KOMPETISI GLOBAL
China Selalu
Mulai dari Dasar
Abun Sanda ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Januari 2013
Pada tahun 1992 atau 13 tahun setelah China
mulai mempraktikkan dua sistem dalam satu negara, kota Beijing, Shanghai, dan
Guangzhou masih merupakan kampung raksasa. Infrastruktur buruk dan kemiskinan
menyeruak secara dramatis. Jangankan di dunia, di Asia saja perekonomian
China sungguh ketinggalan!
Beijing, ibu kota negara dengan penduduk
1,4 miliar jiwa ini, sangat memelas. Pada malam hari, kota gelap gulita
karena tidak banyak kawasan ibu kota diterangi lampu penerangan.
Gedung-gedung tinggi mematikan lampunya pada malam hari. Akibatnya
jalan-jalan kota, terutama jalan-jalan besar, disungkup gulita.
Pada pagi hari, mulai pukul 06.00, jalan
raya-jalan raya Beijing yang umumnya terdiri atas enam lajur sampai sepuluh
lajur sesak oleh arus manusia bersepeda. Ratusan ribu bahkan jutaan manusia
bersepeda melaju cepat mirip ombak yang menerjang-nerjang deras. Mereka
memenuhi ratusan kilometer jalan-jalan di Beijing dan sekitarnya. Banyak juga
mobil dan bus, tetapi jumlahnya tak sebanding dengan sepeda. Tak ayal, mobil
ibarat tergulung ombak manusia bersepeda. Pemandangan dramatis ini terasa menggetarkan.
Kemiskinan rakyatnya terasa menyesakkan.
Flat-flat umumnya tidak dilengkapi lift. Daya beli masyarakat rendah karena
gaji mereka di bawah standar. Di desa-desa, keadaannya lebih memelas.
Jalan-jalan antarprovinsi buruk. Perjalanan dengan bus, yang menempuh jarak
400 kilometer, acap ditempuh selama 26 jam. Bandara penuh sesak manusia yang
ingin terbang ke pelbagai kota. Mereka mesti antre beberapa pekan untuk
mendapatkan tiket pesawat karena sedemikian banyaknya warga yang ingin
bepergian.
Akan tetapi, dengan determinasi yang amat
tinggi, China terus maju ke depan. Pertumbuhan ekonomi dan investasi tinggi,
dua instrumen yang akan memakmurkan China dan membuka lapangan pekerjaan,
terus dipacu dengan kecepatan luar biasa. Bayangkan, pertumbuhan ekonomi
berlari cepat: rata-rata di atas 13 persen per tahun. Negara mana yang mampu
memacu pertumbuhan ekonominya sedemikian tinggi?
Lalu pada tahun 2012 atau ”hanya” 20 tahun
sejak saat dramatis dan memelas itu, China sudah menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Cadangan devisanya saja 3,25 triliun
dollar AS. Bahkan Amerika Serikat yang kini masih bertakhta sebagai negara
dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, Jepang di urutan nomor tiga,
Jerman di urutan nomor empat, dan Inggris di urutan nomor lima tidak
mempunyai cadangan devisa sebanyak itu. Hal yang menarik, ekonomi Amerika
Serikat selamat dari krisis ekonomi yang berat karena China turun tangan
memberi dana talangan dan membeli saham perusahaan-perusahaan raksasa Amerika
Serikat. Kini keadaannya terbalik, Amerika Serikatlah yang berutang pada
China. Amerika Serikatlah yang memohon bantuan ”Negeri Tirai Bambu” itu. Yang
hebat, keadaan berbalik hanya dalam tempo 20 tahun.
Apa yang membuat China mampu membalikkan
keadaan ”dalam waktu sekejap”? Inilah pertanyaan yang banyak mengemuka saat
ini. Mengapa negara yang terengah-engah akibat Revolusi Kebudayaan
(1966-1976) serta miskin karena sangat menutup diri itu dapat seketika
menjadi negeri raksasa ekonomi dan bahkan politik?
Menurut pengamatan Kompas, juga menurut pengakuan warga
China, selama puluhan tahun tertutup dan tidak nyaman selama era Mao tidak
membuat bakat bisnis yang hebat, pantang menyerah, dan etos kerja rakyat
China lesap. Maka ketika Deng Xiaoping mencanangkan dua sistem dalam satu negara, China dapat mengubah diri.
Deng yang tenang selalu brilian tidak
langsung menerapkan dua sistem dalam
satu negara di seluruh negara. Ia menjadikan beberapa kota semacam laboratorium ekonomi, di antaranya
Shenzhen di selatan China. Dalam diam, tanpa banyak hiruk pikuk, China
menyerap investasi asing hingga triliunan dollar Amerika Serikat, angka yang
sangat fantastis. Sebagai perbandingan, Indonesia berharap menyerap investasi
asing sebesar 50 miliar dollar Amerika Serikat per tahun saja susahnya bukan
main.
Pemimpin China meletupkan semua bakat
rakyatnya untuk melonjakkan pertumbuhan ekonomi. China pun, terutama pada
masa awal dua sistem dalam satu negara,
mengajak para usahawan dunia keturunan Tionghoa untuk membangun usaha di
daratan China. Yang paling mencolok menanam investasinya adalah usahawan
Hongkong, Makau, Taiwan, dan dari pantai barat Amerika Serikat. Para
industriawan Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang juga ramai-ramai membuka
industri di sini. Inilah salah satu faktor pemicu amat tingginya pertumbuhan
ekonomi China.
Akan tetapi, terlepas dari aspek-aspek
tersebut, ada sejumlah faktor menentukan yang membuat ekonomi China
berkembang luar biasa. Pertama, pembangunan infrastruktur sangat luas dan
menyentuh pelosok-pelosok pedalaman China. Ini secara signifikan memacu
ekonomi, membuka sekat-sekat daerah yang selama ini tertutup, dan membuat
rakyat leluasa bergerak. Bayangkan, setiap tahun, jalan raya yang dibangun
mencapai paling kurang 70.000 kilometer. Ini belum termasuk sarana lain,
seperti bandara-bandara dengan luas minimal setara Bandara Sultan Hasanuddin,
Makassar. Lalu pelabuhan-pelabuhan samudra dibangun di banyak kota besar.
Salah satu hal yang mencolok adalah sarana
jalan di kota-kota tier satu, di antaranya Beijing, Shanghai
dan Guangzhou. Di Beijing, misalnya, meski sudah ada subway, jalan tol dan
jalan lingkar tetap dibangun. Jalan lingkar di Beijing kini berjumlah lima
buah, dan jalan lingkar keenam menunggu penyelesaian. Bandingkan dengan
Jakarta yang menyelesaikan satu jalan lingkar saja terengah-engah.
Kedua, China membangun kawasan-kawasan
industri dalam bentuknya yang raksasa. Industri pesawat terbang, kapal selam,
kapal angkutan, senjata api, mobil rakyat kecil dan mobil luks, sepeda motor,
hampir semua barang elektronik, serta pelbagai kebutuhan manusia lainnya
dibangun dengan kapasitas serba besar.
Industri-industri China berkembang jauh
dari dugaan awal. Mengapa? Sederhana, pasar dalam negeri China sendiri sudah
amat luas. Bayangkan, misalnya, industri pena, sepatu, dan pakaian jadi.
Berapa produksinya setiap tahun? Kalau setiap penduduk China menggunakan dua
pena setiap tahun, satu (saja) pasang sepatu setiap tahun, dan dua lembar
pakaian setiap tahun, lalu jumlah penduduk China mencapai 1,4 miliar jiwa,
maka pabrik di China mesti memproduksi masing-masing 2,8 miliar pena, 1,4
miliar pasang sepatu, dan 2,8 miliar pakaian setiap tahun.
Bisa dibayangkan betapa sibuk industri
dalam negeri memenuhi kebutuhan domestik, Padahal, China adalah eksportir
pelbagai jenis pena, pakaian, sepatu, dan beragam produk lain. Konsumen
tinggal pilih, produk asli (bukan tiruan) atau produk KW1 atau KW2. Konsumen
tinggal memilih. Hal yang menarik diamati adalah siapa yang bisa melawan
China yang memproduksi aneka jenis barang dagangan dengan cara massal begitu. Semakin besar kapasitas industri, efisiensi
bisa diraih. Artinya adalah negara lain susah melawan harga yang disodorkan
China.
Ada kisah menarik tentang hal ini. Suatu
ketika ada produk korek api gas Jerman yang laris manis. Pengusaha China
melihat ini sebagai peluang, lalu ia membuat juga korek api yang sama
mutunya. Namun, kalau produk Jerman hanya menghasilkan warna api merah,
produk pengusaha China bisa menghasilkan tiga warna api, yakni merah, kuning,
dan biru. Hal ini masih ditambah harga jual separuh harga korek api buatan
Jerman. Bisa diduga produk Jerman langsung kalah di pasar.
Contoh ini hanya beberapa kisah tentang
superioritas ekonomi China yang sangat fantastis dalam waktu singkat. Dalam
beberapa hal kita bisa menarik pelajaran, di antaranya karakter kerja keras,
etos kerja, dan naluri bisnis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar