“Blusukan”
Wijayanto Samirin ; Deputi
Rektor Universitas Paramadina;
Co-founder and Managing
Director Paramadina Public Policy Institute
|
KOMPAS,
12 Januari 2013
Beberapa bulan terakhir, kata ”blusukan”
tiba-tiba menjadi sangat populer di telinga kita. Harus diakui, peran Jokowi
sebagai media darling sangat kental dalam hal ini.
Kalau kita google kata tersebut, dalam 0,19
detik muncul 1,37 juta link. Kata ”blusukan” seolah naik kasta, dari sekadar
bahasa informal di kampung-kampung Jawa menjadi istilah penting kebijakan
publik.
Dalam bahasa Jawa, ”keblusuk” berarti
”tersesat ”. Maka ”blusukan” berarti ”sengaja menyesatkan diri untuk
mengetahui sesuatu”. Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika Presiden SBY
melakukan hal serupa beberapa hari lalu. Meskipun diberi istilah turun ke
bawah atau turba, esensinya tetap sama, bertemu langsung dengan rakyat dan
melihat keadaan di lapangan.
Dalam konteks kebijakan publik, pertemuan
tersebut sangatlah penting. Ia berperan sebagai wahana bagi pemimpin untuk
menangkap aspirasi rakyat secara langsung. Ia bisa mengurangi panjang rantai
birokrasi sebagai penyebab agency problem, saat anak buah sebagai agent di
lapangan berupaya mengambil keuntungan untuk dirinya ketika pimpinan tidak
mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Agency problem dalam keseharian tidak
selalu menampakkan diri dalam bentuk manfaat finansial, tetapi juga bisa
berwujud bureaucracy inertia atau keengganan birokrasi untuk melakukan
tugasnya; birokrasi yang malas dan santai.
Dalam konteks good governance, turba atau blusukan juga mengurangi peran para policy entrepreneur , yaitu mereka
yang hidup seperti benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan. Entrepreneur
jenis ini berperan sebagai penghubung antarkelompok kepentingan dengan para
pengambil keputusan. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, mereka
berupaya mengegolkan berbagai kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.
Meskipun penting, blusukan hanyalah puncak
dari sebuah gunung es. Ia merupakan bagian kecil di awal dari proses
mendapatkan inspirasi untuk menyusun rencana kerja dan di akhir sebagai ajang
untuk memantau hasil kinerja birokrasi di lapangan. Namun, permasalahan
pemerintah lebih dari itu.
Dalam siklus perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengontrolan (planning,
organizing, actuating, controlling), blusukan hanya merupakan bagian
sangat awal dari proses perencanaan dan sangat akhir dari pengontrolan. Ia
menjadi masukan awal untuk menyusun rencana sekaligus bagian akhir untuk
melihat hasil di lapangan.
Dalam konteks ini, masih banyak pekerjaan
rumah yang harus dituntaskan. Dari penyusunan anggaran, pelaksanaan di
lapangan, hingga proses pemantauan memerlukan peran para elite, baik itu
tokoh partai politik, birokrasi, maupun kalangan bisnis. Dialog dengan para
elite tersebut perlu dibangun. Dalam konteks ini, selain melakukan blusukan
tipe satu (blusukan ke masyarakat), pemimpin juga harus melakukan blusukan
tipe dua, yaitu blusukan kepada para elite untuk mendapatkan dukungan.
Di Amerika Serikat, tugas utama Presiden
Obama adalah menelepon para politisi agar gagasannya mendapat dukungan.
Misalnya, untuk memuluskan kebijakan terkait debt ceiling, fiscal cliff, dan Obamacare, dia secara aktif melobi para lawan politiknya dengan
menelepon anggota kongres satu persatu.
Di Indonesia, apa yang dilakukan Jusuf
Kalla (JK) perlu menjadi catatan penting. Dari informasi yang saya terima, JK
tidak hanya sangat aktif blusukan di lapangan, tetapi juga di kalangan para
elite.
Dalam satu kesempatan, JK pernah
mengatakan, dukungan jutaan rakyat diperlukan untuk memenangi pemilu dan
menjadi pemimpin, tetapi untuk menjalankan roda pemerintahan secara efektif
diperlukan dukungan sekitar 500 elite saja. Maka, JK pun memiliki 500 nomor
kontak para elite tersebut dan secara rutin blusukan melalui pembicaraan
telepon dan SMS, terkadang dilanjutkan dengan sarapan pagi.
Dampaknya, berbagai permasalahan besar
seperti perdamaian di Aceh, Ambon, dan Poso, juga kenaikan harga BBM dan
konversi minyak tanah ke elpiji bisa diselesaikan tanpa keributan.
Dalam konteks ini, blusukan tipe satu yang
dilakukan Pak SBY ataupun Pak Jokowi perlu dilanjutkan dengan blusukan tipe
dua. Sayangnya, hal tersebut belum dilaksanakan optimal sehingga berbagai ide
bagus hasil blusukan belum tentu masuk rencana kerja pemerintah.
Manfaat blusukan sebenarnya tidak kecil,
tetapi cukup banyak pihak yang buru-buru mencap blusukan sebagai upaya
pencitraan. Mungkin sebagian besar masyarakat sudah jenuh dengan ulah para
politisi dan calon kepala daerah yang hanya mendekati konstituen mereka
menjelang pemilihan. Setelah terpilih, rakyat tidak lagi dihampiri.
Fenomena blusukan saat ini sedikit lain
karena terjadi saat periode kepemimpinan berlangsung. Apakah aktivitas itu
sekadar pencitraan atau benar untuk mewujudkan aspirasi rakyat, bisa
dideteksi melalui tiga hal berikut. Pertama, politisi dan pejabat publik
mempunyai path dependence, tidak mudah bagi mereka mengubah gaya.
Apabila
pada masa lalu ia tidak dekat dengan rakyat, saat blusukan pasti ada yang
aneh. Misalnya, bahasa tubuh dan bahasa tuturnya tidak pas dengan situasi.
Kalau ini yang terjadi, bisa jadi yang dilakukan cuma pencitraan.
Yang kedua, ada keterkaitan kuat antara
bidang yang menjadi tanggung jawabnya dan aktivitas blusukan yang dilakukan.
Apabila tidak terlalu terkait, patut diduga blusukan tidak lebih dari upaya
membangun citra.
Yang terakhir, upaya pencitraan biasanya
hanya berhenti di media tanpa realisasi nyata. Berbagai janji pejabat saat
blusukan, apabila tidak diikuti dengan program kerja yang jelas dan terukur,
tentu bisa ditebak arahnya. Manusia tidak hidup di atas tumpukan sensasi,
tetapi prestasi.
Blusukan menjanjikan hal positif bagi
perbaikan pemerintah dan birokrasi. Ia tidak saja menjadi sumber inspirasi
para pemimpin sebagai ”seniman kebangsaan” yang harus mencari inspirasi dari
rakyat dan mewujudkannya untuk rakyat, tetapi juga berpotensi memperbaiki
birokrasi kita yang cenderung malas dan tidak memosisikan diri sebagai abdi
rakyat.
Sayang, justru blusukan sebagai upaya
pencitraan terasa semakin kuat sehingga tidak terlalu banyak tokoh yang
memanfaatkannya sebagai aktivitas demi kepentingan publik.
Para pemimpin dan pejabat sudah selayaknya
tidak ragu lagi meniru langkah Jokowi, JK, ataupun SBY. Tidak perlu terlalu
khawatir jika upaya tersebut dicurigai sebagai pencitraan karena terdapat
perbedaan yang jelas antara pencitraan dan kerja keras untuk memakmurkan
rakyat. Waktu akan membuktikan, mereka yang blusukan untuk tujuan pencitraan
semata akan keblusuk atau tersesat betulan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar