Kamis, 10 Januari 2013

Setelah RSBI & SBI Dibubarkan


Setelah RSBI & SBI Dibubarkan
Abdul Mu’ti ;   Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M),
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
SINDO,  10 Januari 2013



Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang mengejutkan. Beberapa waktu lalu MK mengabulkan gugatan Muhammadiyah dan elemen masyarakat atas Undang- Undang (UU) Migas Nomor 22/2001. 
Konsekuensinya, BP Migas yang sudah eksis dalam satu dasawarsa harus dibubarkan. Kemarin (8/1/2013), MK menerima permohonan gugatan masyarakat atas Pasal 50 (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Pasal yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional,” dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Keputusan MK tersebut berdampak sangat luas.Secara yuridis Pasal 61 Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang mengatur pendirian sekolah dan perguruan tinggi bertaraf internasional batal demi hukum. Hal yang sama berlaku pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 29/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Yang lebih serius lagi, ribuan RSBI dan SBI harus dibubarkan. Pengertiannya,bukan berarti sekolahnya ditutup, tetapi hanya status atau peringkatnya sebagai RSBI dan SBI. 

Elite Bukan Elitis 

RSBI dan SBI memang sekolah yang elite.Peserta didik di RSBI dan SBI disyaratkan memiliki kecerdasan di atas rata-rata tes inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai rata-rata 7,5,dan kemampuan bahasa Inggris. Persyaratan pendidik dan tenaga kependidikan juga sangat tinggi. Minimal 10% guru SD, 20% SMP, dan 30% guru SMA berpendidikan S-2/S-3 dari perguruan tinggi yang terakreditasi. 

Selain sarana dan prasarana yang lengkap, proses pembelajarannya berbasis TIK dengan sistem perpustakaan digital. RSBI dan SBI terakreditasi oleh BAN-S/M dengan peringkat A: 96-100 serta memiliki jaringan dan kerja sama dengan sekolah di negara OECD dan negaranegara maju yang lainnya. Jer basuki mawa bea. Adagium Jawa tersebut juga berlaku di RSBI dan SBI. Sesuai dengan Permendiknas 78/2009 RSBI dan SBI diperbolehkan memungut “tambahan” biaya dari masyarakat.

Biaya sekolah di RSBI dan SBI membubung tinggi. RSBI dan SBI menguras anggaran negara dan mengisap dana masyarakat yang sangat besar.Akronim RSBI sering diplesetkan menjadi “Rintihan Sekolah Bertarif Internasional”. Dalam perkembangannya, RSBI dan SBI berubah menjadi sekolah kelas elite intelektual, sosial, dan ekonomi. Hanya kalangan tertentu yang dapat menikmati layanan RSBI dan SBI. 

Amar putusan MK yang menerima permohonan uji material Pasal 50 (3) UUSPN 20/2003 didasarkan atas beberapa pertimbangan. Penyelenggaraan RSBI dan SBI oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan. RSBI dan SBI dinilai diskriminatif dan menimbulkan kasta sekolah. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga dianggap melunturkan nasionalisme, bertentangan dengan UUD tentang bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah. 

RSBI dan SBI memang merupakan sekolah yang elite, tetapi tidak berarti elitis. RSBI dan SBI adalah sekolah yang terbuka.Sepanjang memenuhi persyaratan, setiap peserta didik berkesempatan belajar di RSBI dan SBI. Pasal 16 (1) Permendiknas 78/2009 memang mensyaratkan peserta didik pada RSBI dan SBI bersedia membayar pungutan untuk menutupi kekurangan biaya pendidikan. Tapi, persyaratan tersebut tidak berlaku bagi peserta didik yang tidak mampu. 

Kesempatan belajar di RSBI dan SBI memungkinkan peserta didik dari keluarga tidak mampu berhasil meraih prestasi akademik dan berbagai kejuaraan. RSBI dan SBI wajib mengalokasikan bantuan atau beasiswa untuk peserta didik miskin minimal 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Kesimpulan bahwa RSBI dan SBI diskriminatif terjadi lebih karena ekses pelaksanaan yang menyimpang, bukan karena peraturannya. 

Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya tidak dipergunakan pada seluruh mata pelajaran. Karena itu tidak sepenuhnya benar jika dikatakan RSBI dan SBI mengikis nasionalisme dan perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Eksistensi RSBI dan SBI juga mampu mengurangi kecenderungan keluarga mampu untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri. 

Layanan Pendidikan Bermutu 

Dibubarkannya RSBI dan SBI menjadi sekolah biasa tidak berarti meniadakan layanan pendidikan yang bermutu. Adalah hak konstitusional bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.Pemerintah dan pemerintah daerah memegang amanah UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memfasilitasi dan menjamin penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. 

Layanan pendidikan yang bermutu memang tidak harus mahal, tetapi tidak berarti gratis. Ini berarti alokasi anggaran pendidikan harus ditingkatkan.Alokasi 20% APBN untuk pendidikan hanyalah sekitar 4% dari PDB. Angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan negara- negara lain. Menjadi sekolah biasa tidak berarti mengubah peringkat akreditasi RSBI dan SBI. Sepanjang belum habis masa berlakunya, peringkat akreditasi RSBI dan SBI tetap sebagaimana semula (A). 

Persyaratan akademik pendidik dan tenaga kependidikan tetap dipertahankan. Demikian pula dengan persyaratan kepala sekolah yang harus berpendidikan minimal S-2. RSBI dan SBI tetap dikembangkan sebagai satuan pendidikan untuk peserta didik dengan kemampuan akademik yang tinggi dan bakat istimewa bagi lahirnya generasi bangsa yang berkualitas. Pemerintah juga harus berusaha meningkatkan satuan pendidikan yang lainnya sehingga setara dengan mutu RSBI dan SBI. 

Jika pemerintah dan masyarakat tidak memberikan layanan pendidikan yang bermutu, bangsa Indonesia akan semakin tenggelam di tengah kemajuan pendidikan negaranegara lain. Sekolah bermutu yes! Sekolah mahal no! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar