Jumat, 04 Januari 2013

Persoalan Jembatan Selat Sunda


Persoalan Jembatan Selat Sunda
Hasjim Djalal ;  Pakar Hukum Laut Internasional
MEDIA INDONESIA,  03 Januari 2013



SEPERTI telah pernah saya tulis (Media Indonesia, 24 Mei 2008), usaha Indonesia untuk mencapai persatuan bangsa, kesatuan negara, dan keutuhan Nusantara telah melewati waktu yang sangat panjang. Dewasa ini, usaha-usaha untuk mempersatukan bangsa dan memulihkan perkembangan perekonomian di seluruh dunia telah dan sedang dilakukan dengan meningkatkan connectivity nasional, regional, dan internasional, antara lain melalui pembangunan jembatan dan terowongan-terowongan. Tidak hanya dalam suatu negara, tetapi juga antarnegara dan antarbenua.

Dalam hal ini, salah satu program besar yang telah dicanangkan pemerintah ialah pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Jembatan itu untuk menghubungkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa yang merupakan 2 dari 5 pulau besar di Indonesia, tempat lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal dan mencari nafkah. Dalam pada itu, telah terdengar pula keinginan dari Korea Selatan untuk membangun jembatan antara Pulau Batam dan Pulau Bintan (Metro TV, 27 Desember 2012, Media Indonesia, 28 Desember 2012).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan JSS yang akan melintas di kawasan laut yang dalam UU Indonesia telah dinyatakan sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan pembangunan jembatan tersebut jangan sampai mengganggu pelayaran internasional, khususnya pelayaran transit.

Terkait dengan ALKI, ketika kapal induk USS Abraham Lincoln melewati ALKI I dalam perjalanannya dari Singapura ke Samudra Hindia pada April 2008, saya dan beberapa perwira tinggi TNI (AL dan AU) diundang berkunjung ke kapal raksasa tersebut. Kapal tersebut lewat di Selat Sunda di sebelah timur Pulau Sangiang (di luar sumbu ALKI), tetapi tetap dalam batas 25 mil sebelah timur dan tenggara dari sumbu ALKI. Menurut pengamatan radar mereka, sebelah barat dan barat daya Pulau Sangiang cukup ramai traffic-nya dan demi keselamatan, mereka memilih lewat sebelah timur dan tenggara.

Penentuan Safety Zone

Di antara cara yang dapat ditempuh untuk menjamin keselamatan pelayaran di Selat Sunda ialah dengan menetapkan safety zone di sekitar tiang-tiang jembatan yang menjadi dasar jembatan tersebut. Walaupun ada ketentuan safety zone di landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif, tidak ada ketentuan khusus mengenai safety zone itu di dalam perairan kepulauan dalam Konvensi Hukla 1982. Dengan demikian, kiranya Indonesia dapat menetapkan safety zone di sekeliling tiang-tiang utama JSS tersebut, yang lebarnya dapat bergantung pada jarak antara tiang-tiang yang melintas di atas ALKI dan faktor-faktor hidrografis dan topografis yang tetap menjamin keselamatan kapal yang lewat tanpa mengganggu keamanan jembatan.

Menurut Pasal 53 (6) Konvensi Hukla 1982, Indonesia v juga dapat menetapkan TSS (traffic separation scheme) untuk keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang melalui jalurjalur pelayaran yang sempit di dalam ALKI. Kiranya dapat dipertimbangkan menetapkan TSS di selat tersebut dengan Pulau Sangiang sebagai bagian dari pemisah alur.

Namun, hal itu perlu dipertimbangkan dengan melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perhubungan karena akan memerlukan pembicaraan dengan International Maritime Organization (IMO) di London, Inggris.
Selain itu, mengingat kawasan yang akan dilewati JSS sudah dinyatakan JSS sudah dinyatakan sebagai kawasan taman wisata alam, khususnya Pulau Sangiang dan perairan sekitarnya, kiranya perlu pula diperhatikan agar pembuatan jembatan tidak berpengaruh negatif terhadap kelestarian taman wisata alam di Pulau Sangiang dan perairan sekitarnya. Untuk itu, data-data kehutanan di sekitar JSS tersebut, khususnya di Pulau Sangiang dan Pulau Panjurit, perlu diketahui.

Sejumlah Pertimbangan

Saya mencatat di antara keberatan-keberatan yang sering dikemukakan para pengamat mengenai rencana JSS. Pertama, JSS terlalu dekat dengan Gunung Krakatau dan subduction zone di Samudra Hindia di sepanjang barat Sumatra dan selatan Jawa, yang akan membuat jembatan tersebut sangat rawan terhadap gempa dan tsunami.

Argumentasi tersebut tentu ada benarnya, tetapi itu masalah teknis dan engineering. Perlu diingat, dahulu juga banyak kekhawatiran semacam itu mengenai pembangunan gedung-gedung tinggi di Jakarta karena khawatir terhadap bahaya gempa. Akan tetapi, hal itu kelihatannya secara teknis dapat diatasi. Begitu juga halnya dengan jembatan-jembatan lain di dunia yang sampai sekarang tetap aman walaupun berdekatan dengan daerah patahan, seperti Golden Gate di mulut Teluk San Francisco dan jembatan-jembatan lainnya antara San Francisco dan Oakland melalui Teluk San Francisco yang berdekatan dengan San Andreas Fault, suatu daerah yang secara geologis sangat rawan di Amerika Serikat. Begitu juga halnya dengan Jembatan Messina yang sedang dibangun untuk menghubungkan Pulau Messina dengan daratan Italia yang juga dekat dengan Gunung Pompeii yang pernah meletus dan menghancurkan Kota Pompeii beberapa abad yang lalu.

Saya mencatat pandangan dari para ahli teknologi dan konstruksi bahwa hal itu memang masalah dan harus diatasi. Namun, menurut mereka, sudah ada teknologi untuk itu se hingga JSS bisa aman dan punya nilai ekonomis selama 100-200 tahun mendatang. Kedua, biaya pemba ngunan jembatan sangat tinggi, yang bisa mencapai kira-kira US$10 miliar (sekitar Rp96,3 triliun) dalam jangka pembangunan yang bisa mencapai 10-15 tahun dan jumlah yang besar itu kiranya akan lebih bermanfaat jika dibelikan kapal-kapal feri yang barangkali lebih murah. Memang pembangunan JSS tidak akan murah atau mudah, tetapi kiranya rencana biaya pembangunan JSS masih jauh lebih murah daripada rencana pembangunan Jembatan Selat Malaka yang pernah disebut-sebut pihakpihak tertentu di Malaysia yang diperkirakan akan memakan biaya lebih dari US$16 miliar (sekitar Rp154 triliun). Sementara itu, Jembatan Oresund antara Swedia dan Denmark dahulu memakan biaya lebih dari US$160 miliar (sekitar Rp1,5 biliun). Menurut informasi, JSS tidak akan dibiayai dari APBN.

Ketiga, mungkin saja pembangunan feri akan lebih cepat dan lebih murah. Tanpa mengurangi arti penting meningkatkan kemampuan feri melalui Selat Sunda, untuk masa kini dan masa depan yang dekat, kelihatannya umur ekono mis dari feri terbatas dan jauh lebih pendek daripada umur jembatan. Di samping itu, kapasitas feri juga terli hat semakin hari semakin sulit mengejar pertum buhan lalu lintas barang, manusia, dan kenda raan antara Sumatra dan Jawa. Dengan memperhatikan struk tur geografis Indonesia, kiranya pengembangan sistem feri tersebut untuk jangka panjang dipusatkan ke Indonesia bagian tengah dan timur, yang sangat memerlukannya untuk menghubungkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh satu sama lain.

JSS malah akan memfasilitasi pemerintah untuk dapat mengalihkan APBN di Selat Sunda ke transportasi antarpulau yang lebih efektif di Indonesia bagian tengah dan timur.

Keempat, ada pula beberapa pendapat di dalam negeri yang seolah-olah menyatakan bahwa pembangunan JSS tidak sejalan dengan visi maritim dan kelautan Indonesia, tetapi lebih bervisi ke daratan. Visi JSS ialah visi pemersatu bangsa dan percepatan pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan. Itu tidak bertentangan, malah sejalan dengan visi maritim dan kelautan Indonesia.

Kelima, saya berpendapat pembangunan JSS merupakan suatu prestasi besar bangsa Indonesia dalam abad ini di samping prestasi-prestasi besar lainnya. Selain itu, JSS akan merupakan ikon dan unsur wisata Indonesia yang luar biasa yang menunjukkan kebesaran Indonesia yang mampu meneruskan tradisi besar bangsa membangun proyek-proyek besar seperti Borobudur sejak lebih dari 1.000 tahun yang lalu.

Keenam, saya meyakini bangsa Indonesia ialah bangsa besar yang terbesar di Asia Tenggara. Kita menempati letak yang sangat strategis di dunia karena menghubungkan dua samudra dan dua benua; kita negara dengan penduduk nomor empat terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Kita negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat, dengan kekayaan alam yang sangat besar dan beragam yang akhir-akhir ini dapat menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% setahun dan diperkirakan bisa sampai 8% setahun menjelang 2025.

Jika Indonesia mampu membangun Borobudur dengan teknologi sederhana di tengahtengah kawasan yang penuh dengan gunung berapi, gempa bumi, daerah-daerah patahan, dan subduction geologis, saya percaya bangsa yang besar ini belum kehilangan visi dan jiwa besarnya. Oleh karena itu, bangsa ini akan mampu membangun JSS dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini sudah banyak berkembang. Semua itu demi meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara maritim ini serta kemajuan dan kemakmuran rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar