Lanskap Baru
Politik 2014
Muhammad Qodari ; Direktur
Eksekutif Indo Barometer
|
KOMPAS,
12 Januari 2013
Hasil rapat pleno KPU soal verifikasi
faktual parpol peserta Pemilu 2014 diperkirakan meloloskan 10 partai dari 34
yang mendaftar ke KPU (Kompas, 8/1). Ke-10 partai itu adalah PAN, Demokrat,
PDI-P, Hanura, Gerindra, Partai Golkar, PKB, PKS, PPP, dan Nasdem.
Bagi yang optimistis, lolosnya 10 parpol
untuk Pemilu 2014 membuka lanskap baru politik Indonesia ke depan. Lanskap
pertama, harapan bahwa pilihan masyarakat akan lebih berkualitas karena
jumlah partai jauh lebih sedikit daripada sebelumnya. Bandingkan jumlah
parpol peserta Pemilu 2014 dengan Pemilu 1999 yang 48 parpol, 2004 (24), dan
2009 (38).
Pilihan yang sedikit ini diharapkan
kondusif untuk masyarakat membuat pilihan berkualitas. Apalagi 9 dari 10
parpol yang lolos adalah partai lama yang sudah dikenal kiprahnya, baik di
legislatif, eksekutif, di media, maupun di masyarakat. Jadi, masyarakat punya
catatan tentang kinerja mereka. Pemilu 2014 akan menjadi hari penilaian bagi
parpol-parpol tersebut.
Harapan yang lebih berkualitas juga
diharapkan terjadi untuk level calon anggota legislatif (caleg). Berkurangnya
jumlah partai secara signifikan secara dramatis juga mengurangi jumlah caleg.
Lanskap berikutnya, kemungkinan perubahan
wajah politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini terjadi
perbedaan situasi antara konstelasi politik di pusat (DPR) dan di daerah
(DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Jika di pusat hanya ada 9 partai
politik, di daerah jumlah parpol jauh lebih banyak sehingga lebih
”hiruk-pikuk”. Di DPRD 2009, jumlah parpol lebih banyak sebagai kombinasi
dari tiadanya ambang batas parlemen untuk masuk DPRD dan jumlah peserta
pemilu 38 parpol. Akibat tak ada ambang batas parlemen untuk DPRD, tak ada
kursi DPRD yang ”hangus” seperti terjadi di DPR.
Pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi, aturan
Pemilu 2014 hanya memberlakukan ambang batas di tingkat nasional seperti pada
2009 (sebelum keputusan itu ambang batas juga berlaku di tingkat daerah).
Namun, dengan jumlah peserta pemilu yang hanya 10 parpol, jumlah parpol di
DPRD juga tidak akan lebih dari 10. Ini membuat komposisi parpol di DPRD
kurang lebih akan sama dengan DPR. Perbedaannya pada posisi dan jumlah kursi
sesuai daerah masing-masing.
Skeptisisme
Jika analisis di atas menampilkan
kemungkinan perubahan dan harapan pada Pemilu 2014, bagian berikut
menampilkan kekhawatiran dan skeptisisme. Skeptisisme pertama adalah kinerja
DPR hasil Pemilu 2014. Disinyalir salah satu sebab rendahnya produktivitas
legislasi DPR akibat jumlah partai dan fraksi yang terlalu banyak di Senayan.
Salah satu solusinya mengurangi jumlah
partai dan fraksi di DPR dengan ambang batas parlemen. Namun, ambang batas 3
persen yang ditetapkan untuk Pemilu 2014 (naik 0,5 persen dibanding Pemilu
2009) diduga tidak akan mampu mengurangi jumlah parpol di DPR secara
signifikan. Bahkan, bukan mustahil jumlah parpol di DPR justru naik dari 9 ke
10 parpol, dengan asumsi 9 partai lama dan satu partai baru (Nasdem) semua
mendapat suara di atas ambang batas. Kemungkinan ini besar karena Hanura
sebagai partai ”bontot” dalam Pemilu 2009 meraih suara di atas 3 persen pada
pemilu itu. Sementara Nasdem telah menembus suara di atas 3 persen dalam
aneka survei akhir-akhir ini.
Skeptisisme berikutnya soal wajah politik
nasional Indonesia secara umum di masa yang akan datang. Mafhum diketahui
banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja parpol, politisi, dan aneka
lembaga pemerintahan. Kenyataan bahwa 9 dari 10 parpol yang lolos pemilu
adalah partai lama dapat ditafsirkan: wajah politik Indonesia ke depan tidak
akan berubah banyak karena aktornya secara garis besar yang itu-itu saja.
Termasuk peta calon presiden yang notabene akan keluar dari parpol-parpol
tersebut di atas.
Sekarang, bagaimana cara menjawab potensi
kekecewaan tersebut di atas? Soal ambang batas tidak mungkin diubah. Karena
itu, harus diterima kemungkinan jumlah parpol di DPR tetap 9 atau malah jadi
10. Berdasarkan pengalaman pemilu di era Reformasi, memang angka ambang batas
yang bisa memangkas jumlah parpol di DPR adalah minimal 5 persen. Solusinya
adalah memperbaiki mekanisme pembahasan UU di DPR dan di tiap parpol agar
target legislasi dapat tercapai.
Adapun solusi kekecewaan terhadap parpol di
masa depan secara inheren terkandung dalam mekanisme demokrasi itu sendiri.
Dalam demokrasi diharapkan terjadi proses reward and punishment (hadiah dan
hukuman) dari masyarakat terhadap peserta pemilu dan selanjutnya proses
belajar dan memperbaiki diri dari para peserta pemilu itu terhadap
kesalahannya. Saya meyakini mekanisme hadiah dan hukuman itu berlaku dalam
politik Indonesia. Buktinya PDI-P yang menang Pemilu 1999 bisa kalah di 2004,
sedangkan Partai Golkar yang menang di 2004 kalah di 2009, sementara hasil
survei menunjukkan dukungan terhadap Demokrat yang menang Pemilu 2009 turun.
Tentang calon presiden 2014, ada tiga
langkah untuk memunculkan alternatif wajah calon pemimpin nasional. Pertama,
menurunkan aturan presidential threshold (ambang batas capres) Pemilu 2009
yang mencapai 20 persen suara dan/atau 25 persen kursi. Pilihan yang mudah
adalah ”menyamakan”-nya dengan ambang batas parlemen, yakni 3 persen, untuk
mengajukan pasangan calon sendiri. Namun, melihat pengalaman politik selama
ini, agaknya angka itu akan bertemu di tengah, yaitu di rentang 10 persen-15
persen. Kedua, partai membuka kesempatan kepada tokoh-tokoh muda untuk tampil
sebagai calon. Ketiga, partai membuka pintu bagi tokoh-tokoh di luar partai.
Agamis vs Nasionalis
Lepas dari harapan dan skeptisisme terhadap
calon peserta Pemilu 2014, jumlah peserta yang 10 sebetulnya kian mendekati
opini masyarakat. Paling tidak ini terungkap dari hasil berbagai survei, di
antaranya survei oleh Indo Barometer pada Juni 2008 dan Agustus 2010.
Secara ideologi, 10 partai peserta pemilu
juga cukup mencerminkan konstruksi ideologi parpol di Indonesia yang kerap
dibagi dalam dua spektrum. Untuk spektrum partai agamis/berbasis massa agama
versus nasionalis/sekuler, ke-10 partai itu dapat dibagi dalam partai agamis
(PKS, PPP, PAN, PKB) dan nasionalis (PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat,
Gerindra, Hanura, Nasdem).
Dalam spektrum partai agamis, ada dua
subspektrum, yakni agamis Islam dan Kristen. Subspektrum agamis Islam bisa
dibagi lagi dalam sub-subspektrum agamis Islam modernis dan agamis Islam
tradisionalis. Adapun yang hilang dalam 10 parpol peserta Pemilu 2014 adalah
wakil dari subspektrum agamis Kristen.
Sementara untuk spektrum partai nasionalis,
dapat dibagi lagi dalam subspektrum kanan/developmentalis versus kiri/
populis. Tentu penggolongan ini relatif dan dapat diperdebatkan. Akan tetapi,
pesannya adalah: walau jumlah partai peserta pemilu menurun jauh dibandingkan
2009, sebetulnya cukup mewakili spektrum ideologi politik yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar