Selasa, 08 Januari 2013

Air Mata di Balik Pertumbuhan Tinggi


DISKUSI PANEL “MENYUSUN KONSENSUS BARU”
Air Mata di Balik Pertumbuhan Tinggi
KOMPAS,  08 Januari 2013

  
Dalam tiga tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh tinggi. Tahun 2011, pertumbuhan itu mencapai 6,5 persen. Hingga triwulan ketiga 2012, angkanya masih di atas 6 persen. Namun, angka tersebut menjadi kurang berarti karena di balik tingginya angka pertumbuhan ekonomi itu tersimpan keprihatinan dan problem sosial kronis di masyarakat.
Kemiskinan dan ketimpangan menjadi persoalan yang merata di berbagai daerah di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir, persentase penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan nasional hanya turun dari 19,1 persen (2000) menjadi 12,0 persen (2012).
Penurunan angka kemiskinan yang lambat dan masih besarnya jumlah dan persentase penduduk miskin menggambarkan akutnya persoalan ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri ini.
Mengacu pada garis kemiskinan—dengan menggunakan angka pengeluaran per kapita sehari sebesar 2 dollar AS, persentase penduduk miskin Indonesia berada di atas rata-rata negara Asia Timur. Data tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 46,1 persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada September 2012, jumlah penduduk miskin—penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan—mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen), berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,3 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96 persen).
Meski terjadi penurunan jumlah orang miskin, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan naik. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,88 pada Maret 2012 menjadi 1,90 pada September 2012. Demikian pula indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,47 menjadi 0,48 pada periode yang sama.
Potret buram kemiskinan dan ketidakadilan tampak nyata dalam eksploitasi sumber daya alam di daerah. Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dilakukan oleh segelintir pemodal tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi rakyat. Negara yang memiliki otoritas seolah absen dari tanggung jawabnya memeratakan kesejahteraan.
Sumber daya alam yang dieksploitasi korporasi, baik sektor perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan di berbagai daerah, kian memprihatinkan.
Selain menyisakan kerusakan alam yang parah, masyarakat yang berada di wilayah-wilayah sumber daya alam itu tidak turut merasakan hasil dari alamnya. Bahkan, di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam dengan eksplorasi sumber daya alam dilakukan secara masif justru merupakan daerah-daerah pusat merebaknya kemiskinan dan kelaparan.
Eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi, seperti yang terjadi di Kalimantan dan Papua, kini merambah pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara Timur. Wilayah yang miskin dengan situasi krisis ekologi itu masih terus diserbu pertambangannya.
Pemerintah daerah selaku kepanjangan tangan dari negara seakan tidak hadir di situ. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah lebih banyak dipakai untuk biaya pegawai, bukan untuk belanja modal.
Di beberapa kabupaten, alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan hanya 1,5-6 persen, sedangkan anggaran untuk aparat daerah bisa lebih dari 40 persen.
Program pengentasan rakyat miskin di beberapa daerah seakan jauh panggang dari api. Penurunan angka kemiskinan yang lamban dan masih sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak memicu masyarakat di daerah yang miskin memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan harapan mendapatkan upah yang lebih layak.
Dalam lima tahun terakhir, di daerah-daerah pengirim TKI terbanyak, jumlah TKI meningkat hingga 300 persen. Jika dahulu di NTT hanya tiga kabupaten yang menjadi pengirim TKI, kini semua daerah di NTT mengirimkan TKI. Meskipun banyak kisah TKI yang didera berbagai persoalan dan penderitaan di luar negeri, hal itu tidak menyurutkan minat masyarakat dari daerah miskin menjadi TKI.
Anak dan perempuan menjadi korban dari kemiskinan yang paling nyata. Angka kematian ibu melahirkan Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Angka kematian ibu yang tinggi disebabkan tingkat pendidikan yang masih sangat rendah.
Data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebutkan, dari 5 juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.
Demikian pula yang terjadi pada anak, tingkat kematian anak balita dan kurang gizi di Indonesia begitu buruk. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat salah satunya. Dalam tiga tahun terakhir, 151 anak balita meninggal akibat busung lapar.
Berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menjadi gambaran nyata betapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi kurang berarti karena problem sosial masyarakat tidak banyak teratasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar