu sendiri tak berkurang. Bahkan, kini
obrolan orang-orang yang biasa naik kendaraan pribadi tentang bagaimana
menyiasati perda ganjil/genap itu: agar, walaupun hanya punya satu kendaraan
bermotor, tetap bisa keluar tiap hari.
Pasalnya, ada orang-orang
(termasuk saya) yang tidak hanya berangkat dari rumah ke kantor dan pulang.
Selama bekerja mereka harus mondar-mandir ke sana kemari mencari atau
mengerjakan pekerjaannya. Mereka punya mobilitas yang tinggi, yang tidak bisa
diatasi, bahkan dengan sistem angkutan umum semacam mass rapid transportation (MRT).
Itu pula sebabnya hampir
semua kota besar yang pernah saya kunjungi, termasuk yang punya MRT canggih
seperti Tokyo, New York, London, Paris, Kuala Lumpur, dan Singapura, tidak
pernah lepas dari kemacetan. Selama orang masih memilih moda transportasi
yang paling menguntungkan, selama itu pula jalanan tidak akan bebas dari
kemacetan.
Dulu, zaman saya masih
kuliah, Jalan Matraman-Salemba-Kramat-Senen sudah macet. Sekarang juga macet.
Apa bedanya? Namun, sekarang jauh lebih banyak pilihan angkutan umum: dari
ojek sampai bus transjakarta. Dulu, bus Salemba-Rawamangun bukan bus biasa,
melainkan bus TAVIP, yaitu angkutan model truk tentara, dipasangi tenda.
Penumpang, termasuk mahasiswa dan mahasiswi, harus naik dengan bergelantungan
di tali.
Kebijakan Prorakyat
Kesalahan yang sangat
mendasar dari kebanyakan orang, termasuk Pemprov DKI Jakarta sekarang
(Jokowi-Basuki), adalah mau memberantas kemacetan dengan mengembangkan sistem
angkutan umum (MRT). Dua hal itu (MRT dan macet) bukan sebab-akibat.
Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Kesalahan pikir itu menyebabkan
sekarang pun orang sudah protes bahwa bus transjakarta menyebabkan macet.
Apalagi kalau mau ditambah dengan ratusan bus, apa tidak malah makin macet?
Akan tetapi, menambah
ratusan bus baru dan membuka jalur bus baru justru merupakan kebijakan yang
sangat tepat. Apalagi, ditambah dengan monorel, kereta api CommuterLine,
peremajaan Kopaja, metromini, dan sebagainya. Itu adalah kebijakan yang
benar-benar prorakyat. Bukan hanya rakyat miskin, melainkan semua rakyat yang
membutuhkan transportasi cepat, aman, dan murah.
Pasti akan tetap ada yang
ingin naik kendaraan pribadi, termasuk mereka yang berasal dari golongan
menengah ke bawah. Sebutlah seperti kurir surat/paket, tukang reparasi
panggilan, atau salesman. Demikian pula mereka yang berasal dari golongan
atas, seperti konsultan yang harus rapat ke sini-ke situ, tinjau lokasi,
pabrik, dan lain-lain.
Setiap peluang pasti akan
mereka manfaatkan untuk kepentingannya. Jadi, kalau ada satu ruang yang
lowong karena ada satu orang yang pindah dari mobil ke MRT, ruang lowong itu
pasti akan diisi orang lain karena dalam psikologi ada teori supply creates
demand.
Masalah Pemprov DKI masa
lalu adalah bahwa penyediaan prasarana untuk kendaraan-kendaraan pribadi
sengaja dibuat. Alih-alih mengembangkan MRT, di masa lalu investasi
dituangkan semua ke tol, jalan layang nontol, terowongan, jembatan layang
(ada jembatan, tetapi tidak ada sungainya), dan sebagainya yang tujuannya
adalah untuk mengurangi kemacetan. Pembangunan monorel malah mandek karena
alasan yang tidak jelas.
Akibat dari penyediaan
prasarana ini, kebutuhan akan kendaraan pribadi pun melonjak luar biasa. Alhasil,
akibatnya adalah kemacetan yang juga luar biasa seperti yang kita alami
sekarang.
Jadi, kebijakan
Jokowi-Basuki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI untuk menggenjot
pengembangan MRT sudah paling top markotop, asal jangan diikuti ambisi untuk
mengurangi kemacetan. Kalau mau membuat Jakarta tidak macet, sering-sering
saja membuat Harpitnas alias ”hari kejepit nasional” yang panjang, seperti
liburan Tahun Baru kemarin atau liburan Lebaran. Walaupun kantor-kantor sudah
buka, dijamin Jakarta akan lebih sepi daripada zaman saya masih kuliah dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar