BBM Biang
Keladi Defisit Perdagangan
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
14 Januari 2013
Di tengah ”gemerlap”
serentetan indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi,
arus masuk investasi asing, dan indeks harga saham, ada satu perkembangan
yang cukup mengkhawatirkan, yaitu defisit neraca perdagangan. Boleh jadi,
sepanjang sejarah sebelum dan setelah kemerdekaan, baru kali ini di tahun
2012 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan atau ekspor barang lebih
kecil daripada impor barang.
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor berdasarkan nilai
Jika
nilai impor berdasarkan pada nilai barangnya semata (FOB), neraca perdagangan
Indonesia sebetulnya masih positif atau surplus walaupun turun sangat tajam
dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya. Bank Indonesia (BI) mencatat data
ekspor dan impor dalam nilai FOB.
Selama
Januari-September 2012 (data terkini yang tersedia), surplus perdagangan
menurut data BI sebesar 7,7 miliar dollar AS. Padahal, tiga tahun sebelumnya
masih di atas 30 miliar dollar AS, yakni 30,9 miliar dollar AS tahun 2009,
30,6 miliar dollar AS tahun 2010, dan 34,8 miliar dollar AS tahun 2011.
Walaupun masih surplus, tentu saja kemerosotan tajam neraca perdagangan patut
memperoleh perhatian saksama.
Pada
tahun 2010 dan 2011, ekspor meningkat dengan laju relatif tinggi, yaitu 35
persen tahun 2010 dan 29 persen tahun 2011. Penyebab utamanya adalah lonjakan
harga komoditas berbasis sumber daya alam yang porsinya sudah mencapai
sekitar dua pertiga total ekspor Indonesia.
Tak
ayal, ketika harga komoditas melorot tahun 2012, nilai ekspor pun turun
tajam. Sebelas tahun lalu, porsi komoditas berbasis sumber daya alam masih 40
persen dari total ekspor. Kemunduran kualitas barang-barang ekspor yang makin
sarat produk ekstraktif inilah yang menyebabkan ekspor kita makin
berfluktuasi tajam.
Sebaliknya,
impor meningkat terus dan lebih cepat dari laju ekspor walaupun dengan
kecepatan yang menurun. Peningkatan impor ini sebagai konsekuensi dari
pertumbuhan ekonomi yang tergolong tinggi, bahkan tertinggi kedua di dunia
setelah China. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir
semakin ditopang investasi. Akibatnya, impor barang modal dan bahan baku juga
otomatis meningkat tajam.
Laju
peningkatan impor tertinggi di antara 10 kelompok barang utama adalah mesin
dan peralatan mekanik, serta mesin dan peralatan listrik, masing-masing 19,1
persen dan 12,5 persen pada kurun Januari-November 2012 dibandingkan periode
yang sama tahun 2011. Kedua kelompok barang modal ini menyerap hampir
sepertiga total impor nonmigas. Sementara itu, impor kendaraan bermotor dan
bagiannya serta impor kapal terbang dan bagiannya dengan porsi 9,64 persen
dari total impor nonmigas juga terus tumbuh. Keempat kelompok barang tersebut
menyumbang 41 persen terhadap impor nonmigas.
Peningkatan
impor barang modal tak terlalu menekan neraca pembayaran mengingat pada
umumnya banyak dilakukan oleh investor asing dan atau pembayarannya tidak
dilakukan secara tunai. Jadi, peningkatan impor di neraca perdagangan
dikompensasikan oleh peningkatan devisa masuk dalam bentuk penanaman modal
asing dan utang luar negeri.
Kenaikan
impor barang modal selalu diikuti impor bahan baku, mengingat struktur
industri kita rapuh sehingga belum mampu mengisi kebutuhan bahan baku dan
barang penolong yang berkembang pesat. Industri kita, oleh karena itu, masih
sangat bergantung pada bahan baku dan barang penolong impor.
Karena
itu, sebetulnya, peningkatan impor mencerminkan perekonomian yang sedang
menggeliat atau mengindikasikan peningkatan kapasitas produksi sehingga pada
gilirannya nanti juga akan meningkatkan ekspor.
Jadi,
apa yang memprihatinkan? Apa lagi kalau bukan impor bahan bakar minyak (BBM).
Bukankah BBM termasuk barang konsumsi yang ternyata merupakan impor terbesar
kedua Indonesia. Impor BBM selama Januari-November sudah mencapai 26 miliar
dollar AS, sedikit di bawah impor mesin dan peralatan mekanik sebesar 26,2 miliar
dollar AS. Tak tertutup kemungkinan impor BBM bakal terbesar untuk
keseluruhan tahun 2012, sebagaimana terjadi tahun 2011 yang mencapai 28
miliar dollar AS.
Bukankah
kuota BBM bersubsidi sudah ditambah dan tambahan itu berasal dari impor.
Biang keladi dari pengganggu instabilitas perekonomian nyata-nyata adalah
impor BBM. Untuk membuktikannya, jangan hanya melihat dari tahun 2012, tetapi
tengoklah sejak 2011, khususnya sejak triwulan ketiga.
Pada
tahun 2011, impor BBM melonjak jadi 28,1 miliar dollar AS dari 18,0 miliar
dollar AS tahun 2010. Tak ada yang mengalahkan laju peningkatannya.
Pemburukan neraca perdagangan 2012 merupakan kelanjutan dari yang sudah
terjadi pada tahun sebelumnya. Sedemikian parah sudah keadaannya sehingga
defisit minyak kita tidak bisa lagi dikompensasikan oleh surplus gas.
Untuk
kedua kalinya setelah tahun 2008, kini kita kembali mengalami defisit
perdagangan migas. Jika pada tahun 2008 defisit perdagangan migas baru 1,4
miliar dollar AS, pada Januari-November 2012 melonjak menjadi 4,8 miliar
dollar AS. Kedaulatan energi kita kian rapuh.
Persoalan
BBM sudah menjadi penyakit kanker kronis yang merembet ke mana-mana. Telah
membuat panik pemerintah dan BI dengan serangkaian langkah ”membabi buta”
yang menimbulkan banyak efek negatif sampingan karena tak kunjung menemukan
metode penyembuhan tokcer, yaitu operasi mengangkat tumor ganas atau
kemoterapi yang menyakitkan, tetapi lebih menjamin kesembuhan total.
Jangan
cari kambing hitam lagi. Menunda penyelesaian tuntas hanya akan membuat
derita tak berkesudahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar