Sabtu, 12 Januari 2013

2012 Tahun Pencitraan, Bagaimana 2013?


2012 Tahun Pencitraan, Bagaimana 2013?
Nico Wattimena ; Dosen Senior pada Program Pascasarjana 
di The London School of Public Relations, Jakarta
SINDO, 12 Januari 2013



 Sebenarnya dari tahun 2012 masih ada waktu dua tahun lagi menjelang 2014 saat berlangsungnya pesta demokrasi pemilihan umum dan pemilihan presiden di Indonesia. Namun, hirukpikuk perpolitikan negeri ini sudah begitu riuhnya.
Sebenarnya dari tahun 2012 masih ada waktu dua tahun lagi menjelang 2014 saat berlangsungnya pesta demokrasi pemilihan umum dan pemilihan presiden di Indonesia. Namun, hirukpikuk perpolitikan negeri ini sudah begitu riuhnya.

Bukan hanya perang isu dan saling menjatuhkan lewat kasus-kasus hukum bernuansa politik, tetapi juga lewat peran pencitraan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sudah pasti tak akan memperpanjang masa jabatannya pada 2014 masih tetap sibuk dengan politik pencitraannya. Demikian pula dengan tokoh-tokoh lain yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin. Di antara mereka ada yang sudah terangterangan maju sebagai calon RI-1 dengan dukungan partai politiknya seperti Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto (Partai Gerindra) maupun Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional).

Namun ada pula para tokoh yang masih malu-malu menyebut dirinya sebagai calon presiden, tetapi gencar melakukan praktik pencitraan seperti Mahfud MD, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan,dan termasuk dalam hal ini adalah Jusuf Kalla.Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini tak dicalonkan oleh partainya, tetapi banyak pihak dan partai yang ingin mengusungnya. JK pun tampaknya tak menyembunyikan hasrat untuk naik pangkat menjadi RI-1.

Contoh keberhasilan politik pencitraan dilakukan oleh pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Jokowi dan Ahok. Keduanya sukses menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta mengalahkan petahana Fauzi Bowo. Selain memang karena rakyat Jakarta sudah jenuh, strategi kampanye yang mengandalkan pencitraan Jokowi- Ahok memang dapat dikatakan brilian. Sayangnya kebanyakan praktik pencitraan justru tak berjalan baik.

Presiden SBY yang berupaya mempertahankan citranya sebagai salah satu tokoh yang diakui dunia justru mendapatkan cibiran di negeri sendiri. Salah satu contoh adalah ketika SBY mendapatkan gelar bangsawan dari Kerajaan Inggris, pada saat yang bersamaan di negerinya sendiri dia dikecam karena tak peduli terhadap kerusuhan antaretnik di Lampung yang terjadi pas bersamaan dengan pemberian gelar tersebut.

Terakhir, kunjungan SBY ke Malaysia untuk mendapatkan gelar doktor kehormatan justru dilakukan saat rakyat marah terhadap aksi pemerkosaan polisi Malaysia terhadap TKI Indonesia dan penghinaan oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia kepada mantan Presiden BJ Habibie. Di kalangan para “capres”, Aburizal Bakrie (ARB) juga berupaya menampilkan citra dekat dengan masyarakat kelas menengah bawah.

Berbagai kegiatan model kelompencapir zaman Orde Baru dilakukan ARB dengan dukungan Partai Golkar dan stasiun-stasiun televisi miliknya. Sayangnya, pencitraan ARB dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil karena publik (baca: media) masih mengaitkan dirinya dengan berbagai masalah yang menimpa perusahaanperusahaan miliknya.

Sebut saja kasus pajak yang diduga melibatkan PT Bumi Resources dan anak-anak usahanya serta peristiwa semburan lumpur panas yang menenggelamkan belasan desa di Sidoarjo yang dituding sebagai tanggung jawab salah satu perusahaan milik keluarga Bakrie,Lapindo Brantas Inc. Calon-calon presiden yang lain pun sama saja.

Prabowo Subianto yang juga menerapkan strategi mendekatkan diri kepada kaum petani dan nelayan juga tak bisa lepas dari stigma pelanggaran HAM terhadap para aktivis selama akhir Orde Baru dan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Hatta Rajasa juga belum dapat meningkatkan kredibilitasnya meskipun PAN sudah mendukung habis-habisan ditambah posisinya sebagai menko perekonomian sekaligus besan Presiden SBY.

Pemilik Trans TV Chairul Tanjung (CT) memang tak pernah terang-terang mengungkapkan minatnya menjadi presiden. Namun, manuver pengusaha yang dekat dengan Presiden SBY itu terbaca saat menerbitkan buku biografinya. Bahkan, untuk memperkuat citranya, CT menampilkan berbagai testimoni dari sejumlah public figure terhadap bukunya.

Ketika buku biografi CT dijual di lampu merah dan pinggir jalan, banyak yang beranggapan bahwa buku tersebut tidak laku, tetapi pihak CT membantah dan mengatakan bahwa itu merupakan strategi pemasaran untuk memperkenalkan dirinya kepada kalangan banyak. Lain lagi dengan Dahlan Iskan (DI) yang juga disebutsebut sebagai salah satu capres alternatif. Pada awalnya, berbagai tindakan DI menuai decak kagum dan mengesankan bahwa Menteri Negara BUMN ini adalah pemimpin yang merakyat dan peduli terhadap persoalan masyarakat.

Misalnya, saat DI berbaur dengan warga naik KRL Jabotabek, menginap di rumah rakyat miskin,dan menggratiskan jalan tol karena geram terkena macet. Namun, strategi pencitraan DI menjadi bumerang ketika DI menuduh sejumlah anggota DPR telah memeras BUMN dan ternyata dia tak bisa membuktikan hal itu.Tuduhan itu muncul setelah DPR mempertanyakan inefisiensi di tubuh PLN saat DI menjabat sebagai direktur utama di perusahaan listrik milik negara itu.

Nah, mengapa sering kali pencitraan ini tak efektif dan hanya mengundang cibiran? Jawaban yang paling sederhana adalah tidak dimanfaatkannya peranan hubungan masyarakat (humas) atau public relations (PR) secara proporsional dalam strategi pencitraan tersebut. Pencitraan tidak bisa hanya dilihat dari bagaimana seseorang memanfaatkan media maupun menyajikan penampilan yang tak biasa di depan umum.

Citra atau image jelas berbeda dengan reputasi karena citra bisa dibangun dengan cepat, sementara reputasi tidak demikian. Reputasi muncul karena adanya kepercayaan dari masyarakat. Sebaik apa pun seseorang membangun citranya, tak akan ada artinya jika dia tidak mendapatkan kepercayaan atau trustdari masyarakat. Dengan kata lain, publik akan melihat dari sisi reputasi, bukan sekadar pencitraan.

Fenomena Jokowi menggambarkan bahwa dia membangun citra yang dibuktikan melalui reputasinya. Jokowi sebelumnya telah dikenal keberhasilannya sebagai wali kota Solo yang sangat merakyat dan membangun Solo yang lebih manusiawi. Bekal dari Solo ini yang membuatnya yakin untuk bertarung menjadi orang nomor satu di Ibu Kota.Apalagi, kejenuhan rakyat Jakarta terhadap gubernur yang lama memperkuat posisi Jokowi.

Kegagalan proyek pencitraan juga tak lepas dari paradigma kehumasan yang sempit, yang masih memandang kehumasan ditempatkan pada fungsi dokumentasi dan keprotokoleran semata.Padahal, peran humas begitu penting untuk diberdayakan secara profesional dalam mengelola hubungan di antara lembaga dan dalam hubungannya dengan masyarakat untuk memelihara keharmonisan hubungan dan citra positif timbal balik.

Untuk itu, dalam tahuntahun yang mendatang, sebaiknya institusi kehumasan pada lembaga politik dapat didorong dan ditingkatkan peranannya yang lebih tepat dan proporsional terkait dengan program pencitraan sebagai salah satu strategi dalam kehumasan. Dalam hubungan antara lembaga-lembaga maupun para tokoh politik dan media masih tampak kesenjangan dan ketidakharmonisan.

Di satu sisi sikap lembaga atau para tokoh politik masih menutup akses informasi yang dibutuhkan, sementara di sisi lain media dengan semangat keterbukaan cenderung untuk hanya mengekspos beragam informasi tanpa pertimbangan etis yang diperlukan. Namun, kita patut mengapresiasi fungsi kontrol sosial (watch dog) yang telah mendapatkan porsi positif dari peran media dalam membangun demokrasi. Peran iklan juga penting sebagai media untuk sosialisasi tokoh-tokoh yang ingin membangun citra dan reputasi.

Namun fungsi media di sini juga belum dimanfaatkan secara maksimal. Iklan para tokoh cenderung dilihat sebagai promosi semata, sama halnya dengan barang, bukan menyampaikan pesan politik yang lugas dan efektif. Dari hasil pengamatan, analisis, dan evaluasi praktik kehumasan Indonesia tahun 2012, khususnya terkait dengan tantangan aspek komunikasi dan pencitraan, tampaknya pada tahun 2013 kondisinya tidak akan banyak berubah.

Semakin dekatnya Pemilu 2014 juga semakin membuat strategi pencitraan semakin kencang untuk meraup simpati warga. Dalam hal ini, peranan kehumasan akan tetap atau bahkan semakin penting dan dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses demokrasi bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar