Jalan Terjal
Demokrasi
|
KOMPAS,
23 Januari 2013
Demokrasi kita saat ini
sedang menginjak tahap krisis legitimasi. Suatu situasi ketika semua pranata
politik lalai menjaga batas-batas kesetiaan dan kepatuhan rakyat. Sementara
kepentingan-kepentingan ekonomi dan oligarki politik terus mendesakkan
pengaruhnya, menguasai dan menentukan hajat orang banyak.
Padahal, silogisme
universal yang semakin diterima kesahihannya mendasarkan pada premis,
demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi adalah mustahil, demikian pula
sebaliknya.
Aspirasi rakyat pada
akhirnya harus diartikulasikan dalam praksis kebijakan seluruh tatanan.
Inilah raison d’etre, cita-cita
mulia, mengapa demokrasi dibutuhkan dan dianjurkan sebagai mantra ampuh untuk
mewujudkan cita-cita bersama.
Sukma Keadilan
Redupnya antusiasme
reformasi mengantarkan kita pada dua jenis cacat sistemik yang saling
berkaitan.
Pertama, demokratisasi
kental bercorak elitis, mengadopsi kaidah arus utama yang memisahkan para
pelaku dan pegiat demokrasi berdasar peran fungsional, bukan substansi.
Akibatnya, 15 tahun berlalu, panggung tak banyak berubah. Hiruk-pikuk politik
terjerembab ke kubangan involusi, seolah-olah bergerak, sejatinya cuma
berputar-putar dengan pola ajek serupa.
Keganjilan praktik
demokrasi meruyak. Di tingkat elite, oligarki berkelindan melulu melayani
kompromi kepentingan di atas prioritas kebutuhan bangsa. Di daerah-daerah
terbentuk pseudo-monarki melalui pemanfaatan akumulasi modal politik,
kekuasaan, uang, dan fanatisme primordial. Maraknya politik kekerabatan di
berbagai daerah, selain mencederai demokrasi, juga mencemaskan prospek
keindonesiaan kita.
Apa yang diidealkan
sebagai masyarakat politik, aktif berkontribusi dan sadar hak-kewajiban
seharusnya disiapkan, conditio sine qua
non, sintesis sekaligus pembelajaran setelah 32 tahun era masa
mengambang. Kealpaan dan tiadanya kesabaran menimbulkan apa yang disebut George
Orwell (1984) sebagai a continuous
frenzy, kekacauan yang tak berkesudahan.
Malapraktik konstitusi dan
ketergesaan melansir perubahan merangsang aneka eksperimen minus hakikat.
Harapan rakyat terhadap parpol kian rendah, menjurus tak percaya seperti terlihat
pada kemerosotan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada dan sinisme atas
kinerja elite di eksekutif dan legislatif. Tak tampak kesungguhan melakukan
introspeksi, beranjak menuju partai modern, yang jelas platform ideologi, program terukur, dan perekrutan kader
berkualitas.
Ironisnya, kekuatan
pengimbang, yakni kelompok prodemokrasi, justru terserak-serak, sibuk berebut
opini di aneka pentas, tak kunjung melakukan reorganisasi dan konsolidasi.
Olle Tornquist, mahaguru politik Universitas Oslo-Norwegia, mengkritik, ”Jika
aktivis prodemokrasi tidak membangun konstituen, mengorganisasi massa dari
bawah, mereka akan termarjinalisasi. Gerakan prodemokrasi hanya akan menjadi
kelompok lobi permanen, sementara politik dimonopoli oleh orang-orang buruk.”
Kedua, kegaduhan politik
paralel dengan kerusakan banyak aspek bernegara. Yang menggelisahkan adalah
makin menjauhnya sukma keadilan dalam bangun ekonomi kita. Ketimpangan
distribusi pendapatan mencolok, indeks Gini Ratio mencapai 0,41. Sebuah
petunjuk telah terjadi penumpukan aset pada segelintir orang/perusahaan.
Majalah Forbes (29/11)
merilis data, 40 orang superkaya Indonesia memiliki harta setara Rp 850
triliun, bandingkan dengan 42,1 juta pekerja formal yang berbagi pendapatan
senilai Rp 1.450 triliun per tahun. Mayoritas pekerja tidak beroleh jaminan
dan perlindungan memadai.
Perusahaan asing menguasai
dan mengelola bagian terbesar sumber daya alam. Utang pemerintah dan swasta
membengkak. Utang pemerintah (termasuk utang luar negeri) per November 2012
Rp 1.990 triliun, sedangkan utang luar negeri swasta mencapai 123,27 miliar
dollar AS per September 2012.
Data itu merefleksikan
paradoks kronis bila disandingkan klaim pertumbuhan tinggi, kenaikan pesat
jumlah kelas menengah, dan derasnya arus investasi. Minimalnya mitigasi
risiko utang dan terbuai capaian makro yang tak mengejawantah pada
kesejahteraan rakyat banyak mengingatkan sikap puas diri otoritas 1990-1997.
Kita juga perlu
merenungkan ekses hegemoni peradaban industrial-kapitalistis dengan dukungan
politik negara yang meminggirkan prinsip keadilan sosial. Tandanya, muncul
gejala anomi dan alienasi. Anomi adalah situasi absennya norma, yang hadir
semua berbentuk penyimpangan. Adapun alienasi merupakan manifestasi dari
depersonalisasi masif. Keduanya tumbuh subur akibat marjinalisasi. Dua jenis
patologi sosial yang mengendap dalam keperihan kolektif, bila tidak tersedia
jalan damai, mudah berubah menjadi anarki, bahkan revolusi.
Contoh sudah terlalu
banyak. Konsorsium Pembaruan Agraria mendata ribuan kasus laten sengketa
lahan perkebunan-pertambangan antara rakyat dan perusahaan swasta dan BUMN.
Eskalasi protes buruh kian sering terjadi. Semua itu menunjukkan kemacetan
mengurai persoalan.
Kita belajar dari sejarah.
Tatkala kapitalisme agraris awal, banjir modal ”menerjang” Jawa menyertai
hadirnya ratusan perusahaan perkebunan (onderneming)
Belanda paruh kedua abad XIX, Ronggowarsito (1802-1874) merekam pelapukan
sosial. Pujangga Keraton Surakarta itu menyindir perilaku menyedihkan kaum
elite. ”Jika zaman sudah rusak atau Kaliyuga, tidak ada yang melebihi orang
kaya. Orang pandai, berani, ulama/pertapa/ pendeta berilmu tinggi, semua
menyembah dan menghadap orang kaya” (Serat
Nitisastro: Tembang Kusumowicitro, 1913).
Nasionalisme Kreatif
Berkhidmat pada konstitusi,
kita menyesalkan praktik politik-ekonomi yang melenceng dari cita-cita
proklamasi. Sejajar dengan warisan komplikasi masa lalu, konsentrasi perlu
diarahkan untuk mengikis ”penyakit” endemis, yakni elitisme (terutama
kejahatan kerah putih terstruktur), marjinalisasi, dan ketimpangan.
Nurcholish Madjid (1999) khawatir, jika euforia politik tak berakhir dan
mengarah chaotic, Indonesia bisa
terperosok ke lembah kesalahan yang sama. Rakyat lelah, frustrasi dengan
politik, dan kembali menoleransi munculnya ”orang kuat”.
Dalam beberapa dasawarsa
terakhir, koreksi atas dampak predatorik liberalisasi datang dari ekonom
berpengaruh, peraih Nobel, penggugat mashab mainstream, seperti Gunnar
Myrdal, Hernando de Soto, Mohammad Yunus, Amartya Zen, Joseph E Stiglitz, dan
Eric Stark Maskin. Ketakpastian, asimetri redistribusi aset, dan pendapatan
di era pasar terbuka mewajibkan tiap negara melindungi kepentingan rakyat.
Pesannya jelas, pengambil kebijakan yang ”kenyang” pelajaran krisis ekonomi
dunia dua dekade terakhir semestinya mulai condong, bersikukuh membela
keadilan dan kemandirian.
Bertumpu pada asumsi tren
laju pertumbuhan tinggi dan bonus demografi, tim Visi Indonesia 2030 meyakini
bangsa ini bakal jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per
kapita 18.000 dollar AS per tahun dan minimal 30 perusahaan Indonesia masuk
daftar Fortune 500. Dari pengalaman negara-negara maju, resep generiknya
sama, yakni bangkit, berbiaknya nasionalisme kreatif. Negara aktif
memfasilitasi daya cipta dan kreasi anak bangsa.
Karakteristik nasionalisme
ini adalah necessary condition,
padanan cerdas globalisasi. Fondasinya, pendidikan berkualitas tinggi,
terbangun basis sosial- kultural pro-kemajuan, birokrasi bersih-profesional,
politik profetik melembaga, hukum tegak, dan bekerjanya roh konstitusi.
Karena denyut politik-ekonomi kita abnormal, pendakian ke arah itu agaknya
masih harus melewati jalan terjal dan berliku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar