Persoalan
Jembatan Selat Sunda
Hasjim Djalal ; Pakar Hukum Laut Internasional
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Januari 2013
SEPERTI telah pernah saya tulis (Media
Indonesia, 24 Mei 2008), usaha Indonesia untuk mencapai persatuan bangsa,
kesatuan negara, dan keutuhan Nusantara telah melewati waktu yang sangat
panjang. Dewasa ini, usaha-usaha untuk mempersatukan bangsa dan memulihkan
perkembangan perekonomian di seluruh dunia telah dan sedang dilakukan dengan
meningkatkan connectivity nasional,
regional, dan internasional, antara lain melalui pembangunan jembatan dan terowongan-terowongan.
Tidak hanya dalam suatu negara, tetapi juga antarnegara dan antarbenua.
Dalam hal ini, salah satu program besar yang
telah dicanangkan pemerintah ialah pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS).
Jembatan itu untuk menghubungkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa yang merupakan
2 dari 5 pulau besar di Indonesia, tempat lebih dari setengah penduduk
Indonesia tinggal dan mencari nafkah. Dalam pada itu, telah terdengar pula
keinginan dari Korea Selatan untuk membangun jembatan antara Pulau Batam dan Pulau
Bintan (Metro TV, 27 Desember 2012, Media Indonesia, 28 Desember 2012).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan JSS yang akan melintas di kawasan laut yang dalam UU Indonesia
telah dinyatakan sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan
pembangunan jembatan tersebut jangan sampai mengganggu pelayaran
internasional, khususnya pelayaran transit.
Terkait dengan ALKI, ketika kapal induk USS
Abraham Lincoln melewati ALKI I dalam perjalanannya dari Singapura ke Samudra
Hindia pada April 2008, saya dan beberapa perwira tinggi TNI (AL dan AU)
diundang berkunjung ke kapal raksasa tersebut. Kapal tersebut lewat di Selat
Sunda di sebelah timur Pulau Sangiang (di luar sumbu ALKI), tetapi tetap
dalam batas 25 mil sebelah timur dan tenggara dari sumbu ALKI. Menurut
pengamatan radar mereka, sebelah barat dan barat daya Pulau Sangiang cukup
ramai traffic-nya dan demi keselamatan, mereka memilih lewat sebelah timur
dan tenggara.
Penentuan Safety Zone
Di antara cara yang dapat ditempuh untuk menjamin
keselamatan pelayaran di Selat Sunda ialah dengan menetapkan safety zone di sekitar tiang-tiang
jembatan yang menjadi dasar jembatan tersebut. Walaupun ada ketentuan safety zone di landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif, tidak ada ketentuan khusus mengenai safety zone itu di dalam perairan
kepulauan dalam Konvensi Hukla 1982. Dengan demikian, kiranya Indonesia dapat
menetapkan safety zone di
sekeliling tiang-tiang utama JSS tersebut, yang lebarnya dapat bergantung
pada jarak antara tiang-tiang yang melintas di atas ALKI dan faktor-faktor
hidrografis dan topografis yang tetap menjamin keselamatan kapal yang lewat
tanpa mengganggu keamanan jembatan.
Menurut Pasal 53 (6) Konvensi Hukla 1982,
Indonesia v juga dapat menetapkan TSS (traffic separation scheme) untuk
keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang melalui jalurjalur pelayaran yang
sempit di dalam ALKI. Kiranya dapat dipertimbangkan menetapkan TSS di selat
tersebut dengan Pulau Sangiang sebagai bagian dari pemisah alur.
Namun, hal itu perlu dipertimbangkan dengan
melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian
Perhubungan karena akan memerlukan pembicaraan dengan International Maritime
Organization (IMO) di London, Inggris.
Selain itu, mengingat kawasan yang akan dilewati
JSS sudah dinyatakan JSS sudah dinyatakan sebagai kawasan taman wisata alam,
khususnya Pulau Sangiang dan perairan sekitarnya, kiranya perlu pula
diperhatikan agar pembuatan jembatan tidak berpengaruh negatif terhadap
kelestarian taman wisata alam di Pulau Sangiang dan perairan sekitarnya.
Untuk itu, data-data kehutanan di sekitar JSS tersebut, khususnya di Pulau
Sangiang dan Pulau Panjurit, perlu diketahui.
Sejumlah Pertimbangan
Saya mencatat di antara keberatan-keberatan
yang sering dikemukakan para pengamat mengenai rencana JSS. Pertama, JSS
terlalu dekat dengan Gunung Krakatau dan subduction zone di Samudra Hindia di
sepanjang barat Sumatra dan selatan Jawa, yang akan membuat jembatan tersebut
sangat rawan terhadap gempa dan tsunami.
Argumentasi tersebut tentu ada benarnya,
tetapi itu masalah teknis dan engineering. Perlu diingat, dahulu juga banyak
kekhawatiran semacam itu mengenai pembangunan gedung-gedung tinggi di Jakarta
karena khawatir terhadap bahaya gempa. Akan tetapi, hal itu kelihatannya secara
teknis dapat diatasi. Begitu juga halnya dengan jembatan-jembatan lain di
dunia yang sampai sekarang tetap aman walaupun berdekatan dengan daerah
patahan, seperti Golden Gate di mulut Teluk San Francisco dan
jembatan-jembatan lainnya antara San Francisco dan Oakland melalui Teluk San
Francisco yang berdekatan dengan San Andreas Fault, suatu daerah yang secara
geologis sangat rawan di Amerika Serikat. Begitu juga halnya dengan Jembatan
Messina yang sedang dibangun untuk menghubungkan Pulau Messina dengan daratan
Italia yang juga dekat dengan Gunung Pompeii yang pernah meletus dan
menghancurkan Kota Pompeii beberapa abad yang lalu.
Saya mencatat pandangan dari para ahli
teknologi dan konstruksi bahwa hal itu memang masalah dan harus diatasi.
Namun, menurut mereka, sudah ada teknologi untuk itu se hingga JSS bisa aman
dan punya nilai ekonomis selama 100-200 tahun mendatang. Kedua, biaya pemba
ngunan jembatan sangat tinggi, yang bisa mencapai kira-kira US$10 miliar
(sekitar Rp96,3 triliun) dalam jangka pembangunan yang bisa mencapai 10-15
tahun dan jumlah yang besar itu kiranya akan lebih bermanfaat jika dibelikan
kapal-kapal feri yang barangkali lebih murah. Memang pembangunan JSS tidak
akan murah atau mudah, tetapi kiranya rencana biaya pembangunan JSS masih
jauh lebih murah daripada rencana pembangunan Jembatan Selat Malaka yang
pernah disebut-sebut pihakpihak tertentu di Malaysia yang diperkirakan akan
memakan biaya lebih dari US$16 miliar (sekitar Rp154 triliun). Sementara itu,
Jembatan Oresund antara Swedia dan Denmark dahulu memakan biaya lebih dari
US$160 miliar (sekitar Rp1,5 biliun). Menurut informasi, JSS tidak akan
dibiayai dari APBN.
Ketiga, mungkin saja pembangunan feri akan
lebih cepat dan lebih murah. Tanpa mengurangi arti penting meningkatkan
kemampuan feri melalui Selat Sunda, untuk masa kini dan masa depan yang
dekat, kelihatannya umur ekono mis dari feri terbatas dan jauh lebih pendek
daripada umur jembatan. Di samping itu, kapasitas feri juga terli hat semakin
hari semakin sulit mengejar pertum buhan lalu lintas barang, manusia, dan
kenda raan antara Sumatra dan Jawa. Dengan memperhatikan struk tur geografis
Indonesia, kiranya pengembangan sistem feri tersebut untuk jangka panjang
dipusatkan ke Indonesia bagian tengah dan timur, yang sangat memerlukannya
untuk menghubungkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh satu sama lain.
JSS malah akan memfasilitasi pemerintah untuk dapat mengalihkan APBN di Selat
Sunda ke transportasi antarpulau yang lebih efektif di Indonesia bagian
tengah dan timur.
Keempat, ada pula beberapa pendapat di dalam
negeri yang seolah-olah menyatakan bahwa pembangunan JSS tidak sejalan dengan
visi maritim dan kelautan Indonesia, tetapi lebih bervisi ke daratan. Visi
JSS ialah visi pemersatu bangsa dan percepatan pembangunan ekonomi negara
secara keseluruhan. Itu tidak bertentangan, malah sejalan dengan visi maritim
dan kelautan Indonesia.
Kelima, saya berpendapat pembangunan JSS
merupakan suatu prestasi besar bangsa Indonesia dalam abad ini di samping
prestasi-prestasi besar lainnya. Selain itu, JSS akan merupakan ikon dan
unsur wisata Indonesia yang luar biasa yang menunjukkan kebesaran Indonesia
yang mampu meneruskan tradisi besar bangsa membangun proyek-proyek besar
seperti Borobudur sejak lebih dari 1.000 tahun yang lalu.
Keenam, saya meyakini bangsa Indonesia ialah
bangsa besar yang terbesar di Asia Tenggara. Kita menempati letak yang sangat
strategis di dunia karena menghubungkan dua samudra dan dua benua; kita
negara dengan penduduk nomor empat terbesar di dunia setelah China, India,
dan Amerika Serikat. Kita negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah
India dan Amerika Serikat, dengan kekayaan alam yang sangat besar dan beragam
yang akhir-akhir ini dapat menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6%
setahun dan diperkirakan bisa sampai 8% setahun menjelang 2025.
Jika Indonesia mampu
membangun Borobudur dengan teknologi sederhana di tengahtengah kawasan yang
penuh dengan gunung berapi, gempa bumi, daerah-daerah patahan, dan subduction
geologis, saya percaya bangsa yang besar ini belum kehilangan visi dan jiwa
besarnya. Oleh karena itu, bangsa ini akan mampu membangun JSS dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kini sudah banyak berkembang. Semua itu demi
meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara maritim ini serta
kemajuan dan kemakmuran rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar