Sekali Lagi,
Status Jakarta
|
KOMPAS,
23 Januari 2013
Banjir yang melanda
Jakarta, Kamis, 17 Januari 2013, bagai melumpuhkan kehidupan kota dan warganya.
Diberitakan, Gubernur Joko Widodo jalan-jalan di Jalan MH Thamrin yang
tergenang air.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengarungi Ciliwung yang meluap menggunakan
sebuah Sea Rider. Apa pun tujuan
dan langkah yang diambil, yang pasti keduanya menunjukkan empati dan simpati
terhadap rakyatnya yang kesusahan, dan itu pantas dilakukan.
Namun,
pangkal masalah pokoknya sungguh memerlukan jawaban. Banjir dan kemacetan di
tengah kesemrawutan penataan ruang yang tidak pernah kunjung usai, kebutuhan
infrastruktur jalan serta kanal penyalur banjir dan pembuangan air yang besar
sekali biayanya, serta rekayasa lalu lintas dan kondisi tanda serta pengatur
jalan yang buruk bukanlah masalah kronis yang dapat cepat selesai.
Mungkin
berlebihan meski sekadar berharap, apalagi menuntut, gubernur DKI dapat
menyelesaikan itu semua dalam masa jabatannya. Belum lagi kontribusi negatif
masyarakat dengan disiplin sosialnya yang rendah: mengemudi seenaknya,
melakukan kegiatan usaha di tempat sesukanya, dan membuang sampah semau
sendiri.
Apa
pun alasannya, sebaiknya potret keadaan tersebut segera dipikirkan bersama
dan diakhiri. Warga banyak sekali menuntut, bahkan cepat marah dengan segala
kesemrawutan itu. Namun, sumpah seranah memang tidak menyelesaikan apa pun.
Datanglah ke inti persoalan dan ambillah sikap yang jelas. Kalau harus
bersandar pada kemampuan pemerintah daerah sendiri, tampaknya tidaklah
mungkin semua itu rampung.
Untuk
urusan jalan tol saja gubernur DKI akhirnya harus bicara dengan Menteri
Pekerjaan Umum karena beberapa elemen penting dalam pembangunannya memang
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Begitu juga untuk meneruskan pembangunan
MRT. Untuk urusan PPD saja, Gubernur Joko Widodo harus bicara (dan tanpa
ujung) dengan Menteri Keuangan. Sama halnya dengan soal perumahan rakyat.
Namun, dengan desain pikir tentang otonomi yang merebak keluar takaran,
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta saat ini adalah daerah otonom dengan segala
perniknya.
Bagaimana
dengan predikat Ibu Kota? Cobalah tengok UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang saat ini berlaku.
Menjadi ibu kota serasa bagai pemanis saja. Pemerintah pusat dan bahkan
Presiden pun sesungguhnya tak kuasa amat. Rambu otonomi begitu rapat dan
tidak memungkinkan untuk ”masuk” walau katanya sebagai ibu kota negara dan
tempat kedudukan pemerintah pusat menyelenggarakan kegiatannya. Semua itu tak
ada jejak pikirnya. Kata ”Khusus” bagai tidak bermakna banyak. Tidak seperti
kata ”Istimewa” seperti yang dilekatkan pada status salah satu daerah di
negara ini.
Dalam
kaitan kebutuhan Jakarta untuk membangun diri dan membangun fungsinya sebagai
ibu kota negara, secara substantif UU tersebut tak memberi apa pun. UU
tersebut tidak memberi dasar hukum yang jelas dan konkret bagi gubernur untuk
dapat minta, apalagi menuntut, sesuatu kepada pemerintah pusat. UU juga tidak
dengan tegas dan konkret memberi hak dan kewajiban kepada negara dan
pemerintah pusat untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, apalagi
membangun ibu kota negara.
Pengaturan
UU No 29/2007 mengenai pemberian kedudukan Jakarta sebagai ibu kota negara,
sebagaimana juga menjadi judul UU tersebut, hanyalah predikat yang dituturkan
dalam Pasal 3-5. Secara materiil, tak ada ketentuan yang dengan jelas
mengatur konsekuensi, terutama pada pemerintah pusat untuk turun tangan
mengatasi problem DKI Jakarta sebagai ibu kota negara. Yang ada hanya
pengaturan seperti pendanaan lewat APBN (Pasal 26) untuk pelaksanaan
kebijakan tertentu (Ayat 4), koordinasi dengan pemerintah daerah lain (Ayat
5), dan pelestarian/pengembangan budaya Betawi (Ayat 6).
Selain
itu, UU ini juga hanya mengatur tugas protokoler gubernur mendampingi
Presiden dalam acara kenegaraan (Pasal 31), atau ”dapat menghadiri sidang
kabinet” menyangkut kepentingan Ibu Kota (Pasal 26 Ayat 8; ketentuan yang
sebenarnya bukan domain sebuah UU). Terakhir, ketentuan bahwa gubernur DKI
bertanggung jawab kepada Presiden sejauh menyangkut penyelenggaraan otonomi,
dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan hal-hal lain yang diatur dalam Pasal 26
Ayat 1-5.
Dari
sisi pandang lain, bagaimana rentang kendali kepemimpinan dan pengelolaan
sebuah ibu kota negara dapat efektif kalau tidak ada hubungan struktural
ataupun operasional yang jelas dan tegas antara Presiden dan gubernur?
Presiden sama sekali tidak memiliki peran apa pun dalam penentuan gubernur
sebagai pemimpin sebuah wilayah yang ”semestinya merupakan domain” pemerintah
nasional. Ketentuan ”minimal” seperti dalam UU No 34/1999 yang digantikan pun
juga tidak (ketika calon gubernur dan wakil gubernur mesti ”dikonsultasikan”
terlebih dahulu kepada Presiden).
Penentuan
kewenangan penetapan tata ruang pada pemerintah daerah dalam UU No 29/2007
sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa. Sebab, UU Tata Ruang sedari awal
memang telah memberikan kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah. Namun,
bagaimana pemerintah pusat sebagai ”pemilik” wilayah harus ikut menangani
persoalan seperti banjir dan macet bila dalam penataan ruang dan perencanaan
serta penentuan cetak biru pembangunan saja tidak diberi hak untuk
menentukan? Yang kita saksikan dalam UU No 29/2007 sesungguhnya adalah
hadirnya sebuah daerah otonomi yang sekadar diberi label ibu kota negara. Tak
lebih dan tak kurang. Ketika bergerak memakai baju otonomi, tetapi ketika
menghadapi masalah yang di luar jangkauan kemampuan, baru ingat aspek ibu
kota negara tadi.
Kalau
berniat studi banding, tengok yang dekat saja: Kuala Lumpur atau Canberra.
Kalau ingin jauh lagi, pergilah ke Washington. Pelajari bagaimana arti dan
makna ”special territory” itu.
Bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap pembangunan sebuah ibu kota
dan bagaimana kedudukan dan peran gubernur/wali kota. Pelajarilah bagaimana
hal-hal itu berjalan baik dengan tetap memelihara layanan hak-hak sipil
warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar