DISKUSI PANEL “MENYUSUN
KONSENSUS BARU”
Air Mata di
Balik Pertumbuhan Tinggi
|
KOMPAS,
08 Januari 2013
Dalam tiga tahun terakhir,
ekonomi Indonesia tumbuh tinggi. Tahun 2011, pertumbuhan itu mencapai 6,5
persen. Hingga triwulan ketiga 2012, angkanya masih di atas 6 persen. Namun,
angka tersebut menjadi kurang berarti karena di balik tingginya angka
pertumbuhan ekonomi itu tersimpan keprihatinan dan problem sosial kronis di
masyarakat.
Kemiskinan dan ketimpangan
menjadi persoalan yang merata di berbagai daerah di Indonesia. Selama 12
tahun terakhir, persentase penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan
nasional hanya turun dari 19,1 persen (2000) menjadi 12,0 persen (2012).
Penurunan angka kemiskinan
yang lambat dan masih besarnya jumlah dan persentase penduduk miskin
menggambarkan akutnya persoalan ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri ini.
Mengacu pada garis
kemiskinan—dengan menggunakan angka pengeluaran per kapita sehari sebesar 2 dollar
AS, persentase penduduk miskin Indonesia berada di atas rata-rata negara Asia
Timur. Data tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 46,1 persen penduduk Indonesia
hidup dalam kemiskinan.
Badan Pusat Statistik
mencatat, pada September 2012, jumlah penduduk miskin—penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan—mencapai 28,59
juta orang (11,66 persen), berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,3 persen)
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang
(11,96 persen).
Meski terjadi penurunan
jumlah orang miskin, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan
kemiskinan naik. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,88 pada Maret 2012
menjadi 1,90 pada September 2012. Demikian pula indeks keparahan kemiskinan
naik dari 0,47 menjadi 0,48 pada periode yang sama.
Potret buram kemiskinan
dan ketidakadilan tampak nyata dalam eksploitasi sumber daya alam di daerah.
Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dilakukan oleh segelintir pemodal
tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi rakyat. Negara yang memiliki
otoritas seolah absen dari tanggung jawabnya memeratakan kesejahteraan.
Sumber daya alam yang
dieksploitasi korporasi, baik sektor perkebunan, kehutanan, maupun
pertambangan di berbagai daerah, kian memprihatinkan.
Selain menyisakan
kerusakan alam yang parah, masyarakat yang berada di wilayah-wilayah sumber
daya alam itu tidak turut merasakan hasil dari alamnya. Bahkan, di
daerah-daerah yang kaya sumber daya alam dengan eksplorasi sumber daya alam
dilakukan secara masif justru merupakan daerah-daerah pusat merebaknya
kemiskinan dan kelaparan.
Eksploitasi sumber daya
alam oleh korporasi, seperti yang terjadi di Kalimantan dan Papua, kini
merambah pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara Timur. Wilayah yang miskin
dengan situasi krisis ekologi itu masih terus diserbu pertambangannya.
Pemerintah daerah selaku
kepanjangan tangan dari negara seakan tidak hadir di situ. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah lebih banyak dipakai untuk biaya pegawai, bukan
untuk belanja modal.
Di beberapa kabupaten,
alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan hanya 1,5-6 persen, sedangkan
anggaran untuk aparat daerah bisa lebih dari 40 persen.
Program pengentasan rakyat
miskin di beberapa daerah seakan jauh panggang dari api. Penurunan angka
kemiskinan yang lamban dan masih sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak
memicu masyarakat di daerah yang miskin memilih menjadi tenaga kerja
Indonesia (TKI) dengan harapan mendapatkan upah yang lebih layak.
Dalam lima tahun terakhir,
di daerah-daerah pengirim TKI terbanyak, jumlah TKI meningkat hingga 300
persen. Jika dahulu di NTT hanya tiga kabupaten yang menjadi pengirim TKI,
kini semua daerah di NTT mengirimkan TKI. Meskipun banyak kisah TKI yang
didera berbagai persoalan dan penderitaan di luar negeri, hal itu tidak
menyurutkan minat masyarakat dari daerah miskin menjadi TKI.
Anak dan perempuan menjadi
korban dari kemiskinan yang paling nyata. Angka kematian ibu melahirkan
Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Angka kematian ibu yang tinggi disebabkan
tingkat pendidikan yang masih sangat rendah.
Data Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebutkan, dari 5 juta kelahiran yang
terjadi di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat
komplikasi kehamilan atau persalinan.
Demikian pula yang terjadi
pada anak, tingkat kematian anak balita dan kurang gizi di Indonesia begitu
buruk. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat salah satunya. Dalam tiga tahun
terakhir, 151 anak balita meninggal akibat busung lapar.
Berbagai ketimpangan dan
ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menjadi gambaran nyata betapa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi kurang berarti karena problem sosial
masyarakat tidak banyak teratasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar