Dinasti
Kepemimpinan Negara-negara Asia
Kishore Mahbubani ; Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy
pada
National University of Singapore
|
KORAN
TEMPO, 11 Januari 2013
Di mana budaya
berperan dalam politik, perubahan kepemimpinan yang terjadi di Asia Timur
Laut akhir-akhir ini memberi kesan bahwa masyarakat di Asia lebih toleran
terhadap--jika bukan mendukung-suksesi kepemimpinan mengikuti alur dinasti.
Presiden Korea Selatan yang baru-baru ini
terpilih, Park Geun-hye, adalah putri Park Chung Hee, yang memerintah negeri
itu dari 1961 sampai 1979. Presiden Cina yang akan datang, Xi Jinping, adalah
putra Xi Zhongxun, seorang mantan perdana menteri. Perdana Menteri Jepang
yang baru, Shinzo Abe, adalah cucu laki-laki dan sepupu putra dari dua mantan
Perdana Menteri Jepang, serta putra seorang mantan menteri luar negeri. Kim
Jong-un adalah putra dan cucu lelaki dari dua orang pendahulunya di Korea
Utara.
Pola ini tidak terbatas di Asia Timur Laut
saja. Presiden Filipina Benigno Aquino III adalah putra mantan presiden
Corazon Aquino. Perdana Menteri Malaysia Najib Abdul Razak dan Perdana
Menteri Singapura Lee Hsien Loong masing-masing juga adalah putra mantan
perdana menteri. Di India, Rahul Gandhi sudah bersiap-siap menempati posisi
yang pernah ditempati buyut lelakinya (Jawaharlal Nehru), neneknya (Indira
Gandhi), dan ayahnya (Rajiv Gandhi). Di Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari,
putra Presiden Asif Ali Zardari dan mantan perdana menteri yang terbunuh,
Benazir Bhutto, serta cucu lelaki mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto,
baru-baru ini terjun ke dunia politik. Adakah suksesi dinasti ini sudah
merupakan norma di seluruh Asia?
Tidak terbantahkan bahwa garis silsilah
keturunan orang-orang besar memberi seorang calon di dunia politik keunggulan
atas pesaing-pesaingnya. Tapi juga jelas bahwa memiliki kekerabatan dengan
orang-orang besar tidak menjamin keberhasilan. Lihat saja mantan Presiden
Filipina Gloria Macapagal-Arroyo. Aquino adalah seorang presiden yang
dihormati, namun Arroyo dianggap sebagai salah seorang paling korup di negeri
itu.
Soalnya menyangkut sikap para pemimpin itu
ketika mereka menempati jabatannya. Jika mereka menganggap jabatan itu
sebagai hak karena keturunan, kemungkinan besar mereka akan mengalami
kegagalan, seperti dialami Arroyo. Untungnya, bagi Asia Timur, sebagian besar
di antara mereka tampaknya mengemban jabatannya dengan penuh tanggung jawab
dan komitmen memperkuat negeri masing-masing.
Istilah "putra mahkota" mungkin
tidak pantas diberikan kepada Xi. Bukankah ia boleh dikatakan mengalami
kehidupan yang tidak dimanjakan. Setelah ayahnya didepak Mao Zedong, Xi
pindah bekerja di pedesaan bahkan sebelum Revolusi Budaya 1966-1976. Ia
mengalami sendiri penderitaan yang menimpa banyak orang segenerasinya pada
waktu itu. Setelah berhasil mencapai puncak kedudukan, ia tidak merasa hal
itu sebagai sesuatu yang sudah menjadi haknya. Ia bahkan menganggapnya
sebagai tanggung jawab yang harus dibuktikannya bahwa ia memperoleh kedudukan
itu berdasarkan merit, bukan privilege.
Xi pasti juga sadar bahwa anak para
pemimpin Republik Rakyat Cina generasi kedua menghadapi ketidaksenangan
publik karena cepatnya akumulasi kekayaan mereka. Itulah sebabnya, Xi fokus
pada pemberantasan korupsi. Jika Xi gagal, ia bakal dianggap gagal dan dengan
itu monopoli politik Partai Komunis Cina mungkin juga bakal berakhir lebih
cepat daripada yang diperkirakan banyak orang. Xi memikul beban yang berat di
pundaknya
Begitu juga halnya dengan Park Geun-hye.
Seperti Xi, ia harus berjuang untuk mencapai puncak kedudukan yang sekarang
ditempatinya. Ayahnya mengangkat Korea Selatan keluar dari lembah kemiskinan
dan mengubah negeri itu menjadi macan ekonomi. Tapi pemerintahannya juga
sangat represif. Lebih berat lagi bagi Park, banyak di antara para
pendahulunya dianggap gagal sebagai pemimpin. Dua orang mantan presiden, Roh
Tae-woo dan Chun Doo-hwan, diseret ke depan pengadilan; seorang lagi, Roh
Moo-hyun, bunuh diri. Ada pula rumor yang tidak sedap mengenai Presiden Lee
Myung-bak yang bakal digantikan oleh Park.
Korea Selatan jelas merupakan negara yang
berhasil, yang sekarang sedang berjuang meneguhkan kedudukannya. Dalam teori,
ia seharusnya merayakan pencapaian di bidang ekonomi dan budaya yang telah
direbutnya. Dalam prakteknya, sebagai suatu negara yang kecil di suatu
lingkungan yang tidak aman--dan dengan Korea Utara sebagai sumber ketegangan
yang terus menerus--ia menghadapi ancaman terhadap eksistensinya sendiri
sebagai suatu negara. Dan Park, yang kemenangan yang dicapainya dalam
pemilihan presiden tidak mengurangi sikap ambivalen rakyatnya terhadap
ayahnya, pasti menyadari bahwa menyembuhkan sikap mendua rakyatnya itu tidak
mudah.
Tugas paling sulit adalah tugas yang
menanti Rahul Gandhi. Tidak satu pun partai bisa mendominasi politik di India
seperti Partai Kongres sejak kemerdekaan negeri itu, artinya suatu masa depan
koalisi yang sulit dan penuh pertikaian. Dalam keadaan demikian, India perlu,
pertama-tama, kepemimpinan yang tegas. Namun, seperti Hamlet, Rahul tampaknya
juga menunjukkan sifat keragu-raguan. Ia sebenarnya sudah bisa mengemban
tugas itu beberapa tahun yang lalu, tapi ia memilih untuk tidak berbuat
demikian. Keragu-raguannya pasti mencerminkan kebimbangan yang mendalam dalam
dirinya.
Keengganan Rahul ini bisa dimengerti.
Lagi-lagi, suksesi dinasti tidak menjamin keberhasilan. Di Malaysia, Razak,
misalnya, telah berupaya keras untuk menyatukan kembali negerinya dengan
pesan "Malaysia" yang dikumandangkannya. Namun semua indikasi
menunjukkan bahwa ia bakal menghadapi pemilihan yang sengit pada 2013. Walau
kemungkinan besar tidak akan terjadi, koalisi Barisan Nasional pimpinan Razak
bisa mengalami perpecahan. Prospek seperti ini tidak pernah dihadapi para
pendahulunya.
Di Jepang, Abe dianggap telah menampilkan
kinerja yang buruk dalam jabatannya yang pertama sebagai perdana menteri pada
2006-2007, kendati garis silsilahnya mengesankan. Sekarang ia akan mengemban
tugas memimpin negara yang bahkan lebih berat dengan tantangan yang
dihadapinya, baik di dalam maupun di luar negeri. Tidak banyak orang yang
mengatakan bahwa ia akan berhasil.
Singkatnya,
pola dinasti kepemimpinan di Asia tidak membuatnya kebal terhadap tantangan
berat yang sekarang menimpa banyak negara di dunia. Sementara Asia berhasil
menciptakan kelas menengah terbesar di dunia--diproyeksikan tumbuh lebih dari
tiga kali lipat, dari 500 juta menjadi 1,75 miliar menjelang 2020--ia juga
bakal harus menghadapi tuntutan adanya pemerintah yang lebih kompeten dan lebih
akuntabel. Di Asia, hari ini tugas yang diemban oleh mereka yang memperoleh
mahkota kepemimpinan itu memang tidak mudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar