|
JAWA
POS, 23 Januari 2013
DI tengah sorotan persoalan
korupsi yang menimpa sejumlah perwira di lembaga kepolisian, DPR telah
menyetujui penambahan anggaran untuk kepolisian dalam menangani kasus-kasus
korupsi. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dalam jumpa pers akhir tahun
mengatakan, jumlah penambahan anggaran yang diatur dalam APBN 2012 itu setara
dengan yang diterima KPK.
Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Mabes Polri (Bareskrim) Polri Brigjen Pol Nur Ali mengungkapkan, Polri tahun ini mendapat anggaran penyidikan korupsi Rp 250 miliar. Penyidikan per kasus dialokasikan Rp 208 juta, naik Rp 39 juta per kasus daripada tahun lalu Rp 169 juta. Anggaran tersebut berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. (Jawa Pos, 21 Januari). Brigjen Nur Ali mengatakan, Polri menyelesaikan 660 kasus korupsi pada 2012. Target pada 2013 ialah menuntaskan 616 kasus. Dengan kenaikan anggaran tersebut, anggaran penyidikan tindak pidana korupsi oleh penyidik Polri di seluruh wilayah Indonesia (sampai ke tingkat satuan polres) setara dengan anggaran penyidikan korupsi yang diterima KPK. Tentu saja itu menjadi angin segar bagi jajaran penyidik tipikor Polri. Hal itu sekaligus menjadi jawaban pemerintah atas alasan ketidakmaksimalan Polri dalam memberantas korupsi selama ini. Dengan penambahan anggaran itu, Polri tidak bisa lagi mengelak atau berdalih kekurangan anggaran dalam pemberantasan tipikor. Tuntutan penambahan anggaran itu sejak awal disuarakan pimpinan lembaga kepolisian untuk memaksimalkan kinerja mereka dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sebab, penanganan korupsi memungkinkan membutuhkan waktu yang lama, dua hingga tiga tahun. Bahkan, penanganan beberapa kasus korupsi kakap sampai lima tahun belum tuntas. Penyidik Polri yang ditugaskan sebagai penyidik tindak pidana korupsi akan dihadapkan kepada beberapa tantangan. Pertama, penyidikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus membutuhkan kemampuan (skill) tersendiri. Kemampuan tidak hanya menyangkut taktik dan teknis penyidikan, namun juga harus bisa menempatkan diri dalam modern investigation. Kejahatan korupsi ibaratnya memiliki dunia tersendiri, berbeda dengan dunia kejahatan yang sifatnya tradisional, atau konvensional. Orang-orang yang terlibat dalam kejahatan korupsi merupakan kalangan terdidik, menguasai regulasi, dan mempunyai atau berada di lingkar kekuasaan. Skill atau kemampuan sebagai penyidik korupsi terbentuk melalui proses, bukan dengan tiba-tiba pasca pendidikan atau pelatihan-pelatihan. Kedua, meningkatnya anggaran penyidikan korupsi hingga satuan kepolisian tingkat polres memberikan satu tantangan psikologis untuk lebih berani mengungkap kasus korupsi yang dilakukan bupati atau wali kota. Selama ini beban psikologis diatasi dengan pelimpahan perkara di tingkat polda. Dengan beban target minimal dua perkara di tiap polres, kebijakan pelimpahan itu perlu dikaji ulang. Sebab, bila msaing-masing polres pada 2013 menyidik kasus korupsi kepala daerah, tentu polda akan kewalahan. Karena itu, solusinya adalah tetap memberikan kewenangan kepada penyidik polres untuk menyidik perkara korupsi kepala dearah yang terjadi di wilayahnya, tanpa harus melimpahkan ke polda. Alasan psikologis karena Kapolres berada dalam satu forum komunikasi daerah atau dulu dikenal muspida (musyawarah pimpinan daerah) harus dikesampingkan. Ketiga, peluang untuk lebih memaksimalkan kinerja dalam pemberantasan korupsi, selain tambahan anggaran, itu dikuatkan dengan telah dianulirnya oleh MA keharusan izin presiden untuk memeriksa kepala daerah yang diduga terlibat dalam tindak pidana. Selama ini berlarut-larutnya penanganan korupsi yang menyangkut kepala daerah terbentur kepada masalah izin. Jadi, pada 2013 ini, tidak ada lagi alasan bagi Polri untuk tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Alasan klise yang selama ini dijadikan dalih, yaitu minimnya anggaran dan izin presiden bagi pemeriksaan kepala daerah, sudah tidak relevan lagi. Masyarakat tentunya menunggu bentuk keseriusan kinerja Polri dalam pemberantasan korupsi. Komitmen yang sering diucapkan petinggi Polri menjadi sebuah janji yang harus ditepati. Dan yang lebih penting, ibarat hendak membersihkan kamar orang lain, sebaiknya membersihkan kamar sendiri terlebih dahulu. Polri harus bersih dari budaya korupsi. Harus ada beda tegas antara aparat dan koruptor yang diusut. Bila itu mampu dilaksanakan, niscaya citra Polri akan berkibar pada 2013 ini. Itu yang dicita-citakan korps kepolisian dan masyarakat, bukan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar